Sebenarnya aku sudah punya rencana menelpon Adam karena mustahil pulang naik bus dengan kaki begini. Selagi bisa kuatasi, aku paling tidak suka merepotkan orang lain. Terlebih ini orang baru, belum kukenal.
Saopi membantuku membawa barang, meletakkannya di kursi penumpang belakang.
Perasaanku semakin tidak enak saat kesusahan masuk ke mobil. Rasanya rieweh sekali meski Saopi saja yang menggiringku dari belakang.
"Bisa, Mba?" Tanya Saopi.
"Bisa, Pi. Makasih." Balasku dan Saopi menutup pintu untukku, memberi hormat pada supir di sampingku, dan kami berlalu.
Woah.
Paru-paruku rasanya semakin sempit saat kulirik ketenangan di sebelah. Menebak apa yang dipikirkan pria ini akan kerepotan yang kuberikan.
Otakku bekerja, apa harus meminta maaf atau berterima kasih lebih dulu. Tapi saran di kepalaku itu lenyap karena rasa tidak enak yang menjadi-jadi bersamaan dengan rasa nyeri yang semakin berkuasa.
Selang beberapa detik mataku membesar, perutku rasanya bergelinding.
AC dan pengharum mobil dengan wangi apa pun adalah pembunuhan bagiku.
"Alamat kamu dimana?"
Aku tersadar dari bengong, "hah?"
***
Kamal
Baru beberapa meter kami melintas, wajahnya tiba-tiba pucat. Gue menatap apa yang dia tatap dan gue langsung paham.
***
Eh, kok bisa?
Dia mematikan AC dan jendela terbuka setengah. Aku bergerak kikuk. Otak rasanya kram karena aku tidak tahu harus mengatakan apa.
Kenapa dia bisa melakukan hal yang tepat tanpa aku harus bersuara lebih dulu?
Aku tahu cara bersosialisasi dan aku juga bukan anti sosial, tapi langsung duduk sedekat ini dengan orang baru baru kali ini terjadi padaku.
"Itu... saya turun di halte depan saja, ga apa-apa." Alih-alih terucap terima kasih atau maaf, mulutku ini perlu di serepet sepertinya.
"Kenapa?"
"Atau saya pesan taksi saja, biar saya turun."
Datu, kamu memang tidak tahu diri. Sudah di tolong, sekarang bertingkah dumelku dalam hati.
Dan seolah bebal, aku tidak mau ambil pusing jika dia tersinggung.
"Tampang saya kriminal, ya?"
Kepalaku terseret untuk melihatnya. Dia tetap lurus ke jalan dengan wajah air tanpa riak.
"Bukan, tapi saya yang punya lambung gembel, tim tidak bisa AC-an di mobil dan lemah pada aroma mi instan."
Faktanya, aku tidak bisa makan sereal yang di campur susu, cium aroma mi instan sedikit langsung lapar, dan paling suka minum es teh dengan plastik dan sedotan.
Kurang gembel apa?
Dia melihatku tepat setelah aku memutar kepala. Sekilas bisa kulihat dia tertawa pelan dan kecil, semakin yakin karena ada dengusan setelahnya.
Kami tidak bicara lagi dan mobil tetap melaju. Rasa sakit pun menyibukkan tubuh dan kepala. Sayangnya, kebisuanku berbuah keanehan.
Hei, apa yang aku pikirkan sejak tadi? Kenapa mobil ini malah masuk ke sebuah klinik yang setiap hari kulewati?
"Tadi saya sudah tanya alamat, kamu ga jawab. Ya sudah, kita periksa kaki kamu saja dulu."
"Gimana ya ngomongnya? Ini kayaknya tidak perlu, Pak Kamal." Oh, syukur aku masih ingat saat Saopi memanggilnya begitu. Otak pintar.
Dia melihat bawah, kakiku yang bengkak.
"Percaya atau tidak kamu membutuhkan pengobatan, lagipula kamu naik mobil saya."
Aku menarik napas siap melempar balasan dan kalah cepat oleh gerakannya keluar mobil. Suaraku menggantung di udara.
Belum selesai kekesalanku, pintu mobil di buka dan dia datang dengan kursi roda.
"Saya yakin kamu tidak mau saya bantu, silakan coba duduk sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
RandomUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...