MOON CAFE, PUDONG AIRPORT
SHANGHAIKepala Charlotta terasa pusing. Ia merasa kantuknya belum selesai ketika pesawat melandas sejak beberapa jam yang lalu. Ia masih bersandar tak berdaya di sebuah kafe dekat bandara Pudong, Shanghai. Udara di China terasa berat, atau mungkin hanya efek jetlag yang menguasai seluruh tubuhnya. Ia sudah menenggak minuman manis yang dipesan lebih dari dua kali, tapi rasanya masih kurang. Rasanya mau melempar diri ke kasur langsung. Tapi tidak boleh, Charlotta menggeleng-geleng, mengusir kantuk itu sambil menarik napas panjang.
Ia tidak boleh mengacau di jetlag pertamanya. Memalukan sekali kalau ia menceritakan ini ke Cindy, yang ada ia habis dikata-katai. Sambil menarik kopernya keluar kafe, beberapa pengunjung duduk di teras kafe. Paras mereka yang Asia dan mengobrol dalam bahasa asing kadang-kadang menyadarkannya kalau ia bukan lagi di New York.
Ini di Shanghai, musim panas di kota asing dan baru. Di hadapannya, langit cerah membentang luas. Charlotta mencium aroma hangat sekaligus segar di sekitar Pudong. Ia mengecek waktu, pukul dua siang lebih. Ia memandang berkeliling, menunggu taksi melintasi drop off depan kafe yang menempel ke gedung bandara.
Setelah mendapat taksi, ia langsung menyerahkan alamat sambil supir taksi itu menggumamkan sesuatu dalam bahasa mandarin--yang Charlotta bisa artikan, dia paham alamat yang dimaksud, mobil pun membelah jalan tol yang lengang. Charlotta memandang keluar jendela, mendapati beragam merk mobil asing di sekitarnya. Ia agak menghela napas, lalu tiba-tiba merasa khawatir.
Bagaimana kalau semua ini hanya kepanikan mendadaknya dan surat itu bukan milik Karry? Bagaimana kalau pelayannya sempat salah menerka? Ah tapi tidak mungkin, pelayan Natalie lebih cermat dan ia veteran sejak Karry masih kecil. Seharusnya ia menanyakan lebih detail dulu soal Felicia ini. Tapi...
Semakin dipikirkan, kepala Charlotta semakin berdenyut. Ia meringis pelan, menyandarkan kepala ke punggung kursi. Bagaimana pun, ia tetap tidak akan tenang jika tidak melihat langsung Karry. Apa ia terlalu protektif sekarang?
Melihat hubungan yang sudah terjalin, Charlotta tahu ini bukan soal Karry saja, tapi soal penyakit lamanya yang tumbuh. Ambisi akan rasa ingin tahu yang lebih besar. Ketika ketidakmungkinan mencari orangtua, CS malah berakhir pada mukjizat. Ia tidak menyangka kalau ambisi yang besar itu mampu membuat dunia berbalik memberinya jawaban. Itu juga yang membuatnya berharap bisa menemukan jawaban yang sesungguhnya. Lagipula, sekalian jalan-jalan, kan?
Telepon Charlotta tiba-tiba berdering. Ia merogoh-rogoh tas ranselnya lalu mengangkatnya segera. Telepon antar negara, dari Karry.
"Hai," sapa Charlotta duluan, "bagaimana keadaanmu?"
Terdengar suara gemersak sekali lalu suara Karry menyahut, "kau di mana?"
Charlotta mengerling sekali, ia menjawab cepat, "di luar."
"Di mana?"
"Menuju tempat ayahku."
"Oh, apa kau ingin menghabiskan musim panas bersamanya? Bagaimana pelajaranmu?"
Charlotta memutarkan bola matanya, tidak tahu saja sekarang ia sedang di taksi menyusulnya.
"Berhenti Karry. Kenapa jadi kau yang menanyakan kondisiku. Harusnya aku yang bertanya. Apa jetlagmu aman?" tanya Charlotta lancar.
"Masih harus beradaptasi. Aku baik-baik saja. Mulai besok kelasnya akan dimulai."
Charlotta pura-pura meringankan suaranya, "oh wow. Pasti menyenangkan. Sekarang, apa yang kau lakukan?"
"Makan siang dengan ayahku dan kerabat keluarga Liang."
"Ah.. ya," mendengar kata Liang, tengkuk Charlotta langsung mendesir. Ia harus mengingatkan dirinya kalau ia sedang dalam misi mengintai.
"Kau sudah makan?"
Seketika Charlotta tergagap. Ia buru-buru melihat arlojinya. Pukul berapa sekarang di New York? Beda 30 jam.
"Ketahuan. Kau bohong," celetuk Karry ketika ia memelotot menemukan jam arloji menunjuk waktu setengah tiga pagi di New York. Ia menggigit bibir bawahnya, meringis dalam hati.
"Aku tidak--"
"Katakan padaku kau sedang tidak menyusul ke Shanghai, bukan?"
Charlotta langsung tertawa kering, "kau gila ya. Ini efek karena kau meneleponku malam-malam begini makanya aku baru sadar. Ya tuhan, Karry, aku di rumah ayahku. Iya benar."
"Rasanya sulit sekali mempercayaimu kalau tidak video call. Ayo, tukar panggilannya."
Charlotta terkesiap, ia menggertak sigap, "jangan. Jangan! Demi Tuhan, Karry aku mengantuk. Bisakah kau telepon beberapa jam lagi?" Ia pura-pura menguap. Dari sebrang telpon, Karry mendengus pelan.
"Baiklah."
"Hm."
Telepon ditutup, jantung CS mencelus lega. Setidaknya, ia masih aman sekarang.
xx
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Secret (Sequel)
Teen FictionCompleted. Setelah resmi berpacaran dengan Karry Wang dan melalui petualangan mencari orangtuanya yang ternyata adalah seorang pengrajin Teddy Bear terbesar di dunia--James Smith, kini kehidupan Charlotta dan Karry terus bersemayam dalam Crown Garde...