Dari luar jendela, Astrella bisa melihat prianya sedang tertidur lelap. Diperhatikannya lagi tubuh Allerick, memang terlihat kurus dibanding teman-teman yang lain. Ia pun memilih untuk masuk ke dalam sana, walaupun pasti akan menjadi pusat perhatian.
Astrella melangkah pelan memasuki kelas, dan benar saja semua tatapan kini mengarah padanya. Langkahnya pelan sebab Astrella belum terbiasa dengan suasana seperti itu, dia seperti dikelilingi raja hutan. Belum sampai di meja Allerick, Astrella melihat Clara yang sedang melamun dengan tatapan mengarah ke kotak bekal. Sahabatnya itu belum menyentuh makanannya.
Tersenyum tipis, Astrella memilih mendatangi Clara lebih dulu. Menyendok makanan dan mengarahkannya pada sang sahabat.
“Kalo makan jangan ngelamun, dong. Aaa ...!” instruksi Astrella agar Clara membuka mulut.
Mendengar suara Astrella, senyum Clara seketika terbit. Lantas dia melebarkan mulutnya untuk menerima suapan dari Astrella. Dengan senang hati Clara mengunyah sampai tuntas.
“Dari tadi?”
Astrella menggeleng. “Nggak, baru aja dateng.”
“Ra, nanti pulang sama aku bareng kak Dean, ya,” lanjutnya.
Clara menjadi tidak nyaman. “Bukannya gak mau, La. Aku gak mau terus-terusan ngerepotin-”
“Sama sekali nggak, Ra. Kamu jangan mikir gitu, deh.”
Gadis itu mengangguk mengiyakan, Clara menyetujui walaupun hatinya kembali berpacu cepat. Dia hanya tidak sanggup berada dalam satu ruang dengan Deangelo, suasana akan menjadi panas dan menegangkan.
Sedang Allerick yang mendengar samar-samar suara kekasihnya, membuka mata pelan. Dia menoleh ke meja Clara, dan benar saja Astrella berada di sana. Alis Allerick naik sebelah, kenapa gadis itu tidak mendatanginya.
Ia pun beranjak dari tempatnya kemudian melangkah menuju meja Clara, di mana kedua gadis itu tengah berbincang.
“Ra, pinjem Ella, ya.” Allerick merangkul bahu sang gadis.
Clara mengangguk dan tersenyum. “It’s ok. Nanti balikin lagi.”
Allerick tertawa kecil. “Iya-iya, posesif amat lo.”
***
“Udah makan?”
Allerick menggelengkan kepalanya, dia tidak merasa lapar.
Helaan nafas terdengar, Astrella bangkit dari duduknya dan pergi memesan makanan untuk pria itu masukkan ke dalam perut.
Lagi-lagi Allerick tersenyum, perhatian kecil Astrella sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa diistimewakan. Sembari menunggu gadis itu, dia memilih untuk mengecek ponselnya. Iseng memeriksa ruang obrolan, dan kali ini Allerick kembali merasa terguncang.
Nomor yang ia sematkan, yang mana selalu dia ceritakan keluh kesahnya di sana, sekarang sudah dibaca. Centang abu-abu itu kini telah berubah menjadi biru. Allerick kemudian mengangkat wajahnya dan menatap Astrella yang kembali dengan nampan di tangan sembari tersenyum, gadis itu sudah mengetahui semuanya.
Astrella duduk dan masih mempertahankan senyumnya. “Ayo, makan. Biar beratnya nambah.”
Pria itu mengangguk, dengan segera ia memakan nasi ayam yang gadisnya itu belikan. Allerick menyuap satu sendok besar dan melahapnya, ia ingin terlihat sehat di depan Astrella.
“Makan yang banyak,” pintu Astrella dengan suara sedikit bergetar, namun dia tidak menangis.
Allerick kembali menyendok makanannya, berkali-kali bahkan mulutnya masih penuh. Lagi, lagi dan lagi sampai Astrella menahan tangannya.
“Pelan-pelan aja ... nanti keselek.”
Sendok di genggaman Allerick terlepas, pria itu mengontrol dulu makanan yang ada dalam mulutnya. Tangan kiri Allerick bergerak menggenggam jemari Astrella, pria itu tersenyum tipis dan menenangkan.
“Gue kuat, lo gak usah khawatir.”
Astrella mengangguk berkali-kali, ia berusaha keras untuk percaya dengan ucapan pria itu. Senyum yang sejak tadi Astrella pertahanan kini menghilang, diganti raut sedih yang begitu kentara.
Melihat itu Allerick semakin menggenggam kuat tangan Astrella, ia menggelengkan kepala agar gadis itu tidak menangis.
“Ella, gue gak pa pa.”
Pria itu kembali memakan nasinya hingga tandas, memperlihatkan pada gadisnya jika dia masih punya tubuh yang kuat. Karena orang sakit pasti menyisakan, jadi Allerick menghabiskan makanannya untuk membuktikan kalau dirinya sehat.
“Kenapa? Kenapa gak pernah bilang?” tanya Astrella kemudian.
“Karena gue sayang sama lo.”
Astrella menggeleng, itu bukan jawaban dari pertanyaannya.
“Aku tanya serius, Ale.”
“Gue jawabnya serius, Ella. Gue gak kasih tau karena gue sayang sama lo. Gue gak mau lo sedih, gue gak mau lo terbebani,” Allerick membelai surai Astrella, “kalo lo sedih, nanti siapa yang nguatin gue? Sedihnya lo sedih gue juga ....”
Astrella menyeka air matanya, tangannya bergerak menyentuh pipi Allerick. Garis mata pria itu terlihat hitam, terlihat jelas jika pria itu sedang sakit.
Sedang Allerick terlihat salah tingkah, karena pertama kalinya gadis itu melihatnya sangat intens. Tak habis pikir, bisa-bisanya Allerick salah tingkah di kondisi seperti ini.
“Sekarang kankernya stadium berapa?”
Ragu-ragu Allerick menjawab. “Tiga, stadium tiga.”
“Ah.” Lidah Astrella keluh mendengar fakta itu, ingin mengeluarkan sebaris kata tapi sepenggal saja tidak bisa ia ucap.
“Jangan nangis .....”
Allerick menyeka air mata gadisnya itu lalu dipeluk. Astrella tidak boleh menangis lagi, gadis itu hanya boleh tersenyum sekarang ini.
“Gue gak pa pa, gue bakalan sembuh.”
“Gue mohon, jangan nangis lagi ....”
Bukannya membuat tenang, Astrella semakin menangis mendengar perkataan pria itu. Stadium tiga, jelas Astrella tahu di mana titik terparah dari penyakit. Dan Allerick selangkah lebih dekat dari yang terparah itu, bagaimana bisa Astrella tenang.
“Gue bakalan hidup seribu tahun lagi kalo lo yang minta ....”
Selamat membaca dan semoga terhibur 🖤
jangan lupa vote dan komen yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYONËË
Fiksi RemajaAllerick Dante, pria arogan dan berhati dingin yang sialnya berwajah tampan. Ia adalah ketua geng dari Priamos squad yang terkenal garang dan sangat membenci geng Wonderlust yang diketuai oleh Deangelo. Ia tahu jika dirinya tampan, sehingga Allerick...