44 : CHARLOTTA SMITH

27 7 3
                                    

Hubungan ini terlalu sulit. Entah siapa yang memulai, tapi Charlotta benar-benar lelah menangis. Sebagai gantinya, ia meredam cerita-cerita Jackson beberapa jam yang lalu kemudian menatap ke bangunan yang menjulang-julang ramai di luar jendela. Lampu gedung yang warna-warni menyala meriahkan langit malam. Sudah hari ke berapa ia di Shanghai? Beberapa hari lagi menuju penutupan pameran. Dan tak lama lagi ia akan pulang. Kembali ke--Crown Garden?

Benarkah ia akan kembali ke Crown Garden setelah semua ini terjadi?

Sedetik, ia mengangkat tangan, menyentuh kalung pemberian Karry. Dengan butir giok kecil dieratkan oleh jaring-jaring besi dan lapisan kelopak bunga yang halus, ia merasakan Karry tiba-tiba hadir di situ.

Sebelum Charlotta menyadari lebih dalam, ia mendengar seseorang mengetuk pintunya pelan. Refleks, ia menoleh ke arah jam di atas nakas. Sudah pukul setengah satu. Jackson dan Roy sudah kembali dua jam yang lalu. Siapa yang bertamu jam segini? Apa jangan-jangan...

Charlotta meneguhkan keyakinannya sebelum membuka pintu. Dan ketika ia melihat bayangan Karry meratap ke arahnya begitu pintu terbuka, ia langsung ingin menutupnya kembali. Nampaknya gerakan itu refleks, dan Karry langsung menahan pintu.

"Aku ingin bicara." Tangan Karry menyentuh pipi Charlotta. Ia terasa dingin. Mata Karry mencari-cari sambil memasuki kamar, langkah keduanya merapat ke dinding. Di dalam mata yang masih tersesat itu, satu tangkapan menghardik bayangan Charlotta. Membuat jantungnya meluruh bersamaan air mata yang menggenang di mata Karry.

Selama ini Karry tidak memiliki seseorang yang berarti di hidupnya selain Nenek May.

Seberapa lama Karry bertahan menembus kesepian dalam hidupnya menjadi Putra Mahkota keluarga Wang? Sudah berapa kuat ia menanggung itu semua sendiri tanpa memberitahu yang sebenarnya ia rasakan?

"Maafkan aku," kata-kata itu terdengar parau. Sebutir air mata luruh.

Karry menangis. Dan itu menyesakkan Charlotta. Ia ingin sekali menggenggam tangannya yang dingin, memeluk Karry dan membiarkannya jatuh dalam setiap emosi yang ia punya. Ia ingin melakukan apa pun asal Karry bisa menceritakan seluruh perasaannya, tidak menbiarkannya teredam sendirian. Ia ingin tahu kalau Charlotta selalu ada untuknya.

Tapi lagi-lagi, Charlotta tidak pernah cukup yakin.

Apakah Jackson benar-benar yakin kalau Charlotta adalah orang yang berarti untuk Karry juga?

"Kau tidak bisa melupakan masa lalu, kenapa kau masih kembali, Karry? Apa yang kau harapkan?"

Tangan Karry terjatuh, ia memundurkan tubuhnya sampai memerosot di dinding dan terduduk di lantai.

"Aku terlalu egois. Sama seperti Felicia, bukan?"

Pelan-pelan, Charlotta berjongkok di depan Karry. Menahan air matanya sendiri supaya tidak jatuh. Tapi melihat Karry terluka cukup meredam emosinya sendiri.

"Aku tidak pernah tahu bagaimana ia di matamu. Tapi jika kau terus menyiksa diri seperti ini, aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku tidak bisa memintamu tinggal jika kau tidak bisa."

Itu saja. Charlotta ingin ini semua berakhir. Walau Jackson berusaha, ia merasa, Karry adalah satu kendali yang tidak bisa diputar. Masa lalu itu menenggelamkannya, menyesatkannya.

Dari dalam saku jas, Karry menghalau air matanya lalu mengeluarkan sebuah kotak berlapis kain beludru perak. Ia menyerahkannya pada Charlotta, tanpa mengatakan apa pun, Karry beranjak berdiri.

"Aku mungkin tidak bisa tinggal," suara itu membuat tangis Charlotta pecah, ketika cowok itu menoleh dari balik bahunya, dari antara poni rambutnya, mata tenang Karry melintas penuh luka, "tapi aku tidak akan bisa melupakanmu."

Karry beranjak keluar. Membiarkan pintu berdebam, lalu Charlotta jatuh terduduk.

Air mata tak berhenti ketika ia bisa merasakan tali hubungan itu diputus oleh kata-kata Karry. Segala memori yang mendadak merebak memenuhi pikirannya, terjejal menyiksa dada Charlotta. Rasanya seperti kehabisan napas. Membiarkan punggung Karry melintasi pandangannya, tapi kata-kata lain, itu membuatnya kesakitan. Lebih dari selama hidupnya mencari orang tua.

Sosok Karry yang selama ini ada di pikirannya seperti tercerabut, lepas dari segala mimpinya, lepas dari kenyataan.

Pelan-pelan, Charlotta membuka kotak itu. Menemukan sebuah cincin yang terbuat dari batu giok berwarna putih kehijauan. Cincin itu tidak seperti cincin perak yang biasa. Seluruh lingkarannya murni dari batu, dan ada satu ukiran unik di tengahnya.

Ukiran dua bintang yang saling menumpuk. Di atas bintang itu di tempatkan dua butir permata yang berkilau ketika terkena sinar lampu.

Cincin bintang.

Seperti nama Charlotta yang bisa ditemukan di antara bintang-bintang, tempatnya berlabuh adalah langit yang selamanya menetap.

Kata-kata dari Starlotta terkilas. Charlotta segera bangkit, ia membuka pintu berharap Karry masih ada di sana. Tapi yang ia lihat hanya koridor kosong dan sepi. Ia berlari sampai ke lobi, tapi Karry tidak ada juga.

Ia sudah pergi.

xx

Dari depan teras rumah sakit, Natalie berhambur ke arah pengawal yang menunggunya masuk ke mobil. Karry tidak datang setelah Bernard diperbolehkan pulang untuk melanjutkan aktivitasnya. Sementara tidak ada orang lain yang tersisa selain Natalie yang mengurus biaya administrasi. Mengepak barang-barang Bernard dan bersiap kembali ke Crown Garden.

Natalie sendirilah yang memanggil Charlotta supaya bisa menemaninya kembali sebelum pulang. Walau khawatir bertemu Karry, tapi Charlotta menyembunyikan matanya yang sembab dan menggunakan kacamata. Natalie tidak curiga, atau mungkin ia tahu.

"Apa kau benar-benar langsung pulang?" tanya Charlotta melintasi teras, mengantar Natalie ke depan pintu mobil.

Natalie memeluk Charlotta. "Kau tahu, aku sendiri ingin menikmati akhir musim panas ini sebelum kembali bekerja. Tapi kau tahu sendiri, kami bukan keluarga santai-santai. Pekerjaan menumpuk, aku harus menyelesaikannya sebelum natal tiba. Ah, padahal aku mau kita pulang bersama."

Senyum penyesalan terbit di bibir Charlotta, "maafkan aku. Pameran ayah selesai empat hari lagi. Aku harus bertahan."

"Oh, itu berlangsung tepat sebelum pameran Karry!" seru Natalie.

"Pameran?"

Natalie jelas tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Karry. Ia memeluk kedua tangan Charlotta lalu tersenyum hangat.

"Apa kau pikir kacamata bisa menyembunyikan kesedihan? Itu benda bodoh untuk membohongi dirimu sendiri. Karry akan melakukan pameran atas fabric giok yang berhasil ia lakukan."

Darah mengalir deras di sekitar pelipis Charlotta. Ia ingin menjerit histeris, tapi tiba-tiba sadar kalau itu bukan waktu yang pas setelah apa yang terjadi semalam. Jempol Natalie mengusap-usap jari-jari Charlotta. Di cincin yang ia dapatkan kemarin, Natalie menunduk, melihatnya.

"Kau tahu, itu akan berakhir pada waktunya," sahut Natalie pelan, dengan sebersit senyum tipis, ia menyentuh pipi Charlotta.

"Cuma kau satu-satunya orang yang membuatnya bertahan," kata Natalie, "jangan lepaskan ya?"

Lalu setelah berkata demikian, Natalie mengangguk tipis. Ia memasuki mobil bersama para pengawal. Meninggalkan parkiran rumah sakit dalam satu lambaian singkat. Melepaskan perasaan rindu akan rumah, tanpa sadar membuat Charlotta tersenyum sendu.

Ia tidak akan melepaskannya.

****

The Prince's Secret (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang