Ia meringkuk di pojok sofa. Memeluk kedua kakinya yang menekuk di depan dada, merasakan pendingin ruangan lebih menusuk dari biasanya. Di belakangnya, suara Brian terdengar kecil sambil menelepon. Dalam samar-samar itu, ia merasa begitu benci pada keadaan. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain diam saja. Ia tidak bisa mengelak kata-kata Karry. Dan ia tidak bisa menghapus segala sesak yang ia rasakan.
Hanya dia, yang selama ini benar-benar nyata. Ada di hidupku, membawaku kembali menerima kalau masa lalu itu memang tidak pernah kemana pun. Ia indah di waktu yang tepat. Tapi bukan di antara aku dan kau
Bagaimana bisa Karry merasakan Nenek May dalam bayangannya? Apakah dengan begitu juga cara ia mencintai Charlotta? Apa dengan cara itu, Charlotta bisa pura-pura tidak tahu? Kenyataan itu membuatnya semakin benci gadis berambut pendek itu. Bagaimana mereka bisa bertemu? Bagaimana Charlotta bisa setenang itu untuk mendapatkan Karry lagi?
Setelah sepuluh tahun, berpegangan erat dengan janji yang mereka buat meski pada akhirnya kandas karena kebencian masa kecil itu, Felicia merasa senang karena ketika mereka dipertemukan kembali, itu semua berkat janji di catatan itu.
Tapi, sekarang, setelah ia mendengar apa kata Karry, apakah semua ini terasa seperti balas dendam?
Felicia memeluk dirinya semakin erat, tidak ingin menangis hanya karena perasaan bodoh. Harapan bodoh, catatan bodoh. Diam-diam, Felicia meremukkan catatan yang ia pegang sendari tadi seakan bisa melupakan kata-kata yang Karry ucapkan.
Ini semua tidak nyata.
Ini tidak pernah nyata.
"Felicia," panggil ayahnya seketika menyentak dari lamunan. Ayahnya sudah di sampingnya, ikut duduk dengan tatapan nanar. Yang seperti Felicia duga, ayahnya bukanlah Bernard Wang. Yang bisa membalikan keadaan, atau menghentikan keputusan. Takhta itu masih jauh dimiliki oleh mereka. Dan terlalu mustahil untuk Felicia dapatkan di tangannya sekarang.
"Maafkan aku," ayah mengusap rambut Felicia, ia menggeleng penuh penyesalan, "seharusnya aku bisa menarik segala pabrik dan perjanjian untuk membantunya, tapi ini, sulit Felicia. Kita membutuhkan mereka untuk menyebar investasi ini--"
"Aku tahu," sela Felicia tersenyum tegar. Mereka bukan keluarga yang memiliki kekayaan terbesar dalam ketujuh kerabat lainnya. Meski keluarga Wang terasa mustahil, tapi ia ingin membantu ayahnya mengalahkan Bernard Wang. Ia ingin keluarga Liang juga bukan hanya dipandang sebagai pakar kesehatan. Mereka ingin disanjung, Felicia ingin Karry sadar kalau lebih dari sepuluh yang tahun, ia ingin merasa cukup untuk bersanding dengannya nanti. Ia ingin mereka melupakan masa lalu dan membiarkan kedewasaan tumbuh bersama.
Sayangnya, hal itu hanya teredam dalam rencana.
"Kau boleh memutuskan untuk tidak menyerah. Tapi ayah tidak bisa membantumu lagi dalam ikatan bisnis ini. Bernard bahkan--sudah melepas keputusan Karry. Entah apa yang terjadi tapi, aku sangat menyesal, Felicia."
Kata-kata ayah membuat Felicia terisak. Ini bukan salah ayahnya. Ayah terlalu baik untuk menyerahkan segalanya pada keadaan. Tidak seperti Felicia. Kenapa Felicia tidak menyerah saja? Rasa sakit yang masih teredam dalam dadanya membuatnya menolak untuk merasakan itu. Ia tidak ingin merasakannya terlalu lama lagi. Ia sudah cukup atas penantian sepuluh tahun yang lalu. Dan ia ingin ini berakhir seperti seharusnya.
"Kau tidak perlu minta maaf padaku, dad. Ini bukan salahmu. Karry hanya perlu diingatkan lagi. Dan aku tidak akan kehilangannya begitu saja," sahut Felicia. Ada nada kemenangan yang terbesit nyata, dibarengi keyakinan yang ciut. Bagaimana pun, ia harus meyakinkan lagi dari sisi yang lain.
xx
Di dalam restoran yang ada di dekat lobi utama, Felicia melihat si gadis rambut pendek yang memakai rok denim selutut dan kaos putih sederhana dibalut rompi hitam berjalan ke arahnya. Langkahnya ringan dan ia memakai sedikit riasan hari ini.
Entah kenapa, baru kali ini ia melihat pancaran Charlotta menembus semua orang yang ada di dalam restoran.
"Kau ingin bertemu denganku?" tanya gadis itu memastikan sebelum duduk. Felicia menyentakkan dagunya tipis, lalu ia mengambil kursi di hadapan Felicia dan diam.
Beberapa jam yang lalu, sebelum sore, ia menelepon Charlotta. Meskipun Karry sudah jelas-jelas memberitahunya atas hubungan mereka, Felicia tetap perlu menanyakannya pada Charlotta.
"Apa kau tahu soal Nenek May?"
Wajah gadis itu agak risau sedikit, tapi kemudian mengangguk, "terima kasih karenamu, aku tahu semua detail itu."
Ada sepercik ketakutan yang mendadak muncul dalam diri Felicia. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Nenek May meninggal karena sudah seharusnya begitu. Sedalam itu Felicia mencintai Karry, seperti itulah pengorbanannya.
"Itu adalah milik kami. Kau tidak tahu apa-apa dari yang Karry miliki bersama Nenek May. Kau tidak memilikinya seperti aku memilikinya," ucap Felicia yakin.
"Aku tahu," Charlotta menunduk, menatap jari-jarinya di pangkuan. Segala bentuk kelemahan, keraguan menjadi satu tapi kemudian ia tersenyum menatap Felicia, "apa aku boleh tahu bagaimana kau bisa menyukai Karry?"
Felicia membuang wajah, menatap jauh ke bayangan masa lalu. Menyalakan lagi redup perasaan yang mendadak hidup.
"Karry adalah bentuk lain dari sebuah kesempurnaan. Dibalik kebodohan dan keluguannya, ia jauh lebih sempurna dan aku ingin melindunginya. Bagaimana pun, walau ia tidak membutuhkannya, tapi aku yakin itu adalah kenyamanan yang ia tunjukan setiap bersamaku."
Jeda hening yang panjang sebelum Charlotta bersuara pelan, "aku tahu itu. Menyenangkan rasanya untuk bisa mencintai seseorang. Tapi... Karry yang ada dibayanganmu itu hanya ada di masa lalu, bukan?"
Felicia tersentak menatap Charlotta. Gadis itu sedang menatap keluar jendela. Tak ada cibiran atau cemooh, yang ada hanya ekspresi terluka atas apa yang tidak bisa ia rasakan.
"Aku ingin ada di masa lalu Karry yang ia jaga baik-baik itu. Aku ingin bersamanya, ingin tahu seberapa dalam ia memikirkan sesuatu, tapi aku tidak bisa." Di sana, tatapan Charlotta mengarah dalam. Di balik kata-kata itu, Felicia terasa terluka, tapi di sisi lain ia merasa puas.
"Kita mencintai Karry. Dan kita memiliki batas-batas itu. Tentu saja kita boleh bebas memilikinya, tapi apa kau pernah berpikir untuk membuat Karry bahagia?"
Tenggorokan Felicia tersekat, ada sebersit rasa pedas yang ingin ia telan jauh-jauh. Bibir Felicia terasa rapat satu sama lain, dadanya menusuk-nusuk saat otaknya terus mengulang kalimat Charlotta.
Batasan.
Itu yang Karry ucapkan. Batasan itu.
"Aku tidak tahu bagaimana cara membahagiakan Karry, sementara kau tahu caranya. Tapi aku tidak ingin kau terus berpikir seperti itu karena cara itu--tidak akan pernah terasa sama lagi setelah Nenek May tiada," sahut Charlotta. Ia agak mencondongkan tubuhnya, menarik tangan Felicia dengan hangat. Felicia ingin sekali menariknya, mendorong gadis itu menjauh, tapi ia tidak melakukannya.
Matanya terhenti di tatapan Charlotta yang menahan segala luka. Entah bagaimana, Charlotta seperti bisa merasakan apa yang Felicia rasa. Mereka sama-sama memiliki batasan itu.
"Kita harus menyerahkan semua pilihannya pada Karry. Kita sama-sama mencintainya, bukan?"
Detik itu, air mata luruh dari pelupuk matanya. Felicia tertunduk, merasa amat bodoh. Jantungnya terus-terusan berdenyut kesakitan. Karena bagaimana pun ia sudah tahu perasaan Karry. Ia sudah tahu pilihan kekasih masa kecilnya pada akhirnya akan ke mana.
****
Apakah Felicia bakal menyerahh? Menurut kalian gimana niih? Yook semakin dekat ke ending nihh, kalau berkenan jangan lupa apreasiasi penulis yaa. Makasih😘🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Secret (Sequel)
Teen FictionCompleted. Setelah resmi berpacaran dengan Karry Wang dan melalui petualangan mencari orangtuanya yang ternyata adalah seorang pengrajin Teddy Bear terbesar di dunia--James Smith, kini kehidupan Charlotta dan Karry terus bersemayam dalam Crown Garde...