9 : CINDY YOUNG

25 9 1
                                    

APARTMENT ASTORIA

NEW YORK

"Kau bercanda, Charlotta. Ini pukul empat pagi! Ya tuhan," Cindy mengerang bangun sambil menyalakan lampu meja di sebelah ranjangnya. Ia mengusap wajah, mendengarkan suara panik Charlotta di sebrang telepon. Ia menyandarkan kepala ke sisi ranjang sambil menguap.

"Apa kau dengar kataku barusan!?"

Satu hal yang membuatnya terbangun di tengah malam ini hanya bunyi telepon yang berdering keras. Dengan susah payah tersadar di antara matanya yang masih berkabut, ia mendengar Charlotta berteriak-teriak sementara suara itu membuat Cindy jengkel dan menyalakan lampu.

"Aku tidak dengar dan tidak peduli!" teriak Cindy geram. Ia menghela napas keras, tapi Charlotta mengabaikan itu.

"Aku melihat Karry bersama seorang gadis di depan hotel Farmount! Kau harus mengecek foto yang barusan ku kirim! Cepat!"

Mendengar nama Karry, otak Cindy langsung meningkat drastis, ia agak tersentak dari sandarannya, buru-buru menurunkan ponsel dari telinga lalu melihat foto yang gadis itu kirimkan dari aplikasi pesan online. Mata Cindy membelalak. Walaupun teknik foto Charlotta nampak buruk, tapi ia bisa mengenal jelas kalau gadis yang berdiri di sebelah Karry--dengan tangan diselipkan ke lengan cowok itu sambil berbelok dari teras hotel--adalah Felicia Liang. Tenggorokan Cindy terasa serak, ia menenggak air putih lalu kembali menempelkan ponsel ke telinga.

"....Cindy aku sedang mengikutinya, mereka berjalan ke--"

"Itu Felicia Liang."

"Apa? Ta--tapi--apa yang--"

Cindy menyerbu cepat, "jangan sampai lolos, CS. Kau harus memastikan kalau Karry tidak melakukan apapun di luar--kau tahu," ia mendecakkan lidah. Sambil berjalan ke meja kerjanya, ia membuka laptop yang masih menyala. Ia baru tidur dua jam setelah menyelesaikan pekerjaan bisnis gaun yang sedang digarapnya. Meski liburan musim panas masih berlangsung, dan bisa saja ia ikut ke Shanghai membantu CS, ia hanya merasa tindakan itu bisa berlebihan. Apalagi ketika Felicia Liang kembali muncul lagi.

Setelah 10 tahun mereka bertemu di Summer Garden waktu itu, Cindy pikir Felicia tidak akan berani muncul di depan Karry. Tapi--apa surat yang CS temukan waktu itu benar adanya? Apa Karry benar-benar melakukan suatu perjanjian klise dengan anak itu?

"Mereka masuk ke sebuah kios perhiasan--Lodderine.co. Apa yang ia lakukan?" suara Charlotta penuh tanya, menimbulkan rasa penasaran Cindy. Ia menjepit ponsel di antara bahu, lalu tanganya membuka aplikasi pesan online lainnya di laptop. Ia mengetik sebuah nama di nomor kontak yang sudah lama tidak ia sapa.

Jackson Han.

"Kurasa Karry ingin membeli sesuatu. Ah, itu dia," info Charlotta lagi, "oh, kurasa bukan Karry, tapi gadis itu membeli sesuatu."

"Baiklah, hentikan, Charlotta. Kau bisa saja dicurigai seseorang jika mengikuti dia terlalu jauh."

"Aku tidak peduli! Aku harus tahu apa yang Karry sedang lakukan. Ia bahkan meneleponku dengan santai tanpa memberitahu Felicia-Felicia ini." Nada bicara CS berubah ketus, Cindy bisa maklum itu. Dasar Karry kurang komunikasi, ia tidak tahu apa hanya Karry yang malas memberitahu atau ia memang tidak berniat menceritakan soal Felicia. Apa pun alasannya, kalau Cindy jadi Charlotta, jelas ia gelisah dan cemas.

"Mari kita berpikir positif. Siapa tahu Karry hanya disuruh ayahnya untuk menemani Felicia--ah, lupa. Mereka saling bergandengan," ujar Cindy agak menepak keningnya. Suara napas Charlotta yang menderu di ponsel membuat Cindy ikut merasakan adrenalin gadis itu. Sekarang, ia hanya perlu memastikan sesuatu pada saksi masa kecil mereka.

Ia mengetik pesan pada Jackson.

Jacks, mayday. Apa kau tahu Karry ada di Shanghai?

Rentan sebenarnya chat Jackson, anak itu suka sibuk dan bisa saja ponselnya tidak di tangannya. Walaupun sekarang sudah pukul tiga sore di Shanghai, Jackson cukup sibuk dalam profesinya sebagai artis idol. Tapi beberapa detik Cindy meninggalkan kolom chat, pesannya dibalas. Buru-buru Cindy membuka pesan itu.

What? Aku tidak tahu. Di mana dia?

Sekarang mungkin dia ada di sekitar Hotel Farmount bersama Felicia Liang.

Pesan itu tiba-tiba bergulir cepat, jemari Cindy sibuk berlari sana-sini, sementara otaknya melupakan suara Charlotta yang terus melaporkan kalau Karry dan gadis itu sudah kembali lagi ke hotel.

Kau bercanda? Felicia... Felicia yang itu?

Felicia cucu kesayangan Nenek May!

Untuk apa? Buat apa Karry bersama Felicia? Ceritakan padaku yang jelas. Aku sebentar lagi latihan. Tidak punya banyak waktu untuk menelpon sekarang.

Charlotta bilang, Karry akan menempuh paket kelas bisnis yang diadakan Brian Liang, alias ayah Felicia yang hampir lima tahun ini menggeluti bidang pertambangan giok.

Hah? Bukankah Paman Brian tabib?

Oke, itu cerita yang panjang. Lain kali aku ceritakan. Tapi sekarang, gawat, Jacks. Charlotta melihat Felicia berduaan dengan Karry dengan tangan saling menggandeng! Mereka.... tidak mungkin, kan?

Oke, aku akan meminta penjelasan nanti malam. Aku harus latihan, tapi kalau boleh, tolong beritahu Charlotta, tetap percaya pada Karry. Bukan pada apa yang ia lihat.

Setelah kalimat itu, Cindy menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sambil menggenggam ponsel kembali.

Masalahnya, tidak akan ada logika yang bisa setenang itu jika hati seseorang sedang dipaksa melihat sesuatu yang menakutkan. Suara Charlotta tiba-tiba berbisik pelan.

".... Cindy, ingatkan aku. Mereka ada di Lounge VIP Suite Premium. Mereka berdua masuk ke sana dan sepertinya... tunggu."

Cindy mengusap wajahnya sekali lagi. Ingatan soal cerita keluarga Young mengenai keluarga Liang yang mulai membibit pertambangan giok sedikit membuatnya sebal. Pasalnya, dari ketujuh keluarga Asia yang terkenal, hanya keluarga Liang yang menggeluti bidang kedokteran, dan mereka cukup piawai untuk menguasai pasar obat-obatan. Tapi, kenapa sekarang tiba-tiba keluarga Liang ikut menceburkan diri ke dunia bisnis, bahkan pertambangan? Apakah mereka memulai rencana bisnis baru untuk mengalahkan pasar ekonomi yang saat ini sedang dipegang oleh Keluarga Wang dengan bisnis properti dan kepulauannya? Rasanya menyebalkan sekali. Bukan sebal, Cindy merasa dengki untuk mengingat kalau keluarga Liang terkesan rakus.

"Apa kau mendapat petun--"

"Ya Tuhan!" Charlotta memekik dari sebrang telepon, mengejutkan Cindy sejenak.

Gadis itu masih berbicara terus, sepertinya ia menabrak seseorang. "Maafkan aku, oh--ya ampun aku lupa, bahasa China. Oke--"

"Apa yang kau lakukan di sini?" sahut suara itu bertanya dengan bahasa inggris. Tanpa sadar Cindy menegapkan punggungnya. Ia sekilas merasa tidak asing dengan suara cowok itu.

"Ah, maaf-maaf. Aku sepertinya salah ruangan." Charlotta terdengar setengah berlari karena suara gemersak angin. Cindy kembali beranjak, ia beralih duduk di tepi ranjangnya.

"Charlotta, sekarang apa kau benar-benar mengacau?"

"Tidak, aku hanya menabrak seseorang. Tapi--seseorang itu masuk ke Lounge Suit itu. Apa dia salah satu orang yang mengikut kelas bisnis bersama Karry?" tanya Charlotta. Yang ikut kelas bisnis Liang pasti bukan sembarang orang karena pasti baik keluarga mana pun tidak memperbolehkan membiarkan ilmu mereka tersebar ke orang asing. Bisa jadi, orang tadi itu anggota keluarga yang lain.

"Bisa jadi. Sekarang apa?" tanya Cindy. Gadis di sebrang telpon itu terdengar terengah-engah.

"Aku akan menginap di sini. Sulit rasanya untuk mengetahui kamar Karry, tapi semoga aku beruntung kali ini."

Dengan satu tarikan napas panjang dan perasaan campur aduk, Cindy menutup telepon sambil berujar, "telepon aku kalau kau benar-benar beruntung."

****

The Prince's Secret (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang