24 : KARRY & CHARLOTTA

25 9 8
                                    

Ponsel Karry tak kunjung menerima balasan juga. Sekarang baru pukul sembilan malam, dan rasanya terlalu pagi untuk kembali ke kamar setelah makan malam. Ia masih menghindari Felicia dan kerabat-kerabat yang mengikuti kelas bisnis itu--juga ayahnya. Ia beralasan ingin cari angin di sekitar Bund sambil memikirkan strategi yang baik untuk praktik fabric gioknya. Minggu depan, mereka sudah memulai sesi percobaan. Dan kebanyakan orang menyetujui ide Karry yang menjadi kelinci percobaannya. Sebenarnya kerabat lain boleh mencoba praktik, tapi mereka belum siap dan belum menyiapkan konsep, jadi sementara waktu, ide Karry yang sudah matang itu langsung disetujui Bernard dan Brian.

Sementara kali ini, ia hanya perlu benar-benar menghindar dari ayahnya sekaligus Felicia demi Charlotta Smith. Karry agak bergumam ketika ia tidak mendapat balasan pesan Charlotta. Ia ingin bertemu gadis itu, tapi baru sadar, Karry tidak pernah bertanya ia menginap di kamar nomor berapa. Ia hanya tahu Charlotta menyewa kamar di Reguler Suits. Mengingat black card premium keluarga Wang yang ia pegang, harusnya ia bisa mendapatkan datanya dari respsionis di depan. 

"Permisi, apa aku boleh tahu di mana kamar Charlotta Smith berada?" tanya Karry membuat petugas wanita dari balik meja tinggi itu mengernyit.

"Mohon maaf tuan, tapi anda dengan siapa?"

Karry tidak mengatakan apa-apa lagi selain menunjukkan kartu tanda pengenal dan kartu akses Premium VIP Suite-nya. Petugas itu langsung mengangguk kaku dan terbata-bata, "ah--maaf. Tuan Karry Wang... mohon tunggu sebentar..." petugas itu mulai mencari-cari data dari komputernya sambil Karry mengucapkan terima kasih.

Ia menoleh ke restoran yang ada di samping lobi utama yang lebar itu. Apa Charlotta seharian ini masih di ruang studio? Entahlah, tapi sebaiknya ia mengecek ke kamarnya dulu sebelum naik ke Entertaiment Suite yang ada di lantai paling atas. Sambil mengangguk menerima jawaban petugas itu, Karry pun melenggang menuju Reguler Suite yang ada di sayap kanan bangunan.

Reguler Suite memiliki koridor-koridor yang sempit. Lantainya dilapisi karpet tebal hingga suara sepatunya teredam dan Karry sibuk menghitung nomor-nomor kamar hingga ia tiba di depan kamar Charlotta. Dengan kartu kamar yang diberikan petugas tadi, Karry membuka pelan-pelan pintu tersebut sampai suara pendeteksi menyala. 

"Charlotta?" panggil Karry pelan. Ia menelusuri pandangan ke kamar yang cukup luas itu. Ada lorong pendek sebelum masuk ke ruang kamar. Di sebelah lorong itu ada pintu menuju kamar mandi sementara kaca jendela yang mengitari ruang kamar ini tidak ditutup tirai. Lampu di sekitar kamar tidak menyala, Karry menekan saklar di ujung pintu lalu menemukan Charlotta terpejam di atas meja samping TV.

Gadis itu duduk dengan kepala tergeletak di atas meja. Ujung-ujung jarinya kotor terkena krayon. Di sebelahnya ada buku gambar tebal tempat gadis itu mencampurkan warna-warna menjadi sebuah gumpalan lumpur. Karry menarik buku gambar itu pelan-pelan dari tindihan tangan Charlotta lalu mengernyit.

Gambar apa ini? 

Ia memindahkan pandangan ke wajah Charlotta yang tercoreng krayon di pipinya. Gadis itu terpejam nyenyak seakan bisa saja tidak mendengar apa pun meski gedung itudiserang gempa bumi. Kebiasaan Charlotta akhir-akhir ini di Crown Garden juga seperti ini. Sulit dibangunkan dan kelewat nyenyak. Untung saja Karry mengunjunginya, ia bisa menggotong gadis itu ke atas kasur, kalau tidak, bisa-bisa Charlotta sakit pinggang dan yang ada, ia malah tidak bisa membantu ayahnya di studio besok.

Dengan hati-hati, Karry memindahkan tangan Charlotta ke pundaknya, sambil mengangkut tubuh mungil Charlotta yang tidak terlalu berat, ia memposisikan gadis itu supaya tidak terlalu banyak perpindahan. Matanya masih terpejam nyenyak, Karry melangkah pelan lalu meletakkan Charlotta di atas kasur hati-hati. Sebenarnya jari jemari Charlotta kotor sekali, tapi Karry takut membangunkannya kalau ia membantu membersihkan. Charlotta sensitif kalau ada seseorang yang mengusap tangannya, ia bisa bangun cepat lebih daripada diteriaki seratus orang. 

Diam-diam, setelah menyelimuti gadis itu, Karry duduk di tepi ranjang. Sambil mengamati wajah Charlotta seperti ini membuat hatinya terasa hangat. Ia ingin sekali mengambil tangan gadis itu, memeluknya erat dari balik selimut dan membisikkannya kata-kata yang paling Charlotta suka selama satu tahun ini. Kau adalah tempat terakhir untukku tinggal. Tapi, entah kenapa, memikirkan kata-kata itu membuat tenggorokan Karry sendiri tercekat. 

Kenapa bisa-bisanya ia bisa mengalami perputaran masa lalu hanya dalam tiga hari seperti ini? 

Ia jadi teringat pertanyaan Charlotta waktu kemarin mengajaknya ke Summer Garden. Pertanyaan yang sampai sekarang menggumpal sesak di tenggorokannya seperti tidak bisa terjawab.

Apa kau masih menyukai Felicia?

Apa Karry masih menyukainya?

Kalau saat itu Bernard tidak meneleponnya tiba-tiba, mungkin Karry akan terjebak dalam keraguan hatinya. Ia akan masuk ke sebuah jurang yang amat gelap, jauh dari dasar hatinya, ia terjebak di antara logika yang terus bersiteru melintasi lini masa. Seakan-akan, masa lalu yang ia pikir tidak pernah kembali tiba-tiba meresap dan selama ini, memori itu hanya badut yang membuatnya berpikir, ia tidak akan mengingatnya lagi. Tapi ternyata, ia tertipu. Di depan Charlotta, entah kenapa, Karry merasa tidak berdaya, sementara di depan Felicia, ia merasa ada sesuatu yang membuatnya kembali terdorong untuk merasakan hal yang selama ini ia rindukan.

Tapi, apa rasa yang sebenarnya ia rindukan selain usaha untuk menolak semua kenyataan di masa lalu itu?

Ponsel Charlotta berkedip dari atas nakas. Ada satu pesan masuk, Karry mengambil benda itu lalu mengecek ponselnya.

Dari Roy Chen.

Kalau kau butuh teman makan, kau tahu harus mencari siapa, bukan?

Karry menghela napas, ia tidak ingin Charlotta melihat pesan itu lalu menghapusnya. Entah kenapa, meski ia masih bergelut dengan masa lalu, Karry seperti tidak ingin kehilangan Charlotta. Lalu sambil merapikan barang-barang Charlotta di atas meja, Karry hendak mencium kening gadis itu sebelum keluar kamar. Tapi matanya terarah ke kalung giok yang menggantung di leher gadis itu.

Tanpa sadar, Karry tersenyum tipis. Ia bergerak mencium kening Charlotta dalam-dalam, menghirup aroma lembut gadis lalu menetapkan hatinya pada sesuatu yang bakal ia tekuni satu minggu ke depan.

****

Emang ngeselin ya Karry di sini.

By the way, wattpadku error mulu, part 23 nya ga ke update padahal aku udah up :( sori ya kalau ada telat atau apa, soalnya wattpadku dari maren maren error hiks

Makasih buat yang masih stay tunee. Jangan lupa votes dan share ke temen temen kalian yaa❤️

The Prince's Secret (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang