30 : KARRY WANG

29 8 5
                                    

Di dalam kamar rawat yang sepi dan hening, Karry meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas, dengan getir yang sudah lama tidak pernah ia rasakan. Di sampingnya, sebuah kantong berisi air infus menggantung tinggi di dekat ranjang, tempat ayahnya terbaring. Mesin dari sebelah ranjang yang lain mengeluarkan denyit teratur. Hanya suara itu yang membuat Karry tersadar, kalau semua ini memang benar-benar nyata. Dan semua bayangan ia putar itu, benar-benar terjadi lagi di depannya.

Cepat panggilkan ambulans! Nenek tidak bernapas! Cepat panggilkan ambulans!

Karry tidak tahu kenapa suara itu terus terngiang-ngiang, membuat kepalanya sakit bukan kepalang. Lalu bayangan lain menyusul.

Nenek May diangkut ke sebuah tandu rumah sakit, ia masih ingat jelas ke mana Nenek May di bawa, dan ia masih ingat betapa gemetar, membekunya kaki Karry, tak bisa melakukan apa pun selain menyaksikan itu semua.

Nenek tumbang ketika makan malam terakhir mereka ingin pergi ke New York. Dan kenyataan ia masih memilikinya adalah karena Karry tidak sanggup melupakan satu-satunya memori yang ia punya tentang Nenek May yang akhirnya mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya.

Kenyataan itu terus mendorong dada Karry seakan membuatnya sadar, kalau masa lalu itu, bisa saja terjadi lagi. Sekarang, di mata ayahnya yang terpejam.

Beberapa menit yang lalu dokter menyampaikan kalau Bernard harus melakukan rawat inap untuk penyembuhan Bernard. Lebih baik begitu. Ia berterima kasih karena dokter menyuruh ayahnya istirahat karena ia sudah tidak peduli lagi dengan pekerjaannya. Apa pun itu, ia tidak ingin melakukannya. Ia tidak mau kehilangan siapa pun lagi setelah nenek. Dan tidak boleh ada lagi yang pergi.

Ayah sudah memperjuangkan banyak hal. Waktu itu, Karry tanpa sengaja pernah melihat catatan kesehatan ayah yang menyatakan kalau hal buruk dari maag akut adalah kanker. Lalu beragam penyakit susulan lainnya yang tidak ia mengerti. Maka sedari SMA, Karry selalu berusaha membantu pekerjaan ayah demi meringankan beban. Lagi pula, hitung-hitung, ayah butuh keturunan untuk meneruskan bidang ini. Melihat Nicholas Wang tidak banyak ambil andil, karena keberadaannya bersama keluarga baru beberapa tahun, Nic terpaut jauh untuk menyusul bisnis ini.

Seseorang mengetuk pintu kamar. Itu Brian Liang yang baru kembali dari membeli beberapa makanan ringan. Ia berjalan masuk sambil tersenyum sendu.

"Karry, kau sudah duduk di sini lebih dari dua puluh jam. Ayo, saatnya kau pulang. Aku akan berjaga di sini."

Brian Liang yang seorang dokter itu selalu punya nada suara yang menenangan. Sama seperti yang diturunkan anaknya. Suasana ini terasa begitu akrab baginya.

"Tidak apa. Aku tidak berniat ke mana pun. Aku harus memastikan dad bangun baru aku pergi."

Karry tidak menoleh ke pria yang berdiri di sebelahnya. Brian nampak meletakkan plastik makanan ke atas meja buffet di bawah TV gantung lalu menyentuh pundak Karry.

Satu hal lain yang tidak terasa asing lagi.

"Karry, aku sangat berharap kau tidak terlalu mencemaskannya. Aku yakin Bernard lebih kuat dari yang kau duga."

Karry tidak menjawab apa pun. Ia merasa perkataan Brian mungkin benar. Tapi bisa saja semua itu muslihat saja.

Karry, Nenek May sudah melewati tahap kritisnya. Ia lebih kuat dari yang kau duga.

Sekuat tenaga Karry mengenyahkan kata-kata itu. Ia menahan segala ketakutannya dalam batas pikiran lalu beralih mengangguk. Bagaimana pun, ini tidak akan terjadi seperti masa lalu. Ayah bukan dirawat oleh Brian. Felicia tidak akan menipunya, gadis itu tidak akan...

Felicia tidak akan apa?

Tiba-tiba teringat bayangan Felicia yang menangis di depan hotel tadi. Napasnya tersengal beserta air mata berderai deras melewati pipinya. Karry harus menghentikan itu, ia juga harus menguatkan dirinya bersama kenangan lama yang terus menerjang masuk seakan menginginkan kesedihan yang belum selesai ia rasakan terisap kembali.

Felicia tidak akan menipunya lagi. Ia juga takut sama sepertinya. Dan untuk saat ini, hanya Felicia yang mengerti.

Jauh dari apa yang Karry pikirkan, Charlotta muncul dalam bayangannya. Ia berusaha mengusir bayangan itu, tapi tidak bisa. Karry sudah menyuruhnya meninggalkannya sendiri supaya ia bisa lebih leluasa memikirkan kesedihannya. Ia ingin menjauhkan Charlotta dari luka lama yang sedang berusaha membuka lagi. Ia tidak ingin Charlotta melihatnya, ia tidak ingin Charlotta mengetahui kalau di lubuk hatinya yang terdalam, masih ada Felicia yang ia harapkan bisa memperbaiki kesalahannya di masa lalu.

Itu mustahil. Tidak akan pernah mungkin. Nenek sudah tiada. Dan itu adalah bukti nyata Felicia tidak bisa memperbaiki kesalahan itu. Hanya saja, apakah kematian nenek benar-benar karena Felicia?

Felicia tidak bersalah atas itu. Ia hanya membiarkan Karry merasa tenang, Felicia berusaha mengerti Karry dengan caranya sendiri. Dan cara-cara seperti itu yang tidak pernah Charlotta tahu.

Ia tidak mau menyalahkan Charlotta atas kesalahan ini. Ia hanya ingin Charlotta tetap di sana. Menunggunya hingga ini semua selesai. Hingga masa lalu itu benar-benar larut dan pergi. Tidak melibatkan siapa pun, membuat Karry lebih leluasa, membuat Karry semakin menipiskan kelemahannya untuk mengakui kalau masa lalu itu benar-benar tidak pernah pergi.

xx

Setelah kembali ke hotel, Charlotta merasa genggaman pensilnya mengendur. Di atas kanvas itu, semua bayangan punggung Karry yang tidak menoleh, dingin yang melesak turun dalam ketakutan Charlotta akan kata-kata Felicia, luruh dalam sketsa samar itu.

Sudah sehari sejak Bernard di rawat di rumah sakit, tapi Charlotta belum menerima kabar apa pun dari cowok itu.

Karry butuh waktu. Lebih lama dari biasanya. Ia tentu paham kekasihnya sendiri dan ia tidak akan mengganggunya. Karry butuh kesendirian untuk merasa membutuhkan seseorang. Dan jika Karry membutuhkannya, saat itu, ia akan berdiri tepat di sampingnya.

Sketsa yang menggambarkan jari jemari seseorang yang menggenggam liontin membuat Charlotta terhenti tanpa sadar. Ia mengamati lukisan itu sejenak lalu merasakan air matanya mengambang.

Kenapa ia menggambar tangannya memegang liontin? Charlotta menyentuh kalung di lehernya, ingatan tentang Karry merebak. Sengatan itu lebih menusuk-nusuk ketika suara Felicia menggema dalam kepalanya. Bersamaan dengan arti sketsa itu, air mata Charlotta luruh bersama isaknya.

Hanya untuk Karry, ia selalu merasa selemah ini. Hanya bersama Karry, ia selalu menangis tanpa alasan. Ia tidak sedih Karry butuh waktu, ia hanya merasa takut kalau perkataan Felicia mengunci rasa percaya dirinya hingga tak ada apa pun yang bisa Charlotta genggam selain kalung ini, seperti menggenggam bayangan Karry jangan sampai pergi.

Apakah masa lalu Karry benar-benar masih begitu nyata di hidup Felicia? Apakah hanya ia yang mengharapkan Karry untuk berhenti mengingat masa lalunya yang berharga itu demi kebahagiaan dirinya sendiri? Dan apakah Karry benar-benar bahagia jika Charlotta menyuruhnya menghapus itu semua?

Karry, aku harus apa...?

****

The Prince's Secret (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang