59. Terima kasih, aku pamit

9.2K 584 30
                                    

Wanita paruh bayah memeluk erat sebuah selendang berwarna merah, ia berdiri di depan sebuah ruangan seorang pasien di rumah sakit jiwa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wanita paruh bayah memeluk erat sebuah selendang berwarna merah, ia berdiri di depan sebuah ruangan seorang pasien di rumah sakit jiwa. Air mata wanita itu menetes memandangi seorang wanita lain dari kaca jendela. Digenggamnya erat selendang penuh kenangan itu dengan nafas yang memburu.

“Mei, maafin aku ....”

Lea menghapus air matanya sembari menyentuh kaca jendela, menatap Almeida yang tertidur di dalam sana. Setiap datang dia hanya bisa berdiri dan melihat dari jauh, Lea terlalu takut untuk menyapa.

“Aku bisa berbagi apa pun sama kamu, tapi kalo itu mas Sandi. Maaf, aku nggak bisa.”

Hendak berbalik, Lea terkejut mendapati seseorang berdiri di belakang. Allerick menatap lurus ke arahnya tanpa bersuara, anak tirinya itu terdiam di sana tanpa tahu sejak kapan.

“Allerick ....”

Allerick mengambil langkah untuk lebih dekat dengan Lea, ia mendengar perkataan mama tirinya itu dari awal sampai akhir. Ia tiba lebih lambat sedikit dari Lea, dan dia membiarkan saja apa yang ingin istri kedua papanya itu lakukan.

“Ambil aja, gak ada yang membutuhkan ayah di sini!” ujar Allerick menyunggingkan satu sudut bibirnya.

Sementara Lea hanya bisa berdiam diri, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di posisinya sekarang, melangkah saja cukup sulit. Semua pilihan terlihat abu-abu, Lea tidak ingin mengorbankan kebahagiaan untuk kedua kalinya.

Sedangkan Allerick melangkah menuju pintu dengan wajah menunduk meneteskan air mata, dia menyeret kakinya yang terasa sangat berat. Tiba-tiba sakit di kepala menyerang Allerick, mengalir darah di hidung pria itu. Tanpa bisa Allerick kontrol, tubuhnya oleng dan jatuh di delapan orang yang begitu ia benci selama ini.

“Allerick? Allerick?”

“Kamu kenapa?”

Lea tak bisa menyembunyikan kepanikannya, ia ingin segera membawa anak tirinya itu menemui dokter, namun Allerick menahan tangannya. Anak tirinya itu menangis di pelukannya.

“Tante ...” lirih Allerick berusaha mengangkat wajahnya yang terdapat darah di sana.

“Saya lelah ...” Pria itu menggenggam kuat mantel yang Lea pakai, “saya sudah berusaha kuat buat melewati semuanya, tapi kenapa jalan yang Allerick tempuh belum juga mulus?”

“Kenapa, Tante?!” Allerick menutupi wajahnya sebab menangis sampai terisak.

“Kenapa kerikil, pisau dan hal-hal menyakitkan lainnya gak mau pergi dari kehidupan saya?!”

Sepatah katapun tak mampu keluar dari bibir Lea, dia hanya mampu mendekap Allerick lebih erat. Air mata dan keluh anak dari sahabatnya itu sudah membuktikan jika sakit yang ditanggung begitu besar, perkataan Allerick menusuk tepat di jantungnya. Lea bisa merasakan kesedihan itu.

SAYONËËTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang