Ada mulut yang harus saya beli
Aku tidak asal mengeluarkan jawaban itu saat Sulis bertanya motivasiku melamar kerja dalam sesi wawancara. Meski rekan sesama pelamar menjawab dengan jawaban normal pada umumnya; mencari pengalamam, menguji kemampuan, meningkatkan taraf hidup dan entah apalagi, aku konsisten mengeluarkan jawaban yang memang sudah berakar di otakku.
Berapa jumlah mulut yang ingin aku beli itu? Dua, tiga, empat, aku tidak tahu jumlah pastinya. Namun, yang paling wajib kubeli adalah dua mulut seseorang.
Jangan tegang dulu! Hidupku tidak melulu tentang balas dendam, pengakuan atas apa yang aku raih, atau pembuktian. Hidup terlalu singkat untuk kuhabiskan dengan membuat terkesan seseorang. Tidak.
Aku punya jiwa yang harus kupelihara kesehatannya dan sibuk mencari pengakuan bukan jalan yang melulu kutempuh.
Ada beberapa cara yang aku pilih. Berbagi salah satunya.
Tidak pernah kuduga sebelumnya aku bisa berbagi setumpuk makanan untuk banyak orang.
Tentu bukan dari dana pribadi. Berapa sih gaji pegawai rendahan sepertiku?
"Satu jam lagi kita selesai, Datu. Bawa yang itu juga ya, kayaknya ga semua tamu hadir." Info Bu Sarmi, salah seorang petugas katering.
Aku mengangguk sambil terus memilah makanan yang masih layak makan dari sederet piring. Sayup-sayup telingaku menangkap sebuah lagu lama dinyanyikan di aula gedung. Tempat acara ulang tahun perkawanian yang tidak kutahu siapa.
Iya, aku datang ke pesta-pesta besar. Bukan sebagai tamu atau pengatur acara.
"Adam, Edo gimana?" Tanyaku pada pada si pasangan kejahata.
Adam sedang melakukan seperti yang kulakukan sekarang. Beberapa meter dari tempatku berjongkok merapikan makanan.
"Sudah siap di luar!" Teriaknya.
Aku menghembus lega. Kutatap dengan binar bahagia berpanci-panci makanan yang berhasil kami pilah dari piring para tamu. Belum lagi makanan yang memang belum sempat di hidangkan.
Rezeki untuk perut tidak seberapa, hanya saja masih banyak orang yang khilaf mengambil makanan lebih dari daya tampung lambungnya. Daripada dibuang orang katering, mari pindahkan ke lambung yang lain.
Hanya di sini sikap mubazir disyukuri.
"ADA DATU? ADA DATU? AWAS MBA... DATUUUU... MANA DATU? DATU MAYURA... YA TUHAN TOLONG!"
Retinaku mendadak liar. Suara yang sangat akrab tiba-tiba membuat rusuh di belakang. Manalagi melibatkan namaku.
"Apa? Gue di sin!"
Dia setengah berlari ke arahku. Sekali langkah tubuhnya menerjangku. Aku hampir limbung.
"Tolongin Dona," katanya dengan suara gemulai manja dan ngos-ngosan.
"Apa sih, Don?" Kutarik tangan dari cengkramannya, tapi dia cengkram kembali. Sekarang menarik-narik lenganku.
"Datu, help. Cuma kamu yang bisa tolongin Dona." Dona merengek menjijikkan.
Mataku berputar tidak suka. Dia pasti akan menempatkanku pada situasi sulit. Ya pasti. Namanya saja minta tolong.
"Apa?" Aku setengah hati.
"Nyanyi."
"APA?" Aku gagal santai.
"Cindy mendadak kram perut, ini penampilan terakhir."
Cindy adalah vokalis band yang tampil di acara ulang tahun perkawinan ini. Itu artinya aku...
"Kamu pasti hafal Wulan Merindu punya Cici Paramida, aku pernah dengar kamu nyanyi itu di dapur Umi. Plis Tu, bantu gue."
***
Dona bukan salah satu mulut yang harus kubeli. Dia orang baik meski tabiatnya melenceng. Pria tulen yang suka berparas feminim. Penampilannya paling kece di lingkar pertemanan kami.
Dona adalah kru andal sebuah pengatur acara. Dari dia aku mendapat informasi tempat menjarah makanan pesta setiap akhir pekan. Dimana ada Dona di situ 'kejahatan'ku berlangsung.
Sedikit pun dia tidak memberiku waktu berpikir. Tenagaku kalah banyak saat dia menarikku, menyeretku ke panggung dengan sebelumnya memasangkan jubah pesta alakadarnya. Dan entah bagaimana dia berhasil menyanggul rambutku, juga memberiku perona bibir.
Kurang ajar.
Dari jauh kulihat dia menangkup tangan di depan dada. Aku memberi isyarat nada rendah menyaru dan Dona tanggap. Dia berkata "oke" tanpa suara. Artinya band sudah tahu letak kesanggupan nadaku.
Untung saja Wulan Merindu. Bukan jenis lagu Melayu dengan nada tinggi atau cengkok dangdut berkelok-kelok. Aku hanya perlu menyanyikan lagu ini dengan suara rapi.
Ini kali ke dua Dona membuatku berdiri di atas panggung acara. Dulu juga pernah, tapi hanya sebagai backing vocal.
Kuucapkan selamat lebih dulu kepada pemilik hajatan setelah celingak-celinguk mencari angka pernikahan ke berapa. Di atas kue bertingkat terpampang angka 35.
Mereka siap berdansa di tengah aula sebagai pusat perhatian. Banyaknya orang yang memperhatikan tidak membuat sang pria memandang penuh kagum wanita di sebelahnya.
Dadaku tiba-tiba membuncah melihat pasangan pascabelia itu yang malah semakin harmonis di usia puluhan pernikahan.
Apa mereka... yang selalu kudengar bertengkar setiap malam pernah merasakan apa yang dirasakan pasangan di hadapanku sekarang?
Dear otak, kenapa tiba-tiba berpikir ke sana?
***
Kerasnya kehidupan jalanan sudah kucicipi dari masa sekolah dasar. Ilmu yang wajib dikuasai ketika terjebak di jalanan adalah ilmu menahan lapar. Itu yang kupelajari.
Tidak makan beberapa hari adalah makanan orang jalanan setiap hari. Perih di perut sudah tidak terasa lagi saking tinggi ilmunya.
Dari pengalaman itu, saat keadaanku membaik dan bertemu orang-orang yang tepat, ide mengumpulkan makanan dari tempat hajatan untuk penekun jalanan kumulai.
Salah satu berkah nongkrong di warung soto Umi. Dengan Dona pun aku bertemu di sana.
Tanpa adanya rapat khusus tim yang bertugas mengorganisir acara ini terbentuk begitu saja. Aku cukup menelpon satu anggota dan mereka akan berkumpul di titik biasa kami membagi makanan.
Mulai dari tunawisma yang paling banyak mendominasi menunggu kami di sana. Tukang parkir, kang ojek, tukang sapu jalanan, preman, buruh panggul, semua ada.
Tidak hanya profesi jalanan, bahkan anak rantau kuliahan yang uang sakunya pas-pasan atau pegawai rendahan korporat juga kadang ikut menungguku dan teman yang lain membawa makanan dari hajatan besar.
Saat Tossa, motor roda tiga dengan bak terbuka yang di kendarai Edo memasuki titik acara, para penggemarku bertepuk tangan. Membuatku tertawa tertahan. Dalam sekejap mataku panas dan buru-buru kuhapus air mata.
Astaga, sudah berapa lama mereka menunggu?
Seorang ibu yang menggendong bayi sekitar empat bulan tersenyum pada kami.
"Kak Datu, menunya enak?" Kepu menghampiriku. Saat aku mengangguk, dia berjingkrak dengan anak-anak yang lain.
Sudah tengah malam, tapi anak jalanan selalu tampak bugar seperti pagi hari.
"Semuanya, boleh mulai antri ya!" Kataku mengarahkan.
Sekali ucap mereka berbaris dua deretan. Adam, Edo, Inggrid telah menyiapkan semuanya di atas meja reot sisa penggusuran sebuah warung.
Aku segera bergabung. Kupastikan malam ini perut mereka terganjal hingga esok pagi. Dari kegiatan ini saja kesehatan jiwaku terpelihara. Melihat mereka menikmati makanan yang mungkin tidak akan pernah mereka jangkau dari hasil bekerja keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
РазноеUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...