40 : JACKSON HAN

28 6 3
                                    

"Kau tidak bisa menghubunginya?" sambungan telepon agak gemersak ketika mobil melewati simpangan jalan Nanjing yang membelok ke arah kawasan setengah abad ala Eropa di pinggir Bund, Shanghai.

Dari dalam mobil, Jackson berusaha mendengarkan suara Cindy tanpa merasa kesal sedikit pun. Tapi tetap saja tidak bisa.

Charlotta pergi.

Setelah melakukan back performance bersama The Boys, Jackson cepat-cepat menanyakan Cindy di mana Charlotta menginap. Ia memang belum mengabari lagi sejak mempersiapkan album baru. Agensi begitu ketat, pula saat ini adalah momen yang perlu dijaga karena pers sedang menyorot Jackson sekali. Tapi untung saja kawasan pinggir Bund yang penuh turis dan kalangan borjuis cukup menutupi sosok Jackson yang memakai coat tipis dari atas kepala sampai bawah. Ia dengan aman menembus lobi utama tanpa ketahuan siapa pun, dan langsung menuju Reguler Suite tanpa bertanya lagi.

"Kenapa dia bilang mau pergi?"

Suara Cindy semakin patah-patah, sinyal kurang bagus di dalam lift.

"Dia bilang--Felicia menciumnya--"

Langkah Jackson seketika tertahan bertepatan dengan pintu lift yang berdenting terbuka. Ia merasakan kata-kata itu menusuk separuh raga Jackson hingga ia bisa membayangkan dengan jelas gambaran Felicia yang mencium Karry. Bocah polos datar ingusan itu.

Benar-benar...

Tapi baru saja Jackson hendak keluar lift dengan sebelah tangan memegangi ponsel, di lobi yang sepi letak koridor bersekat sempit itu berada, ia bertemu seorang gadis berambut pendek mengenakan gaun terusan selutut dengan sepatu kets putih yang amat ia kenali. Gadis itu pelan-pelan mengangkat wajahnya dan matanya yang sembab itu menatapnya.

Cindy masih mengoceh waktu Jackson menutup teleponnya, ia mengempaskan benda itu dengan marah dan menatap Charlotta yang menatapnya terkejut tanpa kata-kata.

"Terkejut melihatku?" tanya Jackson tanpa nada ramah sekali pun. Bayangan Felicia yang mencium Karry rasanya membuat seluruh raga Jackson panas. Bisa-bisanya Karry masih sanggup menahan Charlotta?

Dari sejak hubungan mereka di mulai, bahkan di saat permainan itu masih terlalu muda untuk dipermainkan, Jackson sudah sangat yakin, kalau yang paling berusaha bertahan adalah Charlotta. Ia selalu mengerti usaha yang dilewati gadis itu. Menyukai pemuda dingin dan tidak berperasaan seperti Karry memang butuh kekuatan seratus kali lipat. Karry bukan cowok biasa, begitu juga Charlotta.

Bagi Jackson, Charlotta adalah bentuk dari idealnya sebuah pasangan di tengah gadis-gadis kaya terselimuti makeup dan pakaian menarik, yang bersiap menerima cincin kawin kapan saja. Takhta bagi mereka adalah hal terpenting di dunia. Melupakan susunan penting dalam dunia keharmonisan yang dibutuhkan manusia; cinta.

Itu juga yang membuat Jackson terlalu marah kepada Karry. Tidak salah kalau Charlotta ingin menyerah. Cowok bodoh seperti Karry memang tidak pantas mendapatkan kemudahan.

"Aku sudah bilang pada Cindy jangan menyuruhmu datang--"

"Kau tidak bisa mencegah siapa pun untuk mengunjungimu. Sekarang, katakan padaku apa yang ingin kau lakukan dengan kopor itu? Kau ingin pergi sekarang?"

Charlotta agak melirik kopor yang berdiri di sampingnya seperti seorang teman yang menemani kesedihannya selama ini.

"Aku ingin pindah hotel."

Kening Jackson mengerut samar, "kenapa?"

"Aku tidak bisa keluar dan jalan-jalan. Aku takut berada di sekitar sini."

"Lebih tepatnya kau takut melihat Karry dan Felicia," tukas Jackson cepat tanpa menggubris ekspresi ciut gadis itu.

Charlotta jarang terlihat sedih atau pasrah, ia selalu menaikkan dagunya, berseru galak jika siapa pun hendak menepis pendapatnya. Tapi hanya di saat ini, ketika ia kalah dengan perasaannya sendiri, dan itu selalu terjadi di depan Karry.

Ia jadi ingat setiap Charlotta menanyakan pendapatnya soal Karry. Bagaimana Karry bisa menentukan pilihan, apa yang menurut Karry bagus di mata Charlotta. Tapi bagi cowok kaya yang tidak punya emosi sepertinya, Charlotta lebih dari kriteria yang seharusnya. Bahkan Felicia...

Jackson sampai tidak sadar ia menggeram kesal.

"Apa kau tahu aku begitu mencemaskanmu soal masalah ini? Sejak Cindy bilang padaku kalau Karry bertemu Felicia, aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu."

Masa lalu merebak, mengembuskan napas kehidupan yang baru, membuat gambaran nyata.

Pegangan tangan, tatapan riang Felicia di mata Karry, membekas dan luruh di setiap musim panas, di depan kolam kodok Summer Garden. Tapi itu selalu bertabrakan dengan suara Felicia tepat di mana Nenek May meninggal dunia. Perkataan Felicia yang tidak pernah di dengar Karry, bagi Jackson itu, itu terlalu menyakitkan. Dan ia tidak pernah tega mengatakannya pada Karry yang saat itu amat menyukai Felicia.

"Aku tidak tahu," cicit Charlotta sambil menunduk. Ia terlihat mencengkram gagang kopernya erat-erat.

"Maafkan aku, harusnya aku memperingatkanmu lebih cepat--"

"Kau tidak perlu melakukannya, Jackson, serius. Kalau Karry memang tidak bisa melupakannya, untuk apa aku memaksa? Untuk apa aku mati-matian mencobanya kalau dia tidak pernah--" Charlotta mendongak dan menatapnya dengan napas memburu. Tanpa sadar, air mata menggenang di matanya, menyusutkan degup jantung Jackson, menusuknya hatinya.

"Aku lelah berjuang sendirian, Jacks. Aku ingin ini semua selesai."

Tidak.

Karry mencintaimu, Charlotta.

Dari sisi mana pun, Jackson yang sudah mengenal Karry sejak umur dua tahun pun tahu, Karry terlalu menyukai gadis ini. Dan Jackson tidak pernah rela mendengar kata-kata itu.

Ia selalu membayangkan apa jadinya jika di masa depan masih ada Charlotta di tengah keluarga serius seperti keluarga Wang yang megah? Akan seperti apa kesenduan yang mereka tinggalkan sejak kematian Nenek May jika ada Charlotta. Mereka akan melahirkan anak secantik Charlotta dan sekuat ambisinya. Ia akan ada di tengah-tengah keturunan semua basis orang kaya yang sombong dan tidak tahu satu hal paling penting di dunia; cinta. Mereka orang kaya tidak pernah tahu hal itu. Tapi di sini, perjuangan Charlotta selalu ada, di tengah arus kehidupan segala kemegahan, ada satu kesederhanaan kecil yang dihadirkannya.

Yang tidak akan pernah Karry dapat di mana pun, kecuali Charlotta.

"Aku mungkin bisa mengalahkan Cindy," Charlotta menatap ke dalam mata Jackson, memaksanya ikut merasakan tekanan di setiap parau suara gadis itu, "tapi aku tidak bisa mengalahkan sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. Felicia terlalu jauh untuk aku mulai hadapai. Ia sudah lebih dulu memenangkan hati Karry. Dan ini adalah saat yang tepat aku mengetahui kalau semua ini sudah selesai. Aku tidak bisa melakukan apa pun."

Air mata berderai, satu per satu luruh dari mata Charlotta. Pundaknya gemetar, napasnya terisak keras hingga ia harus menarik hidungnya yang berair terus-terusan. Tanpa memikirkan segala risiko, Jackson akhirnya menarik punggung Charlotta masuk ke dalam dekapannya.

Ini akan menjadi penderitaan Charlotta terakhir. Karry harus segera sadar.

****

The Prince's Secret (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang