7 : 10 TAHUN YANG LALU - 1

28 10 2
                                    

SUMMER GARDEN, DISTRIK QINGPU

SHANGHAI

Kompleks bangunan tua yang agak menjorok dari kawasan perkotaan itu berjarak 50 kilometer dari Shanghai, pusat segala perhatian dunia tertuju di sana. Tanpa tahu ada sebuah bangunan tua yang masih digunakan sebagai rumah para keluarga Asia terkaya. Siang itu, matahari menyengat terik. Udara musim panas menyembur hangat, meski begitu, hawa sejuk masih terasa. Jackson dan Karry sedang mengamati nenek tua yang terbatuk-batuk di atas ranjang kayu yang hanya dilapisi kain tebal dari sebelah ranjangnya.

Keringat nenek itu seperti butir-butir jagung, sementara seorang wanita dengan tekun mengusap keringat itu supaya nenek tidak masuk angin. Di sebelahnya, ada Bernard Wang dan seorang pria tua yang kelihatannya seumuran dengan ayahnya. Karry memperhatikan pria itu mulai mengeluarkan beberapa kendi kecil dari kopornya yang besar. Ia mengaduk serbuk-serbuk yang dijadikan satu bersama kepingan daun hijau ke dalam air lalu memberikannya pada Bernard.

Sementara batuk nenek semakin parah, Bernard menyodorkan minuman campuran itu ke nenek sambil berkata, "ini olahan mint dan beberapa resep dari Liang XuWei, bu. Obat ini bisa membantu meredakan sesak napasmu."

Nenek melirik kecil ke arah pria di belakang Bernard seakan baru menyadari kedatangannya. "Bri--" nenek terbatuk sekali, "Brian Liang?"

Kepala Brian terangkat, ia tersenyum cerah menatap nenek, "bibi May? Kau nengingatku?"

"Tentu," lalu dibantu Bernard, nenek menenggak obat itu pelan-pelan seraya mengernyit keras. Di sebelah Karry, Jackson berbisik pelan, "itu nampak seperti pil pahit dalam satu gelas. Eww.." wajah Jackson meringis sampai menjulurkan lidah. Karry tidak terlalu tahu soal pil obat, ia jarang sakit.

"Terima kasih, Brian," nenek terbatuk sekali sambil tersenyum. Wajahnya yang tadi lesu dan pucat kini tersirat sepercik semangat. "Brian, apa kau datang sendiri?"

Brian yang memakai mantel panjang modern senada dengan warna celananya yang krem mengulas senyum tipis.

"Aku bersama putriku. Ah, itu dia." Ia melihat ke arah ambang pintu kamar lalu seorang gadis kecil seumuran Karry dan Jackson berjalan masuk membawa sebuah kotak di tangannya.

Pantulan sinar matahari yang membelakangi tubuhnya memberi siluet pesona. Sekilas, Karry merasa angin musim panas menyeruk masuk, menghempas batang rambut gadis sebahu melewati wajahnya. Di atas bibirnya yang merekah, tertampik senyum manis. Ia mengenakan gelang kaki yang membuatnya menarik perhatian serta gaun sederhana selutut. Baik Jackson atau Karry, keduanya sama-sama tertegun melihat gadis itu. Seakan semua perhatian menyorot padanya.

Dari belakang, Brian berseru, "Felicia! Maaf ya sudah membuatmu harus mengambil kotak obat itu."

Dengan menjawab riang, gadis itu mendekati Brian, "tidak masalah ayah. Ibu sedang memasak dengan Bibi Natalie."

"Anak pintar," Brian mengusap puncuk kepala gadis itu yang nampak menikmatinya. Nenek sedikit memaksakan dirinya untuk duduk, dibantu perawat yang menumpukkan bantal untuk sandaran punggungnya, gadis itu menyambut nenek yang mengulurkan tangan ke arahnya.

Nenek tersenyum lembut, "hai, siapa namamu?"

"Aku Felicia Liang, Nenek May. Ayah sering menceritakan kau setiap makan malam. Katanya, kau sangat baik dengan keluarga kami, jadi aku ingin mengunjungimu!" seru Felicia riang dan menggemaskan. Bagi para orangtua yang punya anak sepintar dan ramah seperti gadis itu, pasti sudah menyunggingkan senyum lebar yang tulus. Nenek mengusap pipi gadis itu lalu mengangguk.

"Kau mirip Brian, sangat pintar mengambil perhatian. Oh--" nenek terbatuk sekali, sambil menunjuk Karry dan Jackson yang masih terbengong, nenek melanjutkan, "ini Karry dan ini Jackson. Aku yakin tak lama lagi pasti kalian bermain bersama. Jangan sungkan, Karry."

Ayah Karry mendelik ke arahnya, Karry berpaling ke gadis manis itu, ia sudah mengulurkan tangannya melewati ranjang nenek. Dengan riang, ia menyebutkan namanya.

"Karry Wang," sahut Karry datar, sementara Jackson dengan senyum cerahnya menyebut nama sambil mengayunkan pegangan tangannya. Felicia menyambut riang, tapi ketika ia beralih ke arah Karry yang kembali menatap neneknya, ekspresi itu luntur.

xx

Ini adalah tahun terakhir Karry sebelum ia pindah ke New York untuk menempuh pendidikan barunya di sana. Ayah bilang, ia akan membawa nenek perawatan di rumah sakit yang lebih baik. Meski tabib terbaik dari daratan China mengatakan penyakit nenek tidak bisa disembuhkan, ayah hanya ingin mencoba segala hal yang bisa dilakukannya. Demi Karry yang tidak ingin melihat nenek pergi, Bernard juga tidak mengharapkan hal itu terjadi.

Nenek mengidap penyakit paru-paru langka yang obatnya sampai sekarang belum bisa diketemukan. Para tabib pun tidak bisa terus-terusan meracik resep sementara memberikannya pada nenek. Mereka punya aturan sendiri untuk menguji resepnya pada beberapa pasien, melihat apakah bakal ada efek samping atau tidak. Tapi semakin waktu bergulir ke pertengahan tahun, Karry merasa hatinya tidak tenang.

Setiap ingin tidur, ia selalu teringat oleh nenek yang membacakannya cerita lucu sehabis makan malam. Nenek yang saat itu selalu menemani Karry bermain karena ia tidak punya saudara lain kecuali Jackson, pelan-pelan menjadi penyelamat Karry yang baru. Ia tidak pernah merasa kesepian jika nenek ada di sekitarnya. Kadang Karry tidak ingin memikirkan itu, ia hanya ingin Brian Liang yang ayahnya bawa dari Shanghai bisa mengobati nenek. Kata ayah, Brian adalah dokter tradisional yang membuka klinik berbagai cabang di Shanghai dan Beijing. Resep-resepnya terkenal dan disebar ke beberapa apotik dan rumah sakit. Dengan itu, Karry jadi sangat berharap, nenek bisa sembuh.

"Apa kau memikirkan kondisi nenekmu?" seseorang mengejutkan Karry ketika ia sedang berjongkok di depan kolam ikan kecil di samping taman bangunan kamarnya. Malam itu, Karry tidak bisa tidur karena suara batuk nenek suka terdengar dari bangunan sebrang. Ketika ia mengintip, semua orang tua sedang mengelilingi nenek. Ia pun mengurungkan niatnya dan bermain dengan batu di sekitar kolam.

"Kau mengejutkanku," ucap Karry tanpa memasang ekspresi lebih meski sebenarnya ia benar-benar kaget.

Gadis dengan gaun tidurnya itu ikut berjongkok di sebelah Karry sambil tersenyum.

"Aku menyukai nenekmu. Makanya aku ikut mengkhawatirkannya. Apa kau tadi mau ke sana?"

Karry mengangguk, iseng-iseng melempar butiran kerikil ke kolam hingga terdengar suara blup beberapa kali di permukaan air yang tenang. Suara jangkrik saling sahut menyahut, langit malam cerah, rembulan menguasai gelap dengan terang sinarnya.

"Terima kasih, kau baik sekali."

Di sebelahnya Felicia tersenyum, tapi Karry tidak menatap itu. Pikirannya masih melalang buana ke kondisi nenek yang kian hari mengkhawatirkan.

"Jangan khawatir, Karry." Felicia menyahut lembut, "aku pasti akan membuatmu tersenyum lagi dengan menyembuhkan nenek."

Ketika itu, Karry menoleh pelan ke arahnya. Pancaran mata Felicia yang redup diterpa sinar rembulan jadi berubah indah. Bibir gadis itu mengulas senyum tipis, lalu dengan sekali hentakan, ia melempar kerikil ke kolam.

Sementara malam itu, Karry merasa pipinya menghangat oleh perkataan Felicia.

****

The Prince's Secret (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang