14. Patah

146 27 54
                                    

Husni baru saja keluar dari ruang direktur ketika waktu menunjukkan pukul empat lewat lima belas menit. Sebelum bergegas pulang, dia lebih dulu kembali ke ruang keuangan untuk mengambil tas. Begitu pintu terbuka, hanya sepi yang Husni tangkap. Tidak ada orang sama sekali. Seingatnya, waktu dia beranjak memenuhi panggilan Pak Januar, Eksa masih duduk di mejanya. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa.

Tidak ambil pusing, Husni mengedikkan bahu. Mungkin Eksa sudah pulang. Karena ini memang sudah melebihi jam operasional kantor.

Setelah merapikan beberapa berkas yang masih berserakan, Husni segera beranjak. Tidak lupa mematikan lampu dan AC terlebih dahulu. Ketika sudah selesai, dia mulai melangkah meninggalkan ruang kerja sembari memainkan kunci motor di tangan kiri.

Beberapa kali Husni bertemu dengan karyawan lain yang belum pulang. Bertegur sapa sembari basa-basi sedikit, sebelum kembali melanjutkan langkah. Tangannya baru saja hendak membuka pintu utama kantor, ketika pandangannya berhenti pada dua orang yang sedang asyik berdua. Eksa dan Deka.

Keduanya terlihat mesra, seperti tidak ada sesuatu serius yang sempat terjadi. Hal itu tak urung membuat Husni merasa aneh. Apalagi ketika keduanya mulai pergi berboncengan meninggalkan area kantor. Jemarinya saling bertaut, seolah tidak ingin lepas. Membuat rasa tak kasat mata itu perlahan merambat dan menimbulkan sesak di dada.

Apakah ini yang dinamakan ... patah?

"Hey! Ngelamun aja?"

Husni terkejut ketika merasakan sebuah tepukan di pundak. Menoleh cepat, dia mendapati Satria tengah menatapnya dengan kening berkerut.

"Eh, Mas Satria."

"Baru balik? Tumben."

"Iya, nih." Husni tersenyum kecil. "Tadi meeting bentar sama Pak Januar."

"Kenapa?"

"Biasa, laporan."

Satria manggut-manggut. Tangannya terulur untuk membuka pintu kantor. Begitu pintu terbuka, dia segera melangkah keluar diikuti Husni. Keduanya berjalan beriringan menuju tempat parkir tanpa ada obrolan sama sekali. Hanya bising kendaraan dan suara sepatu yang beradu dengan pelataran yang terdengar.

"Ngomong-ngomong, kamu lihat Eksa, nggak?"

Gerakan tangan Husni berhenti ketika hendak memakai helm. Pandangannya kini beralih pada Satria yang tengah menatapnya. "Mbak Eksa?" ulang Husni.

"Iya."

"Udah balik. Tadi aku lihat sama Mas Deka." Selalu saja ada nyeri yang hadir ketika Husni menyebut nama itu. Sebenarnya dia tak ingin. Namun, dia tidak bisa membohongi hatinya, jika dia menaruh rasa pada wanita yang berstatus sebagai kekasih Deka.

"Oh, dijemput, ya?"

Hanya anggukan yang Husni berikan. Rasanya Satria menyebalkan hari ini. Kenapa juga harus bertanya seperti itu? Husni, kan, bukan siapa-siapa Eksa.

"Ya udah, aku duluan, Hus." Satria pamit, kemudian berlalu meninggalkan Husni yang masih mematung di dekat motor miliknya.

🥀🥀🥀

Dulu Husni dibuat heran ketika melihat Mika terlalu mengejar seorang wanita yang lebih tua. Bukan berarti dia memandang aneh, dia hanya heran. Pernah ada satu cerita, di mana Mika dekat dengan seseorang dan dia juga berusia di atas sahabatnya itu. Husni sering bertanya, kayak nggak ada cewek lain aja, sih? Namun, seiring waktu berjalan, Husni bisa mengerti. Semua rasa itu hadir tanpa diminta. Bertahan di sana karena terbiasa.

Terbiasa. Layaknya Husni kepada Eksa.

Husni tidak berpikir sampai sejauh itu dulu. Menyimpan rasa pada sosok yang sudah dia anggap sebagai kakak sendiri. Namun, kejadian pahit tahun lalu di food court Jogja Expo Center, menjadi awal dari semuanya.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang