Dua kotak susu rasa strawberry yang diletakkan di mejanya, seketika mengalihkan perhatian Carel yang saat itu sedang memainkan ponselnya. Dia melepas sebelah earpodnya kemudian menatap orang yang memberikan minuman tersebut.
Laki-laki yang tidak terlalu tinggi itu menatapnya dengan senyuman kecil yang menjijikan.
"Nanti pulang bareng sama gua, yuk!"
Ajakan dari laki-laki itu justru membuat Carel berdecak pelan. "Waktu yang gue punya gak semurah minuman yang lo kasih." tutur Carel disertai senyuman kecil.
Kini semua tatapan tertuju ke meja ini karena kalimat yang barusan Carel ucapkan. Suka-suka dia dong mau bilang apa. Carel punya kebebasan berpendapat dan ia sedang menggunakan kebebasannya meski pahit untuk di dengar.
"Jadi lo gak mau balik bareng gua?"
Carel pun mengangguk. Senyumnya yang manis justru membuat kata-kata tadi makin menyakitkan bahkan, sampai sekarang dia masih menolak kakak kelasnya dengan senyuman.
"Loh, bukannya selama ini lo suka sama gua?"
Carel pun meletakkan ponsel yang ia pegang kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada. "Gimana?"
"Gua tau lo selama ini lo diem-diem merhatiin gua, kan? lo cuma gengsi aja ngakuin perasaan lo." celoteh laki-laki itu.
"Dia ngomong apa, sih?" Kini Carel menatapnya jijik. Senyumnya juga hilang bersamaan dengan omong kosong yang laki-laki itu katakan. Carel saja tidak tau bahwa laki-laki itu hidup, tapi dia malah dituduh yang tidak-tidak. Lucu sekali.
"Gak usah sok jual mahal, deh!"
"First of all, i didn't know you. Nama lo aja gue gak tau dan tiba-tiba ngomong yang enggak-enggak. Lo waras?"
Seketika laki-laki itu pun memukul meja secara kencang dengan kedua tangannya. Dari tatapan yang berapi-api itu Carel tau kalau orang ini tidak terima dengan penolakan yang Carel ucapkan secara tidak langsung. Dari caranya berpenampilan saja Carel sudah tau bagaimana sifatnya yang kacau. Tatanan rambut yang kuno, baju yang sengaja dikeluarkan supaya terlihat keren, dan dua kancing atas baju yang dibiarkan terbuka sudah cukup membuat Carel tau tentang cowok yang berlagak sok hebat ini.
"Kalo dari awal gak ada perasaan ya gak usah kasih harapan!" bentaknya.
"Dih, emosi." komentar Saline yang berada di meja depan Carel. Bisa saja dia melayangkan sebuah tinjuan ke wajah laki-laki tidak jelas itu, tapi ucapan Carel bisa lebih menyakitkan daripada sekadar sebuah tinjuan.
"For your information, gue gak pernah kasih lo harapan! NEVER!" Carel menegaskan kata yang terakhir ia katakan. "Punya telinga, kan?"
"Terus kenapa selama ini lo merhatiin gua? setiap kita papasan lo selalu natap gua dengan durasi yang lama. Sekarang lo masih mau ngehindar juga?"
"Mungkin itu perasaan lo aja kali, ya. Kalaupun gue emang natap lo dengan durasi lama kayak yang lo bilang kemungkinan itu karena penampilan lo yang... ah, udah deh." jelas Carel. "Makanya cari tau dulu sebelum berpikir yang macem-macem!"
Khayalan laki-laki itu tinggi sekali sampai mengira kalau Carel menatapnya dengan tatapan suka, padahal di hati Carel tidak terbesit untuk menyukai orang semacam itu. Sangat tidak masuk ke dalam tipe laki-laki yang bisa berteman dengan Carel. Kejam memang, tapi itulah caranya untuk menyelamatkan diri dari laki-laki yang menjijikan.
Merasa malu dengan situasi saat ini, laki-laki itu pun menoleh ke kanan dan kiri menatap setiap orang yang tengah memerhatikannya. Tak lama, dia langsung melesat keluar dari kelas ini dengan perasaan malu karena ditolak di depan umum. Memulai saja belum, tapi sudah ditolak duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfortunately, I Found You
Teen FictionCarel selalu memegang teguh prinsipnya bahwa ia hanya akan menyukai laki-laki yang lebih tua darinya dengan status sosial yang sepadan dengannya. Namun, ketika sudah mendapatkan hal yang ia inginkan, justru Carel tiba-tiba tertarik dengan Jessen yan...