70. Kalian mau ending yang gimana?

6.8K 365 66
                                    

Hampir sebulan ini, langit hanya bisa di pandang dari balik jendela rumah sakit. Dalam hati Allerick menertawakan dirinya sendiri, seakan merasa jika Tuhan ingin bercengkrama dengannya segera.

“Udah mendingan?” Zidan yang baru saja tiba membantu mendorong kursi roda sang sahabat.

Melewati lapangan yang sedikit banyak sudah dipenuhi siswa lain.

“As you can see." Sudut bibir Allerick terangkat menanggapi.

“Tambah jelek aja lo keluar dari rumah sakit. Jadi makin pede gue.”

“Pede apaan?”

Zidan mengedikkan bahunya. “Makin pede, Astrella bakan jatuh hati sama gu-Aaa!! Pelan bangsat mukulnya!!”

Allerick berdecak kesal setelah menepuk keras lengan Zidan.

“Nunggu gue ke Tuhan dulu kek, gak tau diri banget lo ngomong gitu.”

Memasuki pintu kelas, Zidan mendorong kursi roda Allerick tanpa dosa, hanya bercanda sebenarnya. Pelan, tapi mampu membuat sang empu marah.

“Zidan!”

Allerick melempar penghapus hampir mengenai dahi, namun Zidan menangkis dengan tangan.  Hanya terkekeh tanpa meminta maaf.

“Kayaknya gue belum bisa rebut Astrella, deh. Makin sehat aja lo!”

***

“Apa kabar, Da ...?”

Degup jantung teramat kencang, hingga rasanya Sandi ingin lari saja dari tempatnya berdiri saat ini.

“Selama ini aku simpan seribu kata buat kamu, selalu teriak karena mengira kamu gak dengar. Aku pikir sudah cukup keras untuk membuat kamu mampir kesini lihat aku sebentar aja.”

Almeida, wanita paruh baya yang hampir setengah hidupnya di diagnosa kehilangan akal, seakan menjadi waras kali ini. Tatapannya kosong dengan perasaan yang teramat dahsyat terguncang.

“Aku pikir sudah keras meneriakkan nama kamu, ternyata itu cuma dalam diam.”

“Bahkan, saat menyebut nama kamu. Aku kembali pecah, padahal sudah jadi kepingan.”

Bibir Almeida bergetar, teringat jelas di bayangannya bagaimana wajah bahagia pria di depannya itu setelah menghianatinya.

“Bahagia 13 tahun belakangan ini tuan Sandi?”

Awalnya amarah dalam tubuh Almeida menggebu, namun kini terasa lenyap. Dia memutar tubuhnya membelakangi, lalu berjalan terseok-seok dengan air mata mengalir.

Bayangan kejadian lalu kembali melintas di benaknya, sudah cukup selama ini dia menyimpan amarah. Tidak ada gunanya berbicara pada pria yang telah menyayat jiwanya itu, memukulnya saja Almeida sudah tidak mampu.

“Terima kasih udah ke sini, lain kali gak usah.”

“Saya tau kamu makin bersyukur setelah melihat saya kayak gini.” Almeida melirik ke balik tembok berkaca tak jauh darinya, “dia cantik, kamu tidak salah pilih.”

Di tempatnya berdiri, Sandi tidak berucap apa-apa. Hanya menggenggam kuat syal merah yang ada di tangannya. Melihat tubuh ringkih wanita yang pernah singgah dalam hidupnya, berlalu pergi dengan langkah tertatih.

Almeida, yang 13 tahun lalu begitu cantik. Bahkan dia ingat saat menikahi wanita itu, ada 4 pria yang membuatnya bolak-balik ke rumah sakit karena dipukuli.

Yang dulunya sehat dan banyak tersenyum, kini terlihat kurus meski masih jelita.

Lidahnya keluh, mengucap maaf untuk keseribu kali pun tidak akan mampu mengembalikan kondisi Almeida.

***

“Alle. Pake ini, ya.”

Allerick menurunkan tangan Astrella yang hendak mengoleskan pelembab pada bibirnya.

“Nggak mau, masa warna pink?”

“Bukan. Ini nggak berwarna, emang bentukannya gini. Tapi kalo dipake gak ada warna.”

Allerick menggelengkan kepalanya. “Gak mau!”

Astrella menghembus nafas keras, sudah hampir setengah jam membujuk kekasihnya tapi tetap enggan. Bukan apa, tapi sekarang Allerick terlihat sangat pucat dengan bibir pecah yang tidak berwarna.

Efrain memasuki kelas dan memberikan kantong plastik berisi cireng, katanya Allerick sedang mengidam cireng sejak seminggu sebelum pulang dari rumah sakit.

“Thanks, Bro.”

Efrain berdehem saja, kemudian merebahkan diri bergabung dengan Dallas yang sedang tidur di pojokan.

“Setiap hari di penuhi rasa ngantuk, itulah Efrain dan Dallas.”

Jayden muncul setelah hampir sejam lalu menuju toilet. Pergi sebelum pelajaran selesai, datang saat sudah jam istirahat.

“Lucu banget kamu. Punyaku, ya?” Datang-datang, Jayden langsung menoel dagu Seka yang sedang anteng menghitung uang kas.

“Apaan sih, gak jelas banget lo!” Seka menepis tangan Jayden dan mendorong pria itu untuk menjauh.

“Aku emang gak jelas, tapi kalo mencintaimu, itu udah jelas.”

“Lah, jablay. Gak usah ganggu, ya!” Seka masih sibuk menghitung uang, meski lupa sudah hitungan ke berapa.

“Gue jeburin ke danau juga lama-lama,” lanjut Seka pelan namun masih di dengar.

Jayden menggeser bangku untuk duduk di sebelah Seka. “Aku tau di mana danau yang airnya gak ada habisnya.”

Walaupun tidak ada tanggapan, Jayden tetap melanjutkan kalimat.

“Danau how to stop thinking about you.”

Siaga satu, jika mata Seka sudah menutup dengan helaan nafas terdengar jelas. Maka harus waspada.

“Milih digampar atau nongkrong ke tempat lain?”

Bukannya peka terhadap situasi, Jayden tambah berani saja.

“Hatimu adalah tempat nongkrong yang aku su-”

BRUK!

***

Tidak henti-hentinya gelak tawa Astrella terdengar melihat penganiayaan cinta dari Seka untuk Jayden tadi. Dia hanya termangu menatap kedua insan itu berkelahi dengan melontarkan ucapan kasar yang begitu manis.

“Gila beneran si Jayden.” Celetuk Allerick.

“Tapi mereka lucu tau!”ucap Astrella di sela tawanya.

“Nggak, tuh. Lucuan juga kamu.”

Kalimat sederhana, namun jika Allerick yang mengucapkan selalu mampu membuat pipi Astrella kemerahan.

“Lucu banget, sih. Kayak monyet.”

Sejenak saja merasa salah tingkah, kini pandangan Astrella berubah.

“Kamu yang kayak monyet! Kayak gorilla!”

Allerick menggaruk kepala bingung. “Kok marah, monyet kan lucu.”

Astrella menatap aneh Allerick. “Tapi masak disamain kayak monyet? Kan masih ada kelinci, panda, kucing. Harus banget monyet?”

Allerick mengedikkan bahunya dan memutar ban kursi rodanya, meninggalkan Astrella yang terlihat berapi-api.

“Kok, marah. Hamil, ya?”

“ALLE, ASTAGA!”

***

HAI, MAAF BARU BISA APDET YAAA.
SEDIKIT SPOILER, CERITA INI AKAN DIENDINGKAN SEBELUM PART 80

SELAMAT MEMBACAAAAAA

SAYONËËTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang