21 : KARRY & CHARLOTTA

26 10 8
                                    

SUMMER GARDEN

DISTRIK QINGPU, SHANGHAI

"Apa?"

Karry melanjutkan langkahnya tanpa membalas pertanyaan Charlotta. Ia beranjak ke sebuah bangunan yang terletak di belakang keempat bangunan pertama dari tengah kompleks. Bau dupa tercium di mana-mana, tapi Charlotta tidak bisa mendesak kalimat Karry barusan.

Apa mungkin yang ia maksud itu adalah Felicia Liang? Apa dia akan menceritakan soal surat itu? Ada dorongan keingintahuan yang besar membuat Charlotta melangkah penuh semangat. Ia mengikuti Karry hingga berhenti di sebuah bangunan yang kurang lebih punya tampilan sama seperti bangunan utama tadi. Dindingnya terbuat dari kayu, lantainya agak menjarak dari lantai seperti rumah panggung, dengan atap melengkung yang ujungnya dihiasi ornamen patung, Karry menatap bangunan itu sambil melanjutkan kata-katanya.

"Ini kediaman nenekku sepuluh tahun yang lalu. Ketika kakek memutuskan untuk meluaskan bisnis propertinya ke New York, nenek tidak mau ikut karena ia sudah nyaman di sini. Akhirnya hanya keluargaku yang menemani nenek karena mom sedang hamil aku. Ia melahirkanku di sini, bersama para dokter kenalan Brian Liang."

Charlotta mengintip hati-hati ke dalam bangunan itu. Yang beda dari kompleks rumah ini, setiap bangunan mempunyai beranda luas yang menyatu ke bangunan lain. Karry melepas sepatunya, menaiki anak tangga itu lalu berhenti di depan ambang pintu. Sebuah foto besar wanita tua yang tersenyum terpampang di depan dinding utama. Sama seperti bangunan utama tadi, di dalam ruangan yang luas itu hanya ada lapisan kayu tanpa perabotan. Hanya ada meja panjang tempat buah-buahan dari satu asbak hio yang menyala.

"Di sini juga tempat nenekku meninggal."

Pancaran mata Karry meredup, tanpa berpikir panjang, Charlotta meraih tangan Karry lembut. 

"Aku pikir, setelah Felicia dan ayahnya datang hari itu, aku bisa melihat nenekku sampai hari ini. Tapi nyatanya, mereka menipuku," suara Karry bergetar. Baru kali ini Charlotta melihat kesedihan meliputi wajah itu. Selama ini, apa yang Charlotta lihat selalu ekspresi datar dan menahan segala opini dengan keteguhan dan kekuatan hatinya. Pelajaran yang Charlotta terima soal nenek Karry hanya sebatas, Karry sangat menyayangi neneknya, dan ia tidak pernah tahu apa pun yang ternyata masih membekas dari diri pemuda ini. Jauh dari sentuhan luar, sebenarnya hati Karry masih selembut kapas.

Secuplik memori yang hanya bisa berkelebat dalam pikirannya, mampu meruntuhkan segala ego yang selama ini menguasainya. 

"Felicia bilang, ia ingin melihatku tersenyum. Maka itu ia ingin menyembuhkan nenek. Setiap minggu mereka memberinya obat, batuk nenek reda dan sebelum aku menyadari betapa leganya perasaanku, saat itu Felicia selalu menemaniku dan menjajikan apa yang kulihat setiap hari."

Charlotta merasakan genggaman Karry mengendur, ia menariknya pelan dan beranjak masuk ke dalam. Punggung itu terasa kesepian. Tenggorokan Charlotta tersekat, apa sekarang ia harus mendengar ini semua?

"Jauh sebelum perjodohanku dengan Cindy dulu, sebenarnya, Felicia adalah masa lalu yang ingin aku tutup jauh-jauh. Ketika aku sadar dan bertemu denganmu, aku tahu kalau kenangan itu sudah tertutup jauh mungkin setelah nenek meninggal. Kau datang membawa dunia baru yang menurutku, itu adalah tanah paling subur untuk menumbuhkan napas baru dalam hidupku."

Karry menoleh pelan, menatap Charlotta dengan ekspresi sendu dan hening, "dan kau selalu begitu. Hingga aku bertemu lagi oleh Felicia, dan jantungku..." tangannya disentuhkan ke depan dada, lalu berujar pelan, "kembali berdetak cepat."

Mulut Charlotta terasa pahit, ia merasa seluruh tubuhnya membeku dan raganya terjebak entah di mana. Desau daun pohon yang bergesekan terkena angin menenggelamkan fakta bahwa ada sesuatu yang menusuk hatinya saat itu. 

"Aku harus apa, Charlotta? Kenapa aku merasa nenek begitu dekat denganku ketika aku berada di samping Felicia? Dan aku begitu nyaman hingga tidak ingin melepaskan--"

Dalam sedetik, Charlotta berlari dan mendekap Karry. Dadanya terlalu sesak, ia ingin menghentikan itu. Ia ingin menghentikan masa lalu yang merebak di depan mata pemuda itu. Tidak ada salahnya berjalan ke masa lalu, tapi kalau itu mencemarkan apa yang sudah Karry perjuangkan untuk hidupnya sampai hari ini, apakah itu semua terlalu sia-sia. Bagi Karry, nenek sudah tiada, itu hanya kilasan memori semu yang muncul di antara sebuah bayangan yang masih nyata.

Bayangan Felicia. Charlotta tahu rasa itu. Seperti waktu SMA dulu, setiap pagi ia memimpikan orang tuanya, mencintai pagi karena hanya itu bayangan semu yang ia miliki dari setiap bangun tidurnya setelah bermimpi. Dan itu semua terasa indah. Melupakan kenyataan yang sedang kita alami dan membuat perasaan lega seakan kita memang memiliki itu. Padahal, itu semua tidak pernah nyata. 

Dengan erat, Charlotta mendekap Karry, menelusupkan kepalanya di depan dada pemuda itu berharap menghentikan degup jantungnya yang berdebar. Berharap Karry ikut memeluknya dan semua tindakannya ini membuatnya sadar kalau sekarang, hanya ada Charlotta di depannya, bukan nenek atau Felicia. Bukan masa lalu yang seakan bisa menghidupkan masa ini.

"Karry, kau hanya merindukan nenek, tidak lebih. Kau hanya tahu cintamu terhadap nenek jauh dari apa yang kau kira. Bahkan mungkin, itu terbagi pada Felicia."

"Tapi kenapa itu harus terjadi sekarang? Kenapa setiap aku melihat Felicia . . " Karry menenggak ludahnya, tapi setelahnya ia merasa tangan Karry mendekapnya lembut, "kenapa rasanya sangat nyaman?"

Semakin ia mendengar itu, dada Charlotta seperti diremas kuat-kuat oleh napas yang mengikat dirinya. Membuat cengkramannya di balik tubuh Karry semakin kuat dan tanpa sadar pandangannya mengabur. 

Karry tidak mungkin masih menyayangi Felicia, kan? Memikirkan itu dalam-dalam, walaupun sekarang ia ada di dalam dekapan Karry yang hangat, ia merasa suatu saat bisa kehilangannya ketika melepas dekapan itu. 

"Karry, bisakah aku menanyakan sesuatu padamu?"

Ia tidak menyahut langsung, malah membelai lembut rambut Charlotta, "ya."

Charlotta mengerjap pelan, ia tidak berniat melepas dekapan itu karena tak berani menunjukkan air mata yang menetes dari pipinya.

"Apa kau... masih menyukai Felicia?"

****

The Prince's Secret (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang