Selamat membaca ^^
•••💜•••
"Mata lo cantik, gue suka." Samuel mengusap-usap mata Anya, membuat Anya memejamkan matanya. Elusan itu, semakin mendebarkan jantungnya. Ia tidak bohong, selalu nyaman.
Elusan itu, tatapan itu, senyum itu, kata-kata itu, pelukan itu. Jika semuanya dari Samuel, akan tetap nyaman. Anya mengakuinya, dan ia suka itu. Terlebih ia merindukan itu juga.
"Capek ya? Gue terlalu egois dan sibuk ya? Maafin," lirih Samuel masih mengelus-elus pipi Anya. Anya perlahan membuka matanya, tepat menatap mata Samuel. Masih ada senyum itu, tampan.
Ya, Samuel terlihat sangat tampan dengan senyum itu. Di mana sifat dinginnya? Anya tidak merasakan itu, selalu ada kehangatan saat Samuel di sisinya.
Anya mengerjapkan matanya, memalingkan wajahnya sembari menepis tangan Samuel. "Pergi, Dega."
Anya tetap seperti tadi, menahan perasaannya agar tidak mudah luluh dengan perlakuan Samuel. Menghentikan kontak matanya, karena ia tahu ia tidak kuat menatap mata itu.
Samuel menghela napas, susah sekali meluluhkan hati Anya. "An, gue berhasil dapat bukti kalau gue nggak salah. Bukti itu ponselnya Reza."
Samuel bercerita, ingin berbagi tentang dirinya pada si pacar. Meski Anya acuh, Samuel tetap bercerita. Tahu, bahwa Anya tetap mendengarkan nya.
"Pergi, Dega," respon Anya seperti tadi, seakan tidak tertarik dengan cerita Samuel. Bahkan menoleh saja tidak, meski dalam hati Anya ikut senang dengan berita itu.
"Gue ketemu chat-chat an Reza sama Fathur. Reza ternyata sebelum meninggal ketemu Fathur. Bahkan Fathur tahu penyebab kecelakaan Reza."
Samuel tetap bercerita meski Anya tidak merespon dengan baik. Tapi, dengan cara Anya tetap diam saat Samuel berbicara, itu membuat Samuel tahu jika Anya sebenarnya ingin tahu cerita nya dan menghargai dirinya.
"Dega, buka pintunya, keluar," lirih Anya lagi. Masih terus mengucapkan kata yang sama. Menunjukkan rasa tidak peduli nya, padahal kenyataannya Anya tetap peduli. Masih peduli.
"Fathur yang fitnah gue, entahlah kenapa bisa dia nggak suka sama gue. Dia jahat ya, cantik?" Samuel terus bercerita, kepalanya perlahan mulai bersandar di pundak Anya. Wajahnya sedikit ditekuk, terlihat menggemaskan.
Anya memejamkan matanya, ia masih diam membiarkan Samuel bersandar seperti itu. Jantung sedari tadi tidak bisa tenang. Ini tidak aman. Apalagi kata terakhir yang Samuel ucapkan.
"Gue benci situasi ini. Mau aja gitu kayak dulu. Bisa kan ya?" lanjut Samuel, masih mencoba terus meluluhkan hati gadis nya. Samuel menghela napas, mulai memejamkan matanya. Menunggu Anya menjalankan mobilnya.
Anya menghembuskan napasnya dengan kasar, menggeser tubuhnya membuat Samuel hampir jatuh. Anya menggeser tubuh Samuel, mendorong nya pelan. Anya menatap Samuel, ingin cowok itu paham.
"Dega, gue mau fokus ujian. Gue mau juara satu," tutur Anya pelan, Samuel tetap diam, mengangguk paham akan hal itu. Senyumnya mulai terukir lagi, tipis.
"Iya, gue kan--"
"Dega," potong Anya membuat Samuel diam. "Kalau nggak bisa bantu, jangan ganggu. Jangan buyarin fokus gue."
Samuel langsung terdiam, senyumnya menghilang. Entah kenapa rasanya tidak enak di hatinya, sedikit sakit dan nyesek. Samuel seketika teringat, kejadian dulu.
"Kalau lo nggak bisa bantu, cukup jangan repotin gue." Anya mendongakkan wajahnya, menatap mata Samuel.
"Jadi, gue ngerepotin lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDEGA
Teen Fiction"Pandega! Gue suka nama itu!" pekik Anya dengan senang. Samuel tersenyum miring, mendekat ke Anya. "Nama doang?" goda Samuel. "Mau lebih lo?" Samuel kembali tersenyum miring, semakin mendekatkan wajahnya. "Boleh?" ••• Samuel Pandega. Si dingin de...