Jessen menatap dirinya lewat cermin yang ada di kamarnya. Padahal dia yang memulai, tapi luka wajahnya justru lebih parah.
Selepas acara tonjok-tonjokkan dengan Gabri, dia langsung pulang karena tidak mau menjadi bahan tontonan orang-orang terutama Carel. Jessen tau Carel tidak peduli padanya, tapi ia tidak mau Carel melihatnya dalam kondisi menyedihkan seperti ini.
Untung Derian langsung datang kemudian melerai mereka. Kalau tidak, mungkin semua orang akan tau soal perkelahian konyol itu.
Jessen mengaduh kesakitan ketika ia menyentuh tulang pipinya yang membiru.
"Kok gua emosi, sih?" sesalnya.
Niat awal Jessen hanya untuk menegur Gabri yang sudah kelewatan, tapi dia makin tidak tahan dengan mulut seniornya yang bicara sembarangan. Seolah Carel adalah perempuan murahan.
"Carel." Jessen termenung di depan kaca. Tiba-tiba smirknya muncul dari wajahnya yang tegas. "Sebenernya gua udah move on atau belum, sih?"
............
"Udaranya enak banget, ya?" ujar Carel di tengah hamparan pasir.
"Udah dua minggu kak Rayan gak hubungin gue sama sekali. Dalam rentang waktu tersebut, gue jadi semakin dekat sama Gabri. We did something good too. Gue jahat gak sih ke kak Rayan?" papar Carel.
Tidak ada jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. Hanya terdengar suara burung-burung yang berterbangan serta ombak yang berdebur. Sesunyi itu hidupnya.
Pelupuk mata yang tadinya ringan, kini berubah jadi berat karena ada sesuatu yang tertahan di sana. Terlalu banyak yang tertahan hingga air mata itu akhirnya mengalir ke pipinya yang berwarna merah muda. Situasi ini membuat wajahnya panas di kala dingin.
"Lo gak ada kepinginan buat balik ke hidup gue?" Carel mengusap air mata yang melewati pipinya.
"Capek tau bertahan sendirian. Gue sempat kuat karena ada lo di sisi gue, tapi sekarang gue harus bertahan sendiri. Jujur, gue hampir gak sanggup."
"Kok bisa ya, lo percaya bahwa gue bisa hidup tanpa lo." lanjutnya.
Tangis Carel makin lama semakin kencang sebab hatinya sangat sesak. Dulu ia punya rumah untuk pulang, tapi sekarang rumah itu sudah pergi. Tanpa bercerita pun, Jiceline sudah tau perasaannya. Di kala itu, kakaknya akan memeluknya tanpa Carel ceritakan masalahnya. Justru Carel merasa bersalah karena selalu memarahi kakaknya bahkan, pada hal terkecil sekalipun.
Flashback on...
Dua tahun lalu...
"Gue gak kenapa-kenapa." Carel melepas pelukan kakaknya. "Lo gak usah lebay."
"Care main piano dong!" pinta Jicel.
Carel yang sedang ngambek pun memutar tubuhnya jadi mengarah ke Jicel. "Gue nih lagi kesel dan lo bisa-bisanya nyuruh gue main piano." ia menggeleng lambat.
Jicel pun tersenyum hangat. "Biasanya perasaan lo jadi baikan setelah main piano."
"Gak usah ngaco!"
"Ayo coba dulu!" Jicel pun bangkit lalu menariknya ke tempat piano milik Carel berada. Setelah itu, ia mendudukkan Carel di atas kursi piano agar adiknya mau memainkan benda besar itu.
"Ide ini gak guna sama sekali!" ceplos Carel.
"Mainin lagu kesukaan lo."
"Gak mau!" Carel pun berdiri lalu Jicel menurunkan bahu Carel hingga adiknya ini duduk kembali.
"Gue mau dengar lagu kesukaan lo."
Dengan berat hati akhirnya Carel memainkan lagu kesukaannya atas permintaan Jicel yang memaksa. Lagu yang dimainkan melalui piano adalah cerminan dari suasana pemainnya sebab itu permainan piano bisa terkesan tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfortunately, I Found You
Roman pour AdolescentsCarel selalu memegang teguh prinsipnya bahwa ia hanya akan menyukai laki-laki yang lebih tua darinya dengan status sosial yang sepadan dengannya. Namun, ketika sudah mendapatkan hal yang ia inginkan, justru Carel tiba-tiba tertarik dengan Jessen yan...