°20. Berbagi Beban°

1.2K 95 8
                                    

SELAMAT MEMBACA^^

•••🍁•••

Anya masih terkejut dengan kenyataan ini. Tidak mudah untuknya menerima semua ini. Apalagi kematian Angel yang terbilang tragis. Ia sudah menemukan jawabannya, kenapa Gavin selalu menghindar pertanyaan mengenai Angel.

Anya menatap makam di depannya, mayat Angel baru saja selesai dikuburkan. Raganya sudah menyatu dengan tanah.

"An, kuat ya." Anya menoleh ke Samuel, genggaman tangan cowok itu tidak lepas. Terus memberikan ia kekuatan.

Anya tersenyum tipis, menoleh ke Gavin. Sebentar lagi, ia juga akan berpisah dari Gavin. Gavin harus menanggung kesalahannya, di penjara.

"Gav," lirih Anya. Cowok di sampingnya perlahan mendongak, matanya sudah memerah dan berkaca-kaca. Terlihat sangat menyesal.

"Nya, maaf." Gavin mendekat, memeluk Anya dengan erat. Menyalurkan rasa menyesal dan maaf nya.

"Maaf untuk kematian Angel. Maaf untuk kesalahan gue, yang hampir jadiin lo kambing hitam. Hampir fitnah lo." Anya mengusap-usap punggung Gavin, mencoba meredam rasa marahnya.

"Gav, setelah keluar dari penjara, lo jadi Gavin yang gue kenal dulu ya?" pinta Anya lirih. Anggukan kecil terasa dari Gavin.

"Iya, Nya. Gue janji buat lo, gue bakalan berusaha normal lagi." Perlahan Anya melepaskan pelukannya. Tangannya bergerak, mengusap air mata Gavin.

Anya mencoba terkekeh kecil. Mencairkan suasana.

"Gav, apa pesan teror itu juga dari lo?" tanya Anya, mengingat pesan-pesan yang meneror nya juga. Alis Gavin berkerut, merasa heran.

"Nya, soal surat-surat di loker lo itu emang gue. Gue mencoba memfitnah lo, seolah-olah lo yang nge bunuh Angel. Soal pesan, gue nggak ngerti sama sekali."

Anya mengernyitkan heran, menatap Gavin dalam-dalam. Raut cowok itu tampak tidak berbohong. Decakan kecil keluar dari mulut Anya.

"Kenapa, Nya? Lo diteror?" tanya Gavin. Anya melirik Samuel, lalu menggeleng kecil. Gavin ikut melirik Samuel. Menepuk pundak cowok itu.

"Heh, jangan pernah cemburu sama gue. Gue nggak suka sama dia," ucap Gavin diiringi candaan. Samuel menepis tangan Gavin dari pundak nya.

"Lo kan sukanya cowok," jawab Samuel dengan gampangnya. Anya mencubit perut Samuel, memperingati.

"Jaga ucapannya ih," peringati Anya.

"Itu fakta. Dan dia, wajib berubah." Gavin tersenyum tipis mendengar ucapan Samuel. Gavin manggut-manggut saja.

"Gue bakalan normal lagi," ucapnya lirih.

"Gav, nggak pernah ada pembenaran untuk sebuah dosa. Yang lo jalani itu dosa. Apapun alasannya lo seperti itu, tetap dosa. Jangan menentang hukum alam."

Gavin tersenyum lebar mendengar ucapan Anya. Setidaknya Anya masih mau menjadi sahabat nya itu sudah lebih dari cukup.

"Stok cewek masih banyak ngab," celetuk Samuel. Gavin tersenyum miring, Samuel masih saja sinis padanya.

"Jaga temen gue. Gue tahu, lo bisa jaga dia. Eh, gatau sih," ucap Gavin lalu nyengir lebar.

"Gue bisa." Samuel mempertegas.

"Bisa apa? Nyakitin?" pancing Gavin. Samuel memutar bola matanya malas. Tidak mau meladeni Gavin.

Gavin mendekat ke Samuel, menepuk-nepuk pundak cowok itu.

"Jaga Anya dari teror itu," lirih Gavin. Samuel mengangguk sekenanya.

"Gue bakal jaga dia buat lo," celetuk Samuel.

"Kok buat gue? Ya buat lo lah!" Gavin menoyor kepala cowok itu. "Jaga dia buat lo."

Samuel hanya berdehem, tangannya masih menggenggam tangan Anya. Mungkin nyaman. Anya pun membiarkan saja, nyatanya ia butuh kekuatan dari orang lain.

Tak lama, beberapa polisi datang. Gavin sudah mau mengakui kesalahannya. Dan ia siap untuk menanggung resikonya. Ia siap untuk bertanggung jawab.

"Gav," lirih Anya. Hatinya masih sakit, apalagi melepaskan kepergian Gavin.

Gavin tersenyum, tangannya mengusap air mata Anya. Mengelus-elus lembut pipi Anya. Mencoba meyakinkan jika ia akan baik-baik saja.

"Maafin gue, gue nggak bisa bantu lo. Janji ya sama gue. Setelah keluar dari sana, jadi Gavin yang dulu gue kenal."

Gavin menganggukkan kepalanya, mengusap-usap kepala Anya. Menahan air matanya agar tidak keluar.

"Buat lo, gue bakalan berubah." Anya tersenyum mendengarnya, sekali lagi ia memeluk Gavin untuk terakhir kalinya.

"Jaga diri baik-baik ya di sana. Gue bakalan sering jengukin lo kok." Anya perlahan melepaskan pelukannya, mengusap air matanya. Tangan Gavin mengusap-usap pipi dan kepala Anya dengan senyum lebar.

Sebelum kedua tangannya diborgol oleh polisi. Gavin memberikan senyumnya lagi pada kedua orang itu.

"Gue pamit," lirih Gavin masih mempertahankan senyumnya. Samuel menghela napas, menepuk pundak Gavin.

"Kalau udah sampai penjara, kabarin." Gavin terkekeh kecil mendengarnya. Samuel hanya mencoba mencairkan suasana.

"Dikira gue mau liburan apa," ucap Gavin menanggapi. Samuel tersenyum miring.

"Jangan kecewain Anya lagi," lirih Samuel di dekay telinga Gavin. Gavin mengangguk yakin, ia mendekat ke telinga Samuel.

"Jangan tinggalin Anya. Jaga dia." Gavin tersenyum. Samuel melirik Anya, hanya berdehem. Perlahan ia dituntun untuk jalan menuju mobil polisi.

Mata Anya masih menatap punggung Gavin yang perlahan menjauh. Tiba-tiba ia merasakan tangan Samuel merangkulnya.

"Ayo pulang, An." Anya menoleh, mengusap lagi air matanya dan menuruti Samuel. Berjalan menuju mobilnya.

•••🍁•••

Anya mengamati Samuel yang tengah memasang seatbelt nya. Masih ada pertanyaan yang mengganjal baginya.

"Motor lo gimana?" tanya Anya.

"Gampang," jawab Samuel tidak mau ambil pusing. Anya manggut-manggut saja.

"Dega, kok lo tahu gue di sini?" tanya Anya. Samuel melirik sejenak, lalu kembali menatap depan. Mulai menjalankan mesin mobilnya dengan perlahan.

"Apa gue bakal biarin lo pergi gitu aja?" tanya Samuel balik. Anya menghela napas, ternyata Samuel mengikutinya sejak di kafe tadi.

Tanpa Anya sadari, mata Samuel terus menatapnya dari samping. Menatap wajah Anya yang begitu tenang, tapi Samuel tahu. Hati gadis itu tidak setenang wajahnya.

"An," lirih Samuel. Anya hanya berdehem tanpa menoleh. Pandangannya masih fokus ke luar jendela.

"Gue mau minta izin." Anya mengernyitkan keningnya, perlahan menolehkan kepalanya pada Samuel. Cowok itu menatapnya sejenak.

"Setidaknya izinin gue jadi manusia berguna buat lo. Bagi beban-beban lo ke gue," ucap Samuel membuat Anya masih saja diam. Ia tidak tahu harus merespon bagaimana.

Apa untuk pertama kalinya ia berbagi masalahnya pada orang lain? Bahkan pada orang tua nya saja tidak pernah. Dan apa, orang itu Samuel? Orang yang tepat untuknya.

"Jangan hancurin gue, dengan cara nyakitin diri lo sendiri. Gue lebih kuat untuk nanggung masalah lo."

Anya menatap mata Samuel dengan dalam. Selalu menemukan kenyamanan di sana. Dan kehangatan pula di tangannya, tangan yang digenggam oleh Samuel.

Anya tersenyum tipis, setidaknya di depan Samuel ia tidak perlu berpura-pura kuat. Ia bisa apa adanya, dan Samuel bisa menerima itu.

•••🍁••••

MAAAF LAMA UP DAN SEDIKIT. JANGAN LUPA PENCET BINTANG NYA

PANDEGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang