Padahal selama ini Jessen pikir ia sudah mengenal Carel dengan baik, tapi nyatanya ia salah. Dia baru tau kalau permintaan Carel selalu random dan harus dituruti pada saat itu juga. Seperti sekarang.
Pagi-pagi buta mereka sudah ada di pantai dengan alasan Carel ingin sarapan bubur ayam yang ada di dekat pantai. Meskipun begitu, ketika sampai mereka tidak langsung makan bubur ayam. Melainkan Carel pergi ke dermaga dan membawa satu buket bunga mawar putih.
Sama seperti sebelumnya, ia meletakkan bunga tersebut ke bawah kemudian memejamkan mata. Dengan cara seperti inilah ia menghilangkan rasa rindunya terhadap mama dan kakaknya. Alasan Carel sering ke sini karena abu dua orang yang ia cintai itu ditebar di sini dan ia sendiri yang menebarkannya. Oleh sebab itu, pantai ini punya ruang tersendiri di hatinya.
"Dingin, kak." ucap Jessen sembari meletakkan jaketnya ke pundak Carel.
Entah ide darimana, Carel memakai gaun putih yang waktu itu dia kenakan ketika Jesen tidak sengaja menemukannya. Pagi hari kan dingin, tapi Carel tetap memakai gaun tersebut. Dia merasa harus cantik agar mama dan kakaknya bahagia.
"Lo udah gak sesek lagi?"
"Semenjak gue bilang ke semua orang kalau gue gak pernah lupain Jiceline, rasa sesak itu perlahan mulai hilang. Kadang masih sakit, tapi gak sehebat dulu." jawab Carel dengan mata yang tertuju ke depan. Sebentar lagi matahari terbit.
"Dari dulu ucapan mama dan Jicel selalu sama. Mereka mau gue bahagia, tapi gue gak mau pura-pura bahagia kalau di depan mereka. Gue tunjukkin kalau gue sedih, tapi tetap berusaha supaya tetap bahagia. Gue dapetin semua keberuntungan di hidup ini karena doa dari mereka." Carel pun menoleh ke Jessen sambil tersenyum kecil. "Makasih ya lo gak nyuruh gue untuk lupain Jicel."
Jessen pun tertegun. "Gua juga gak mau lo lupain keluarga lo sendiri."
Carel pun kembali menatap ke depannya yaitu langit gelap yang mulai berubah jadi terang.
"Jicel, mama, kenalin ini Jessen. Teman Carel." ucap Carel.
"Ralat, temen hidupnya Carel." sahut Jessen.
"Jessen!"
"Loh, emang gak boleh?"
"Kalau mau jadi temen hidup gue, harus disetujuin dulu sama mereka." ucap Carel, asal.
"Udah, tuh."
Carel pun menoleh cepat. "Bohong!"
"Jicel setuju gua sama lo. Emang dia gak pernah bilang gitu?"
Carel pun berpikir sejenak. Dia mau bilang tidak, tapi Jicel pernah bilang seperti itu. Namun, kalau diiyakan nanti Jessen malah nyebelin. Makanya Carel memilih untuk diam.
"Kan, Jicel pasti pernah ngomong ke elo. Orang dia shipper kita nomor satu." kata Jessen.
"Gue belum selesai ngomong ke mama dan Jicel." kata Carel.
"Yaudah lanjutin." kata Jessen.
"Gak mau. Udah gak mood. Gara-gara lo!"
"Loh, kok gue?" Jessen bingung.
"Ayo kita makan bubur ayam aja!" ucap Carel kemudian berbalik. Dia pura-pura kesal supaya topik teralihkan.
Carel juga berjalan cepat agar wajah merahnya tidak terlihat di depan Jessen. Carel sendiri bingung kenapa jantungnya tiba-tiba berdebar dan wajahnya jadi panas. Padahal kan tempat ini dingin.
"Buru-buru banget. Tukang buburnya juga baru goreng kerupuk." ucap Jessen sembari mengejar Carel.
Perempuan bergaun putih itu lucu sekali. Jaket Jessen terlihat cocok dengannya meskipun dipadukan dengan gaun putih tersebut. Entah jaketnya yang cocok, atau karena Carel yang terlihat cocok ketika memakai apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfortunately, I Found You
Novela JuvenilCarel selalu memegang teguh prinsipnya bahwa ia hanya akan menyukai laki-laki yang lebih tua darinya dengan status sosial yang sepadan dengannya. Namun, ketika sudah mendapatkan hal yang ia inginkan, justru Carel tiba-tiba tertarik dengan Jessen yan...