36 : KARRY & CHARLOTTA

40 8 6
                                    

Karry tersentak ketika suara pintu terbuka. Ia mengerjap pelan dan menemukan dirinya tertidur dengan duduk di pinggir lorong. Wah, ia merasa hebat bisa mengantuk dengan posisi seperti itu.

Seseorang berdiri di sampingnya, ia segera bangkit dan menemukan Charlotta yang sudah rapi dan bersih. Gadis itu mengenakan gaun terusan yang agak terbuka dan sepatu kets putih. Gaya berpakaian Charlotta yang amat ia kenal. Wajah Charlotta tersenyum kecut.

"Apa tidurmu nyenyak?" tanya Charlotta sambil memasukkan kartu akses ke dompet tas yang tersampir di bahunya.

"Aku..."

"Baiklah, sampai jumpa." Charlotta segera membuang wajah dan menghempaskan diri agak menjauh dari Karry. Cepat-cepat, Karry menahan gadis itu.

"Charlotta," cegahnya. Lengan Charlotta memaksa mundur, tapi Karry menggunakan lengan lainnya untuk menarik pinggang Charlotta mendekat dan saling berhadapan. Charlotta tersentak, wajahnya setenga tersipu tapi terus menggeliat hendak melepaskan diri.

"Lepaskan aku--"

Karry memperat pegangannya, ia menatap jauh ke mata Charlotta yang terus menghindar.

"Apa begini caramu menghadapi masalah?"

Sekilas, mata Charlotta menyalang tajam, "apa?"

"Apa kau menyerah begitu saja padaku?"

Charlotta menarik diri, terus berusaha menghindar.

"Aku bukan siapa-siapa yang berhak melakukan apa pun tentang kehidupanmu, Karry. Bahkan ketika kau tahu tentang perasaanku, kau tidak pernah peduli apakah aku berjuang atau tidak."

Tenggorokan Karry terasa pedas. Ia merasa dirinya begitu bodoh dan tolol. Ia sudah begitu dalam tenggelam pada bayangan masa lalu hingga menyesatkannya di tengah hutan gelap. Dengan seseorang yang menggenggam tangannya berharap menemukan tujuan, ternyata Karry salah. Ia malah membiarkan perasaan lain tentang masa lalu yang seharusnya ia tahu sendiri--tidak akan pernah bisa terulang, mengalahkan hatinya yang terus berdegup keras jika berada di dekat Charlotta.

Gadis yang ambisius, yang tidak pernah mengatakan betapa susahnya ia berjuang, yang selalu mengangguk atas apa yang terjadi padanya, adalah bentuk lain yang Karry butuhkan.

Ia selalu terlambat pada kesadaran sejauh apa ia begitu menyayanginya.

"Maafkan aku," sahutnya pelan. Amat pelan hingga membuat kepala Charlotta agak mendongak tipis.

Karry menatap gadis itu, air mata menggenang di pelupuk mata. Sudah seberapa banyak Charlotta harus mengemban segala perjuangan itu? Seberapa dalam ia merasakan luka Karry yang juga lukanya sendiri.

Ini bukan tentang masa lalu lagi. Tapi ini soal bagaimana Charlotta menguatkannya dalam satu tahun penuh. Bahkan sebelum masa lalu itu kembali berkobar nyata di depan matanya, bagi Karry, Charlotta adalah makhluk yang benar-benar nyata. Yang benar-benar membuat degup jantungnya selalu berdebar tak keruan jika suatu hari ia kehilangannya.

Di mata itu, di bibir itu, serta di segala tempat yang Charlotta punya, di sana, ia melukiskan segala perasaann untuknya.

"Aku terlalu bodoh, aku tidak pernah bisa menolak bagaimana rasa itu benar-benar kembali. Aku begitu merindukannya, tapi ketika kau datang--" tenggorokan Karry tersekat, ia memandang Charlotta dalam, "apa aku ingin kau melepasku? Tidak pernah."

Tangan Karry terangkat, menyentuh pipi Charlotta yang lembut. Di depan Charlotta, Karry selalu lupa kalau di dunia ini, ada hal lain yang terasa sangat lembut selain kenangan Nenek May. Ada sesuatu yang begitu menyentuh dasar-dasar hatinya. Dan sesuatu itu selalu tentang Charlotta.

"Jangan pernah melepaskanku, Charlotta. Tolong... jangan lakukan itu."

Charlotta terisak. Ia memukul satu kepalan tangannya ke dada Karry. Satu pukulan, dua pukulan, lalu semakin banyak sampai ia tidak bisa berhenti menangis dan hanya terus memukulnya. Kepalan tangan yang terasa lemas tapi cukup meruntuhkan dinding masa lalu. Karry menariknya mendekat, dan Charlotta tidak menolak untuk masuk ke dekapan itu.

xx

Sebelum berangkat ke pabrik milik Brian Liang, Roy diam-diam mengamati pergerakan Karry dan Felicia dari jauh. Hari ini mereka akan melakukan percobaan pertama kali untuk proses pelarutan bahan alami. Roy sempat dengar dari Karry, mungkin teknologi masa depan pun tidak bisa memisahkan bahan alam. Menurutnya, kegiatan ini hanya sia-sia. Meski begitu, Roy bisa lihat dengan jelas antusias Karry di wajahnya yang datar.

Wajah Karry terlihat agak loyo. Ia nampak buru-buru pagi ini. Terlihat dari kemejanya yang agak kusut dan ia terlihat polos tanpa jas yang biasa dipakainya. Mungkin pengaruh Bernard yang masih sakit. Walaupun Karry jarang menunjukkan rasa sayangnya sebagai anak, tapi Roy tentu tahu kalau siapa pun yang melihat orang tuanya jatuh sakit, pasti akan cemas.

Apalagi Bernard begitu banyak membantu usaha ini.

"Kita akan naik mini bus. Perjalanan dua jam dari sini, setelah itu kita langsung kembali. Ayo, persiapkan diri kalian ya." Brian mengoceh dari depan meja seperti biasa. Karry sedang berdiri mengamati batu giok yang masih dikuliti permukaan luar menggunakan senter. Ia seperti sedang mendalami kandungan yang bakal terpisah nantinya.

Di sebelahnya, Felicia nampak tersenyum sambil bercakap-cakap.

Sejenak, Roy bangkit dan memanggil Karry.

"Karry, ikut aku sebentar," panggilnya. Karry tidak menanyakan apa pun dan ia mengikuti Roy dari belakang. Mereka keluar ruang lounge itu, berjalan agak menjauh ke sekitar lorong yang sepi. Dari belakang, Karry memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Roy menatap cowok itu sambil menarik napas. "Ini soal Charlotta."

Karry nampak membuang wajah. "Bukankah sudah kubilang jangan campuri urusan kami?"

"Aku tidak akan mencampurinya jika ia tidak menangis di pelukanku."

Kepala Karry tersentak menatap Roy. "Apa?"

"Kau ini begitu mudah memiliki segalanya, ya?"

Karry tidak menyahut, ekspresinya mengeras, terus menunggu Roy melanjutkan.

"Aku tahu masalahmu. Semua tentang Felicia dan masa lalumu. Aku merasakan apa yang Charlotta rasakan. Ia kehilanganmu, tapi kau malah menikmati momen berdua dengan Felicia. Membuatku agak muak, kau tahu?"

"Kau mau apa, Roy? Apa kau berpikir bisa memberinya kebahagiaan?"

Roy merasa perkataan Karry cukup menusuk. Ia tidak tahu seberapa dalam Charlotta menyayangj mahkluk dingin seperti Karry, tapi yang ingin ia lakukan hanya menghentikan Karry yang terus tercabik-cabik pesona Felicia. Bagaimana pun, ia ingin Charlotta bahagia karena orang yang dicintainya.

"Apa kau pernah berpikir serius, Karry?"

"Kau tidak mengetahui apa pun tentang kami, Roy. Semua ini selalu berjalan lancar sebelum aku bertemu Felicia. Kau tentu tahu kami berdua dekat dengan Nenek May."

"Lalu apa hubungannya dengan Charlotta?"

Karry terdiam sejenak, ia menemukan cowok itu seperti tersesat pada sesuatu.

"Kalau kau berpikir dengan membawa Felicia kembali ke masa sekarang bisa membuatmu merasa baikan, kau salah Karry," ujar Roy. Karry agak melirik ke arahnya.

Hening yang terpancar cukup yakin membuat Roy paham sedalam apa kisah itu pernah menguasai hidupnya.

Lalu sambil beranjak, Roy berujar pelan, "kau hanya membuat dirimu terjebak masa lalu."

****

Bagaimana perasaan kalian guyss, Karry kemarin sama hari ini masih ngeselin ya wkwkw. Yuk,c cus ke chapter selanjutnya~

The Prince's Secret (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang