Apa nanti malam kita bisa bertemu? Lebih baik dari semalam, aku janji.
Pesan singkat itu entah kenapa membuat perasaan Charlotta ringan. Sejak dua bulan yang lalu ia menatap menara-menara bangunan di sepanjang semenanjung Liuziajui terasa meresahkan, baru kali ini, ia melihat pemandangan itu dengan kelegaan yang mulai terasa di ujung matanya. Cakrawala biru yang membentang bebas, menempatkan satu garis batasan dengan air sungai Huangpu yang mengitarinya. Membuat Charlotta sadar kalau Shanghai, begitu indah dengan caranya sendiri.
Di sebelahnya, Roy menyedot soda dengan sedikit bersandar ke tepi perbatasan Bund. Hari ini banyak turis yang lalu lalang. Di sepanjang Bund sedang diadakan festival kecil-kecilan para seniman jalanan. Mereka membuat satu spot agak ke pinggir, memajang segala potret lukisan mereka dengan penyanggah, membuat orang yang lewat jadi tertarik atau bahkan mengobrol-obrol sebentar.
Charlotta jadi ingin bergabung, tapi ia tidak bisa bicara bahasa mandarin. Walaupun wajah mereka Eropa tulen, tapi mereka fasih bahasa mandarin. Tidak yakin apa jangan-jangan sebenarnya mereka ternyata orang asia tulen.
"Apa kau ingin bergabung? Tunjukkan saja lukisan di kamarmu sebelum acara mereka selesai," sahut Roy mengetahui arah pandang Charlotta yang tidak juga beranjak.
Charlotta melirik ke arah Roy sambil mengunyah kentang gorengnya. Rambutnya berkelebat terkena angin dari arah sungai. Udara mulai terasa lembab dan dingin. Hawa hangat perlahan-lahan mereda.
"Kau mau membantuku bicara? Aku tidak bisa yakin apakah mereka turis atau bukan."
Ia tidak khawatir jika lukisan yang Roy maksud tidak masuk kriteria. Tapi yang ia pelajari dari Nenek Fransisca, ibu Natalie, untuk menunjukkan karya seni itu bukan dari apakah karya itu bagus atau tidak. Penilaian itu datang dari kepercayaan diri untuk menunjukkan dan menjelaskan apa arti lukisan itu bagi si pelukis itu sendiri.
"Tentu aku membantu," jawab Roy tersenyum.
Cowok ini. Jika dipikir-pikir lagi, lucu juga ia bisa berakhir akrab seperti Jackson. Walau kehadirannya tidak sepenuhnya selalu ada, tapi Charlotta membutuhkan mereka. Bagaimana Jackson yang selalu selangkah lebih yakin dan tepat, selalu membantunya ketika logika menghilang dari permainan hati. Ia merasa Jackson akan selalu seperti itu. Selamanya, ia akan merasa Jackson adalah seseorang yang amat berarti.
Tidak butuh dua hari bahkan, ia mulai merindukan Jackson. Sayangnya, ia harus kembali ke Beijing untuk melanjutkan promosi albumnya. Ia berharap kapan-kapan bisa mengunjungi cowok itu.
"Omong-omong, apa kau akan mengambil jurusan seni?" tanya Roy.
Charlotta mengangguk. "Keluarga Wang banyak membantuku. Ketika aku dan Karry--resmi berpacaran waktu itu--aku di arahkan ke banyak hal tentang mimpiku selanjutnya. Mereka bilang, bermimpi itu tidak selamanya satu kali. Mimpi akan terus berkembang terus."
"Yeah, aku setuju. Tapi, kau dan Karry masih berpacaran. Yakin kan itu. Kau dengar kata Jackson sebelum pergi, bukan?" Roy menurunkan pandangannya ke cincin di jari tengah Charlotta, "lagi pula, cincin itu tidak membohongi siapa pun."
Charlotta tersentak sekali, ia menyembunyikan tangan kirinya sambil tersenyum kecut. "Membohongi apa?"
Sambil menyedot sodanya dengan santai, Roy melanjutkan, "beberapa hari yang lalu kami diperbolehkan membuat cidera mata. Tapi itu sebelum Karry menyiapkan segala bahan presentasinya dan pameran. Aku dan ia sedang di ruang pelarutan waktu itu, aku melihatnya membuat cincin ini. Kau harus lihat wajah Felicia, ia begitu yakin itu untuknya," ada nada tawa yang agak terselip di balik ekspresi prihatin itu.
Senyum Charlotta lenyap, ingatan soal beberapa hari yang lalu tidak bertemu Karry karena cowok itu memang sibuk dengan kelas bisnis, menguap lagi. Saat ia menerima cincin ini dan mendengar ucapan perpisahan itu terasa cukup nyata. Tapi setelah Natalie, Jackson bahkan Roy mengatakan ini, ia merasa separuh dirinya kembali hidup.
Kalau ia tidak yakin, kenapa pula memakai cincin ini?
Pesan Karry membuat Charlotta menyadari perasaan ringan itu lagi. Ia tidak tahu apakah ini lega karena ia bisa merasa tidak perlu menangis lagi. Walaupun ia berjanji tidak akan melepas Karry, ia hanya akan selalu ada untuk Karry walau itu hanya sebatas ucapan selamat tinggal.
Entah kenapa, perasaan untuk menerima adalah sesuatu yang paling berharga daripada memaksa.
Ia merasa dunia akan selalu adil dengan jalan yang begitu.
"Makasih, Roy," ujar Charlotta samar. Cowok itu meliriknya pelan, tidak mengucapkan apa-apa. Poni cowok itu berkelebat, berpindah-pindah di depan matanya tanpa mengusik pandangan.
"Ketika kupikir kedatanganku ke Shanghai adalah kesalahan besar. Tapi nyatanya tidak juga," Charlotta tersenyum kecil, "bahkan aku tidak bisa paham kenapa dulu aku bisa sekuat itu berambisi menemukan orang tuaku. Dan ketika bersama Karry, aku merasa semua itu tidak pernah mustahil. Dan gara-gara Karry lah aku mengenal mimpi. Walau dalam kata-kata kasarnya, di balik itu, aku bisa melihat diriku tumbuh. Dan itu semua karena dorongan secara tidak langsung.
"Hingga ketika kami bermain dengan perasaan masing-masing, saat itulah aku terlambat dan terjebak, kalau sebenarnya aku sudah jauh menyukainya. Sama seperti hari ini, aku sudah jauh lebih yakin kalau suatu hari nanti Karry bisa menemukan jawabannya sendiri."
Roy tersenyum sendu, tapi apa yang Charlotta dan Roy pikirkan pasti beda. Tidak masalah, Charlotta tidak akan mengatakan ia bakal pergi, tapi ia akan selalu ada untuk Karry walau pilihannya tetap pada Felicia.
Satu-satunya cara untuk merasa utuh hanyalah itu. Kalau ia mencintai Karry, maka ia akan membiarkan cowok itu memilih jalannya. Ia tidak akan memaksa untuk berputar walau kenyataannya ia akan hidup dalam penyiksaan yang lebih dalam lagi.
"Kalian lebih berpengalaman. Kalian yang tahu. Well, jadi, apa lusa kau akan pulang?"
Charlotta menarik napas lega, ia mengangguk.
"Kau sendiri?" tanya Charlotta.
"Aku masih harus mengunjungi beberapa kerabat lagi di sekitar sini sebelum kembali ke Singapura."
Keluarga Chen menetap di Asia Tenggara. Waktu itu Roy menceritakannya sedikit. Mereka banyak membangun fasilitas pendidikan berbasis China ke Malaysia, Singapura, Filipina dan daerah Indonesia. Ayah Roy memiliki lebih dari seratus ribu sekolah dan yayasan yang didirikannya. Satu lagi dari keluarga kaya Asia.
"Rasanya menyenangkan tidak perlu merasa jetlag. Ah, aku pasti akan terbiasa dengan itu," ujar Charlotta bercanda.
"Well, kalau begitu aku yang akan mengunjungimu. Aku penasaran dengan Crown Garden seperti apa sekarang."
Charlotta mempertahankan senyumnya. Harus yakin kalau ia tetap bahagia meski tidak lagi di Crown Garden. Ia bisa melanjutkan kuliahnya dengan lancar sambil membantu usaha Teddy Bear. Itu akan membantu Charlotta melepaskan, merelakan tentang segala hal yang pernah terjadi.
Ia menghadap ke sungai Huangpu yang luas. Mungkin ini kali terakhir ia bisa merasakan udara Shanghai sebelum entah kapan lagi bisa mengunjunginya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Secret (Sequel)
Teen FictionCompleted. Setelah resmi berpacaran dengan Karry Wang dan melalui petualangan mencari orangtuanya yang ternyata adalah seorang pengrajin Teddy Bear terbesar di dunia--James Smith, kini kehidupan Charlotta dan Karry terus bersemayam dalam Crown Garde...