BAB 1

26.5K 450 2
                                    

Tampak seorang gadis sedang menggeliat di atas kasurnya.

"Arini, bangun nak" mama berteriak dari lantai bawah.

"Iya ma" aku segera membersihkan diri dan turun untuk sarapan

"pagi mama, pagi papa" sambil mencium pipi kedua orang tuaku.

Oh sarapan pagi ini sangat menggiurkan. Sayur bayam, ikan asin, tempe, telur mata sapi dan tidak lupa sambal terasi dan kerupuk. Walaupun kami dari keluarga kaya tapi kami sekeluarga lebih suka dengan makanan bercita rasa indonesia. mama memang suka memasak makanan khas indonesia dibanding masakan western. 

"abang mana mah?" tanyaku karna sedari tadi aku tidak melihat abangku itu. Aku anak kedua, jarak usiaku dan abangku hanya 5 tahun.

"sudah pergi, katanya ada kerjaan mendadak" jawab papa

"cih, sok sibuk sekali dia. terlalu sibuk sampe lupa untuk menikah padahalkan aku sudah ingin punya keponakan yang ucul kayak boneka" kataku dengan raut kesal.

"Kenapa tidak kamu saja yang buat? papah punya teman yang anak lelakinya belum menikah, menurut papa kalian cocok" sambung papa dengan nada guyonannya.

"yang mana pah? " jawab mama langsung karena penasaran.

"teman kuliah kita mah, anaknya radit sama nana. si Bram" sahut papa

"wait, mungkin kita sudahi pembicaraan itu oke, kita lanjutkan sarapan. tidak baik menunda nanti nasinya nangis" sahutku. aku tau kalau pembahasan ini sangat rawan karena mama dan papa tidak akan berhenti membicarakannya, jadi aku harus segera menghentikannya.

"kenapa sih memangnya, kamu kan sudah 25 tahun tuh cocok untuk berumah tangga. gak usah tunggu abangmu menikah dulu" sahut mama yang masih kekeh 

"lagian bram itu mapan, ganteng, sayang juga sama orang tuanya. cocoklah sama kamu Arin, iyakan mah?"

"iya pa"

Tiba-tiba nafsu makanku hilang karena pembahasan ini, bukannya aku tidak mau menikah hanya saja aku masih ingin menghabiskan masa mudaku dengan status singleku, bukan status istri. Kalau sudah menikah banyak tanggung jawab yang haruku pikul, bukan hanya mengurus diri sendiri tapi suami juga, aku belum siap untuk itu.

"Arin selesai sarapan papa mau bicara yah" papa langsung berlalu ke ruang kerjanya.

Pasti papa akan membahas masalah ini lagi. ucapku dalam hati

Arini tau papa dan mamanya sangat menginginkan seorang cucu dari kami. Tapi mau bagaimana jangankan cucu, menantupun tidak ada. Ini semua gara-gara abangku yang malas mencari wanita untuk dijadikan pasangan hidup, jadi keberadaanku sebagai anak kedua terancam deh.

Arini masuk kedalam ruang kerja ayahnya, terlihat ayahnya sedang duduk di sofa sedang bertelefonan dengan seseorang.

"iya dit, kalau bisa malam ini kalian datang sekalian lah kita reunian masa-masa kuliah dulu. Rania pasti senang ketemu kalian apalagi dia sudah rindu berat dengan istrimu. Oh kalau kalian mau sore kalian sudah kesini supaya banyak waktu untuk kita membicarakannya. kau taukan bagaimana wanita. Rania dan Nana kalau sudah bertemu, biar hujan meteorpun mungkin mereka tidak sadar. hahahahaha, oke baiklah kami tunggu yah"  papa menutup teleponnya.

"Jadi ada apa Pah?" sahutku'

"Jadi gini nak, papa akan menjodohkanmu dengan Bramantyo, anak dari teman papa." jawab papa dengan tegas.

"pah aku masih 25 tahun loh, masih muda. kalaupun harus ada yang menikah ya itu abang bukan aku. abang udah 30 tahun loh pah." sahutku dengan nada kesal

"papa tau nak, tapikan gak ada salahnya kamu menikah duluan. Papa dan mama sudah ingin sekali menggendong cucu, kalau mau harapkan abangmu itu papa keburu mati nak" sahut papa dengan nada sedih.

Aku tau papa dan mama sedih karena sampe sekarang aku dan abang belum pernah mengenalkan seseorang kepeda mereka.

"Baiklah pa, tapi bolehkan arini bertemu dulu dengan bram dan orang tuanya?" jawabku dengan muka pasrah.

"iya nak boleh tentu boleh. nanti mereka akan datang sore, nanti terserah kamu mau menerima atau tidak perjodohan ini. Tapi papa harap kamu menerimanya nak".

Sore harinya, Arini mematut dirinya di cermin melihat dirinya yang menawan dengan balutan dress polos selutut berlengan pendek warna peach, rambutnya dibiarkan terurai menambah kesan manis.

hm cantik. pikirnya

"sayang cepat turun, mereka sudah tiba" teriak mama dari lantai bawah.

"iya mah" jawabku. kenapa aku deg-degan yah

Arini bergegas turun, disana dia melihat sepasang paruh bayu dan seorang lelaki tampan.

"nah radit, nana. kenalkan ini putriku Arini" kata papa memperkenalkanku.

Arini langsung menyalimi tangan kedua orang tua tersebut dan tersenyum saat menyapa lelaki tampan itu.

"oh ini toh anak bontotmu. cantik yah, cocoklah ini" sahut om radit 

"iya yah cantik, manis pula" sahut tante nana

"eh na, anakku ini pinter masak juga bikin kue juga dia bisa " ujar mama dengan semangat seperti mempromosikan diriku.

"wih paket komplit nih berati. Bram paket komplit tuh gak boleh di bairkan, gass lah" sahut om radit dengan nada guyonannya. mereka semua tertawa terkecuali lelaki itu yang kutahu adalah anak mereka Bramantyo.

Setelah berbincang panjang kali lebar mereka memutuskan untuk membicarakan niat hati para orang tua.

"jadi nak arin gimana mau gak sama anak om dan tante ini, yah walaupun umurnya sudah 30 tahun tapi tetap terlihat tampan seperti om, hahaha" kami semua tertawa mendengar kalimat terakhir om radit.

kulihat lelaki itu bram mukanya masih datar-datar saja masih sama seperti tadi. Ku akui saat pertama kali bertemu aku langsung jatuh hati apalagi tipe-tipeku memang seperti dia Hot Daddy. Kutatap wajah satu persatu di ruang tamu. semoga ini pilihan yang benar.

"iya Arin mau" ujarku malu-malu.

"Alhamdulillah" ucap semua orang.

"nah jadi Bram sekarang kamu harus persiapkan dirimu yah" kata om radit,

"Sekarang panggilnya ayah ibu, dan Mas bram. yah Arin" lanjut tante nana dengan tegas dan senyuman hangat.

"i..iya bu" sahutku dengan canggung.

Aku melirik ke Mas Bram kuliat dia tersenyum tapi bukan senyuman hangat lebih ke Smirk. Semoga keputusanku ini sudah benar Ya Allah.

AriniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang