39. Rasa bersalah

13.5K 883 39
                                    

Langit cerah sudah hilang, ranting kering dan daun kini berjatuhan seiring derasnya hujan membasahi kota Jakarta sore ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit cerah sudah hilang, ranting kering dan daun kini berjatuhan seiring derasnya hujan membasahi kota Jakarta sore ini. Sedang Astrella tidak ada keinginan sedikit pun untuk berlindung, gadis buta itu terus melangkah sejauh mungkin. Ia hanya berharap hujan tidak cepat reda, Astrella masih ingin menangis sedikit lebih lama. Boleh, kan?

Kakinya yang rapuh hanya dituntun dengan tongkat saja, sedang matanya masih saja bersembunyi entah sampai kapan. Bohong jika Astrella tidak menangis setiap hari karena terlahir buta, sungguh ia juga ingin hidup seperti yang lain. Melihat matahari, senyum orang-orang, dan saat siang berganti malam, Astrella sangat ingin melihat semua itu.

Dan untuk kali ini, gadis buta itu takut jika suatu saat matanya bisa terbuka lebar. Allerick dan Clara adalah ketakutannya sekarang, Astrella tidak ingin melihat kedua orang itu. Sial, bisa-bisanya dia tertipu.

"Ah, lagi-lagi nangis," Astrella berusaha mengukir senyum tipis di bibirnya, "kebiasaan ...!"

Gadis buta itu terus melangkah, menghiraukan pengguna jalan lain yang melaju dengan cepat hingga genangan air berkali-kali mengenai tubuhnya. Astrella tertawa lepas saat cipratan itu mengenai wajahnya, ia sudah terbiasa dengan pengabaian.

Astrella lantas menaiki tangga jembatan penyeberangan, ia menahan tangisnya mendengar langkah orang yang juga berlalu-lalang di sekitarnya. Semua masih berjalan baik-baik saja, hanya dia yang merasa mendung di sini. Sesekali kakinya tersandung besi dan membuat Astrella terjatuh, di tambah suara hujan yang semakin deras hingga dia bertambah sesak dadanya.

***

"Jayden!"

Pria yang tidak terlihat senyumnya sejak beberapa hari itu menghentikan langkahnya, lantas berbalik dan menatap gadis yang memanggilnya.

"Kenapa?"

Seka menggaruk tengkuknya dan menyengir canggung, baru kali ini ia ragu-ragu di hadapan pengusik hidupnya itu.

"Lo jangan diem-diem bae, dong. Serem di gue," ungkapnya.

Jayden masih menatap Seka datar, seleranya untuk tertawa berkurang akhir-akhir ini.

"Oh," responnya lalu kembali berbalik dan melangkah.

Seka melotot melihat pria itu mengabaikannya. "Woi, lo nyeremin elah!"

Tak menghiraukan Seka, Jayden terus melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Bel pulang baru saja berbunyi, para murid langsung berhamburan keluar dari kelas sepertinya.

"Jayden!"

"Diem, nggak! Lo udah nolak gue, jadi stop pura-pura peduli sekarang!"

"Makanya lo kayak biasanya, dong. Gak usah sok cuek gini!"

"Lo gimana, sih? Gue care, lo bilang buaya. Giliran gue gak ganggu lagi, lo bilang sok cuek. Mau lo apa sih gue tanya, hah?"

Seka terdiam untuk sesaat mendengar penuturan Jayden, ia juga bingung dengan dirinya sendiri.

SAYONËËTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang