(73)

10.4K 1.1K 232
                                    


"Dimana Haechan?"

Jaehyun berusaha duduk sendiri, berkali-kali dia menepis tangan beberapa bawahannya yang mencoba membantunya duduk.

Dia sudah tak sadar seharian, Yuta dan Johnny juga tak berniat memberitahu tentang apa yang terjadi pada Haechan, Lucas dan Jungwoo kepada Jaehyun.

Kondisinya sedang tak baik-baik saja sekarang, emosi hanya akan memperparah keadaan.

"Kalian tuli? Dan kau Seo, siapa yang memerintahkan mu datang kemari? Tugasmu adalah mengurus Bisnisku yang berada dikorea, sekaligus mengawasi sibedebah itu"

"Aku tau" sahut Johnny.

Kedua orang disana serta beberapa pengawal yang berjaga didepan pintu kamar Jaehyun seakan dapat merasakan ketegangan tak kasat mata yang perlahan mulai mencekik, merampas pasokan oksigen hingga nafas mereka memberat.

"Dimana Haechanku?" Sekali lagi pertanyaan yang sama Jaehyun lontarkan.

Kali ini dengan nada datar yang nampak begitu dingin.
Bulu kuduk Johnny dan Yuta meremang, puncak kemarahan seorang Jung Jaehyun adalah sikap dinginnya.

"Tidak ada yang mau menjawab? Baiklah" Jaehyun beranjak dari ranjangnya tanpa ekspresi.
Kedua kakinya dapat melangkah kokoh tanpa sedikitpun gemetar, kemana perginya Jung Jaehyun yang sedang sakit beberapa waktu lalu.

Derap langkah kaki Jaehyun semakin dekat kearah pintu, Yuta maupun Johnny tak menoleh sedikitpun.

Klak

Dengan tanpa perasaan Jaehyun mematahkan leher salah satu bawahannya hingga tewas, para maid yang berlalu lalang berteriak histeris dan melarikan diri.

Yuta secepat kilat mencoba menahan tangan Jaehyun ketika pria itu ingin membunuh targetnya lagi.
Tidak ada membunuh ketika orang itu tak salah, begitulah prinsip Yuta.

"Hentikan"

Tubuh salah satu pengawal itu bergetar hebat, lehernya masih dicengkeram tangan kokoh Jaehyun, pria itu nampak pucat, rambutnya yang sedikit basah dan menempel pada kening menambah kesan menyeramkan, membuat pengawal malang itu semakin ketakutan.

Jung Jaehyun adalah mesin pembunuh paling mematikan yang memiliki wajah teramat tampan.

Cengkeraman Yuta semakin mengencang saat merasakan otot-otot tangan Jaehyun berkontraksi, seakan tengah mengumpulkan tenaga pada kepalan tangannya.

Pengawal itu mulai tercekik, terbatuk cukup parah karna pasokan oksigen berhenti mengaliri tubuhnya.

"Aku akan mengatakannya, lepaskan dia Jaehyun" tegas Yuta.

Yuta disini berperan menjadi Hyungnya, bukan lagi sikap bawahan pada atasan.

"Lucas terluka, cukup parah, begitupun Jungwoo, kami kehilangan jejak Haechan"

Bukan Yuta yang menjawab, namun Johnny yang perlahan mulai mendekati mereka berdua.

"Aku sudah mencoba mencari tau, tapi sepertinya kekacauan yang terjadi ditempat itu murni karna ulah terorisme"

Cengkeraman tangan Jaehyun mengendur, pengawal itu meraup oksigen dengan begitu rakus.

Yuta memberi isyarat pada pengawal lain untuk membawa pengawal yang terluka, serta menyingkirkan mayat yang tergeletak dibawah kaki mereka.

"Chip"

"Keberadaan chip tidak terdeteksi, hanya dua kemungkinan, chip itu terbakar, atau sengaja dihancurkan"

Tubuh Jaehyun merosot, Yuta dan Johnny berusaha menahan tubuh pria itu.
Sudah puluhan tahun Jaehyun tak menampilkan sisinya yang ini, sisi lemah dan rapuh miliknya.
Terakhir kali mereka melihat Jaehyun sedemikian rapuh adalah ketika sang mama dibunuh oleh ayahnya sendiri.

"Haechan.."

_

"Hyung aku ingin pulang" sudah 15 kali Haechan mengatakan kalimat yang sama, dan 15 kali pula Jeno berusaha mengalihkan pembicaraan.

Pria itu tak menentang maupun mengiyakan, hanya melakukan pengalihan terus menerus, dia tak ingin perasaan pria mungil itu terluka.

"Lihat lah lukamu Haechan, kau pikir nyawa Hyung masih akan berada pada raga ketika Hyung membawamu pulang dengan keadaan demikian?"

Haechan termenung, benar juga apa yang Jeno katakan, tapi sungguh, perasaannya sangat gelisah dan tak tenang sekarang, perutnya terus bergejolak, dia ingin pulang dan melihat wajah Jaehyun sesegera mungkin.

Dia tak tau apa yang terjadi pada dirinya, dulu dia sangat nyaman bersama Jeno, bahkan bisa dikatakan Jeno adalah salah satu rumah yang ia miliki selain orang tuanya, entah apa yang berbeda, sikap pria itu masih seperti dulu, sangat lembut dan penyayang, tapi Haechan merasa tak nyaman didekatnya, sebenarnya apa yang terjadi?

"Apa yang kau fikirkan hm? Kenapa alismu menekuk?"

Jeno mengusap lembut dahi dan alis kecil Haechan.
Sungguh ini masih Jeno yang dulu, tapi kenapa rasanya berbeda?

Haechan mendongak, menatap wajah Jeno yang terlihat sendu, sepertinya Jeno sedih karena dia terluka.

"Anii, Haechannie lapar Nono-ya, mau brownies boleh?" Haechan tak berbohong ketika dia mengatakan lapar dan menginginkan brownies, entahlah dia hanya sedang ingin.

"Baiklah, tinggu disini arra?" Jeno mengusak pelan Surai pelangi itu sebelum beranjak keluar dari kamar yang Haechan tempati untuk mengambil apa yang anak itu inginkan.

"Rindu Jaehyunnie hiks"

Haechan mulai terisak saat pintu kamar itu tertutup sempurna, badannya mulai gemetar, anak itu sesenggukan dengan sesekali mengusap pipinya yang basah oleh air mata dengan selimut.

Dia tak ingin Jeno melihatnya menangis, dia sudah berjanji hanya akan menunjukkan sisi lemahnya pada Jaehyun, hanya pada Jaehyun.

"Jaehyunnie"

_

"Jangan bercanda keparat" Jeno mencengkeram kerah kemeja dokter Zhang, dokter pribadinya yang juga salah satu teman Taeyong, orang itu adalah orang yang sama yang mengobati lukanya beberapa tahun silam ketika ia terluka pasca percobaan membawa Haechan pergi.

"Aku tak sedang berbohong Lee Jeno, dia memang sedang mengandung"

"Tapi dia laki-laki brengsek! Jangan mengatakan omong kosong padaku, Haechanku tidak hamil"

Jeno sudah akan pergi meninggalkan ruangan itu sebelum suara sang dokter kembali menginterupsi.

"Usia kandungannya 2 Minggu-

-aku tak tau bagaimana caranya anak itu memiliki rahim, tapi aku serius dengan ucapanku, dia tengah mengandung"

Tubuh Jeno menegang, dokter Zhang terlihat sangat serius ketika mengatakannya, dia berlalu dari ruangan itu tanpa membalas apapun.

_

"Sayang"

Jeno menghampiri ranjang besar ditengah ruangan itu dengan satu piring brownies coklat kesukaan haechan.
Dia meletakkan piring itu dinakas, mengamati pria mungil bersurai pelangi itu yang malah tertidur pulas.

"Hyung terlalu lama ya?" Lirihnya.

Jeno membenarkan letak piyama Haechan yang tersingkap menampilkan perut ratanya yang sedari dulu tak pernah ditumbuhi ABS.

Pikiran Jeno kembali meliar, kata-kata dokter Zhang masih terngiang di telinganya.
Jika memang Haechan hamil, apa yang harus dia lakukan?

"Sunshine, uri fullsun"

Kecupan bibir tipis itu mendarat tepat di rambut sang submissive, menyalurkan betapa besar sayangnya pada orang yang tengah tertidur itu.

"Aku sudah berjanji untuk tak lagi melukai fisikmu sayang, jadi apa yang harus aku lakukan pada anak ini?"

Tangan besar Jeno kini beralih pada perut Haechan, mengusapnya sehalus mungkin agar anak itu tak terbangun.

Pandangan dan ekspresi wajahnya yang lembut tiba-tiba berubah tajam, rahangnya mengetat dengan buku-buku jari yang saling bertaut pada genggaman erat tangannya yang mulai mengepal.

"Tentu saja aku harus menyingkirkannya, benar begitu kan sayang? Hanya anakku yang boleh tumbuh dirahimmu Lee Haechan, hanya anak kita"

Obsession (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang