°36. Mengabaikan.°

1.2K 76 6
                                    

SELAMAT MEMBACA^^

•••🍁•••

Anya termenung di dalam kamarnya, merebahkan tubuhnya dengan air mata yang masih mengalir. Rasanya sakit tidak dipercaya oleh pacarnya sendiri. Bahkan Anya merasa menjadi beban untuk Samuel.

Menghela napas, mengingat sikap dan perkataan Samuel tadi membuat hatinya semakin sakit. Semalaman ia tidak bisa tidur, padahal sebentar lagi ia harus siap-siap untuk sekolah. Rasanya tidak ada semangat.

"Apa penting sekolah? Buat apa?" lirih Anya bertanya pada dirinya sendiri. Hanya ingin mengurung diri di kamar saja, tidak ada niat untuk melakukan aktivitas lainnya.

Tapi, Anya teringat perjuangan nya sampai sejauh ini. Belajar keras selama ini, tidak mungkin untuk menyerah dan berhenti di sini saja. Tujuannya belum ia capai, Anya tidak bisa berhenti di sini.

Orang yang tidak punya mimpi terlihat menyedihkan. Tapi lebih miris, punya mimpi tapi tidak berusaha menggapai nya. Melepaskan mimpi itu sia-sia.

"Gak, An!" Anya bangkit dari tidurnya, mengusap air matanya. Tiba-tiba semangatnya langsung membara, menatap dirinya dipantulkan cermin. Helaan napas terdengar.

"Jijik banget kalau harus nangis-nangis gitu, Anya bukan gitu hey!" ucap Anya pada dirinya sendiri di depan cermin. Berkacak pinggang, menunjukkan ia tidak selemah itu. Mengulum senyum tipis, mencari semangatnya kembali.

Anya kuat, itu yang sedang ingin Anya tunjukkan. Sekarang tujuannya hanya meraih peringkat 1, membungkam segala omongan orang. Membuktikan pada mami nya, ia bisa.

"Kalau dia nggak percaya, biarin aja. Dia yang akan nyesel, bukan gue." Anya tersenyum lebar, meyakinkan dirinya. Menguatkan dirinya, meski sebenarnya Anya tidak sekuat itu.

•••🍁•••

Bernapas lega, Anya senang pagi ini ia tidak melihat wajah Gisell. Ia berangkat lebih pagi, tidak ikut sarapan bersama. Menghindari Gisell, bukan apa-apa. Anya hanya tidak mau kembali emosi karena melihat wajah Gisell.

Turun dari mobilnya, bercermin sejenak di kaca mobilnya. Melihat rambutnya rapi atau tidak. Tersenyum tipis, berbalik badan. Langkahnya terhenti, melihat Samuel berjalan bersama Randy.

"Tahan, An. Mood lo harus tetap stabil." Anya mencoba mengontrol dirinya, tidak emosi dan kembali menangis melihat Samuel. Walau sejujurnya, rasanya kembali sakit melihat Samuel dan mengingat kalimat-kalimat cowok itu.

Dengan tanpa ragu, Anya berjalan angkuh. Melewati Samuel dan Randy. Sedikit pun tidak menoleh, seakan kembali asing dengan cowok itu. Tapi sayangnya, Samuel tiba-tiba menarik rambutnya.

"Dega, sakit." Anya menepis tangan Samuel, rautnya kesal. Detik selanjutnya, Anya kembali menatap Samuel datar. Lebih tepatnya sinis.

"Apa-apa jangan ngehindar," ucap Samuel yang sadar Anya mengabaikan nya. Samuel tidak mau masalahnya semakin berlarut.

"Buat apa gue peduliin lo?" tanya Anya sinis, helaan napas terdengar dari Samuel.

"Jangan kekanak-kanakan gini, gak usah ajak debat." Anya mengerutkan keningnya, terkekeh heran oleh ucapan Samuel.

"Lagi-lagi dibilang kekanak-kanakan, dibilang cemburuan, dibilang ajak ribut, ngerepotin, nambahin beban pikiran. Dahlah."

Anya hendak berbalik badan dan pergi, tapi Samuel menahannya lagi. Berbalik, Anya menatap Samuel tampa minat. Samuel menggenggam tangan Anya, sedikit keras.

"Percuma juga gue bilangin tapi lo abaikan. Belajar sadar diri, An." Anya meringis kesakitan, Samuel terlalu erat menggenggam tangannya. Tatapan cowok itu tidak lepas dari matanya, Samuel memang tidak niat melepaskan genggamannya.

PANDEGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang