BAB 38 And The Truth is....

10 2 0
                                    

Aroma segar dari laut lepas inilah yang belakangan ini ia rindukan sebab sudah lama ia tidak berkunjung ke sini. Sore ini ia datang usai pulang sekolah, makanya Carel masih memakai seragam lengkap. 

Meskipun ombak sedang besar, ia berdiri di ujung dermaga. Tanpa takut. 

Ia pun meletakkan satu tangkai bunga mawar putih ke bawah kemudian kembali menatap ke depan. Kedua mata indah miliknya lagi-lagi menahan air mata yang kini membuatnya berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak, tapi ia berusaha menahan rasa sakitnya. 

"Gue nyesel." batin Carel. 

"Sebagai adik, harusnya gue gak boleh anggap lo sebagai saingan. Dengan begitu, kita gak perlu beda sekolah supaya gak ada orang berani ganggu lo dan kita gak akan pisah kayak gini." lanjutnya di dalam hati. 

Mau sekuat apapun ditahan, tetap saja air matanya mengalir deras hingga Carel tidak mampu lagi menahannya. Dadanya juga menjadi semakin sakit ketika menahan tangis terlalu lama. Oleh karena itu, ia membiarkannya mengalir supaya rasa sakitnya berkurang. Sesekali ia seka, karena tidak ingin pulang dengan wajah sembab. 

"Di saat kita satu sekolah, lo selalu jadi juara pertama sedangkan gue selalu jadi yang kedua. Orang-orang banyak yang suka sama lo karena lo sering tersenyum. Beda sama gue yang gak suka senyum. Mama papa lebih sering bicarain tentang lo ke teman-teman mereka dibandingkan gue. Bahkan, ketika sama gue pun, mereka membanggakan elo. Nama pena mama pun pakai nama lo." 

"Penyakit gue gak bikin mama papa lebih perhatian sama gue. Bahkan, perhatian pun enggak. Mereka sibuk ngurus lo sedangkan gue harus ngurus diri sendiri di usia yang masih kecil." 

Carel pun menghela napas. "Seandainya gue gak ada iri hati dan gak permasalahin semua itu, mungkin lo masih di sini." 

Tangisnya langsung lepas begitu ia menyelesaikan kalimat terakhirnya. Carel menunduk sedih dengan tangis yang disertai suara. Masih banyak yang ingin ia ungkapkan melalui kata-kata, tapi rasanya ia tidak sanggup karena merasa sangat jahat kepada saudaranya sendiri. 

Carel terus menangis di tempat seindah ini hingga pada akhirnya ia sedikit terdiam ketika ada orang yang tiba-tiba mengusap punggungnya. Setelah menoleh, ia mendapati laki-laki yang berseragam sama sepertinya tengah menatapnya dengan datar. 

Jessen pun menurunkan tangannya. "Kenapa gak dilanjutin lagi nangisnya?" 

"Lo ngapain ke sini?" balas Carel dengan suara bergetar. 

"Gak tau. Tiba-tiba pengen aja." jawab Jessen. "Lo sedih karena apa?" 

"Karena belakangan ini lo nyuekin gue." 

"Jangan bohong!" sebenarnya Jessen berdebar, tapi dia tau sebenarnya air mata itu bukan untuknya. 

"Loh, bener kan belakangan ini lo nyuekin gue? lo marah sama gue." 

"Gua kenal elo, kak. Gak mungkin lo nangisin cowok apalagi cowoknya itu gua." ujar Jessen. "Lo sedih karena apa? Jiceline?" tebaknya. 

Carel pun tersenyum miring. Setelah itu, ia mengangguk cepat. 

"Dia kembaran gue, tapi gue gak ingat dan orang-orang di sekitar gue berusaha nutupin fakta itu. Makanya gue sedih." 

"Cuma itu doang? gak karena hal lain?" 

"Emangnya ada hal lain lagi yang gue gak tau?" 

"Lo udah gak sesek lagi?" 

"Masih, tapi bisa gue tahan, kok." 

Jessen pun membuka kedua tangannya lebar-lebar dengan tatapan ke arah lain. Sebenarnya dia malu, tapi dia tetap melakukan ini karena suatu hal. 

"Gua ini masih marah sama lo jadi-"

Unfortunately, I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang