Seseorang dari ponsel Bernard menelpon. Di tengah kelas produksi giok yang masih berjalan, Brian mengangkatnya.
Ini sudah lewat dua hari sejak Bernard jatuh sakit. Ia masih dirawat di rumah sakit bersama Natalie tapi Brian dan Felicia kini bergilir untuk memimpin kelas. Bersama ayah atau tidak, Karry tetap harus menyelesaikan bisnis ini. Entah kenapa, semakin cepat selesai, bukankah lebih baik?
Dari depan meja tempat Brian berdiri, ia meminta izin sebentar, sementara Felicia melanjutkan kelas. Karry sedikit tidak fokus karena penasaran dengan telepon ayah yang diangkat Brian itu. Dari kelihatannya, sepertinya ada berita baik. Brian kembali ke meja dengan senyum sumringah.
"Berita baik," sahutnya menyela Felicia.
"Apa itu, dad?"
Brian menoleh sesaat ke arah Felicia yang bingung lalu beralih ke Karry yang duduk agak tenggelam dalam sofanya. Dari sebrang ruangan, Brian agak berseru.
"Kita bisa melakukan percobaan pelarutan dengan mesin dari Amerika. Mesin itu akan datang besok, akan ditempatkan di pabrikku untuk sementara. Kurasa, Bernard akan senang mendengar kabar ini, Karry."
Segelintir kerabat yang mengikuti kelas tiba-tiba mendesah dan bertepuk tangan. Karry menahan ekspresi bingung atas euforia yang hasilnya belum tentu. Ia sudah mempelajari kandungan mineral giok nephrite, dan dari yang ia telaah, rasanya masih sukar kalau ada mesin yang bisa melarutkan batu giok murni.
Karry hanya mengangguk tipis, sambil melirik ke arah Roy yang dari kemarin tidak mengucapkan apa-apa tapi selalu memberi tatapan kaku. Padahal biasanya anak itu selalu sok tahu. Diamnya terkesan menjauh, dan itu membuatnya sedikit curiga. Apa jangan-jangan ia sempat bertemu Charlotta? Untuk sementara, hanya ia cowok yang dekat dengan kekasihnya itu.
"Kalau begitu, aku akan membuat jadwal baru sampai ke proses jadinya. Setelah itu, kita bisa letakkan hasilnya sebagai akhir dari acara paket kelas bisnis ini di pameran Entertaiment Suite!" Brian terlihat lebih riang dari biasanya. Sebenarnya semua orang terlihat senang. Ide Karry akan giok fabric yang dikerjakannya memang cukup cemerlang untuk segelintir pebisnis baru.
"Terima kasih," ujar Karry. Sekarang, ia hanya perlu menyiapkan jadwal sendiri supaya bisa mengunjungi ayahnya lagi.
Kelas berakhir setelah berjam-jam membahas produksi mineral yang lain. Sebagai penambang giok, ternyata Brian pernah menambang batu-batu mineral lain yang bagus untuk kesehatan. Katanya, batu itu tak banyak dijual di pasaran, kadang Brian memberikan itu sebagai tes pasar supaya para pasien lebih tahu tentang khasiat batu alam. Brian yang dulunya seorang tabib juga paham kalau sesuatu yang dari alam, biasanya berkualitas tinggi.
Karry kembali ke kamarnya, bersiap untuk ke rumah sakit. Ia menghubungi ibunya, bertanya hendak menitipkan sesuatu atau tidak, tapi Natalie bilang ia tidak butuh apa-apa karena Bernard sendiri betah. Mendengar itu, Karry sedikit merasa bersyukur ibunya bisa datang secepat yang ia bisa. Bagaimana pun, ia mengerti sebesar apa cinta ayahnya terhadap ibu. Cerita mereka tak lebih dari sebuah perjuangannya dengan Charlotta sendiri.
Ketika mengingat Charlotta, ia terhenti di ambang pintu.
Apa aku harus menelpon Charlotta dulu? Ia meratapi ponselnya sambil menyusuri koridor yang sepi dan turun ke lobi utama. Sambil menelepon Charlotta, ia mengambil taksi menuju rumah sakit. Anehnya, panggilan itu selalu masuk ke kotak suara. Karry menyerah, mungkin hari ini pamerannya sedang ramai. Ia tidak ingin mengusiknya lagi kalau begitu.
Setelah beberapa menit sampai di rumah sakit yang masih terjangkau ke area Bund, Karry buru-buru menuju ruang rawat ayahnya. Dari depan kamar ayah, Karry melihat beberapa pengawal yang berdiri dan seorang gadis duduk di sana.
Felicia?
Mendengar langkah Karry mendekat, gadis itu langsung beranjak. Karry sedikit memelankan langkahnya, lalu berhenti begitu Felicia berdiri menghadangnya.
"Ada dokter di dalam. Kita harus menunggu di luar," ujar Felicia.
"Kapan kau sampai?"
"Barusan. Aku langsung ke rumah sakit selesai kelas tadi. Ayahku juga di sana bersama ibumu. Karry, aku sangat mencemaskan ayahmu. Aku selalu merasa, aku bertanggungjawab atas apa yang terjadi."
Bibir Karry terkunci rapat, di lorong yang sepi itu, meski hanya ada pengawalnya saja, tapi Karry selalu merasa bersama Felicia ia harus merasa was-was. Entah pada masa lalu, atau masa yang akan datang.
Pelan-pelan, Felicia merenggut tangan Karry. "Aku ingin memenuhi janjimu kembali. Aku ingin kau bahagia bersamaku."
Karry tak bisa menarik tangannya. Entah kenapa sentuhan hangat itu menyatukan bayangan perih masa lalu, membuatnya utuh seperti yang seharusnya. Memang dari dulu, seharusnya Karry tidak marah pada Felicia. Bagaimana pun, kematian Nenek May bukan salahnya. Felicia tidak pernah menipu.
"Karry, apa yang harus membuatku menunggumu lagi? Kita bisa mengulangi ini semua dengan mudah. Aku mengerti tentangmu jauh dari apa yang Charlotta tahu. Bahkan sejak saat itu, kau selali terpatri di hidupku. Aku selalu menunggu saat-saat seperti ini.. aku selalu takut... aku tidak bisa melihatmu..." suara Felicia tersekat, tangisnya luruh. Tanpa sadar, lengan Karry menarik tubuh Felicia mendekat. Jatuh ke dalam dekapannya, tubuh Felicia bergetar menangis dalam.
Karry tahu itu, dan seharusnya ia mencari Felicia sejak dulu. Ia hanya terlalu bodoh untuk jatuh ke dalam emosi yang sebenarnya tidak pernah berguna.
Nenek May bahkan benar, ia tidak pernah tahu sedalam apa perasaannya pada sesuatu karena ia tidak pernah mengenal dirinya sendiri sebaik...
Sebaik Charlotta?
Tiba-tiba Felicia melepas dekapan itu, ia agak menjauh supaya bisa melihat ke dalam mata Karry yang dalam. Di antara air mata Felicia, Karry yang tercenung, mendadak bisa merasakan kehadiran Charlotta. Gadis yang selalu marah-marah, melakukan banyak hal bodoh, lebih keras daripada dirinya sendiri, entah kenapa semua bayangan itu luruh dan jatuh dalam tiap sentuhan Felicia di depannya. Bertolak belakang dengan apa yang selama ini ia simpan. Bahkan meruntuhkan Felicia yang ada di depannya. Yang nyata, sedang menatapnya dalam.
Tanpa peringatan apa-apa, tiba-tiba Felicia berjinjit sedikit, menyamakan tingginya dengan Karry supaya ketika wajah Felicia semakin dekat, gadis itu dengan mudah menciumnya.
Karry tersentak pelan, ia hendak mundur tapi Felicia memejamkan mata dan mendorong bibirnya lembut, menjatuhkan segala perasaannya di sentuhan itu. Memaksa Karry merusak bayangan tentang Charlotta yang merebak bebas. Seakan Felicia tahu kalau apa yang Karry sentuh, berbeda dengan apa yang ia pikirkan.
Felicia terlalu tahu banyak hal, dan Karry selalu bisa memprediksi itu.
Dengan pelan, Felicia melepaskan ciuman itu, lalu berujar, "aku mencintaimu, Karry. Kita bisa mengulangnya, bukan?"
Dada Karry terasa sesak. Bertepatan dengan itu, suara dari ujung lorong terdengar keras. Mereka tersentak pelan oleh suara itu. Lalu sebelum bayangan itu berbalik dari belokan, Karry merasa dadanya kian perih dan bibirnya membeku.
Bayangan itu, punggung Charlotta.
****
Jeng jenggg!! Felicia nih cukup tricky ya ges, lebih pinter ketimbang Cindy wkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Secret (Sequel)
Teen FictionCompleted. Setelah resmi berpacaran dengan Karry Wang dan melalui petualangan mencari orangtuanya yang ternyata adalah seorang pengrajin Teddy Bear terbesar di dunia--James Smith, kini kehidupan Charlotta dan Karry terus bersemayam dalam Crown Garde...