Calon Ibu Bos Betingkah

215 47 5
                                    

"Hihihi."

Datu terus-terusan mengangkat bungkusan bakpia di dalam lift dengan rasa bangga. Kamal dua langkah di belakangnya di buat kesal sekaligus merinding. Ini beneran Datu--pacarnya--atau arwah yang numpang di badan mbak pacar?

"Aku tuh masih ngerasa lho kalo Bu Dena tuh atasan kita, trus kamu pegawai biasa kayak aku. Tapi coba liat, siapa yang duluan punya fans di sini?"

Najis.

"Au! Aduh!" Kamal refleks memegang punggung, mengeluarkan wajah kesakitan.

"Kenapa?" Tanya Datu tanpa menghampirinya, yang malah membuat Kamal makin kesal. Dia berharap Datu melepas bungkusan itu dan memeriksa keadaannya karena khawatir. Mau jadi prioritas. Sayang disayang mbak pacar tidak peka. Malah mimik Datu tampak sinis, ragu, dan tidak percaya.

"Ini tadi bekas kamu gebug-gebug aku di atas motor, berasa sakitnya sekarang."

"Cih, gitu doang."

Memang pacar asem. Untung sayang.

Gagal mendapat perhatian, Kamal menegakkan tubuh. "Beneran sakit, lho."

"Ih, manja!"

Kan.

Lift berdenting dan pintu terbuka. Datu hampir melangkah sebelum akhirnya kerah bajunya di tarik Kamal dan Datu hilang kendali keseimbangan membentur dinding lift. Tidak keras sampai Datu merasakan sakit karena Kamal sigap menghadang dengan tubuhnya. Datu terperanjat, segera menghindar dan menggeser diri.

"Ruang arsip sudah ga dipakai, kita langsung ke ruanganku." Jelas Kamal.

"Terus itu... punggung kamu?" Tangan Datu memegang halus bahu Kamal, "harusnya ngomong aja, jangan natik-narik kayak tadi, kejedot lagi kan. Tadi katanya sakit. Gimana, sih?"

Kamal yang tadinya fokus menyusun penjelasan jika Datu bertanya lebih lanjut, seketika di buat terenyuh dan tersentuh oleh nada khawatir mba pacar. Akhirnya.

"Kamu... khawatir?" Tanyanya mencari kepastian. Takut dugaannya salah.

"Enggak ya," kilah Datu tanpa ragu, "masalahnya kalo kamu kenapa-kenapa kan aku juga yang disalahin. 'Seorang Pimpinan Perusahaan Minuman Dicederai Karyawan Sendiri' kan ga lucu kalo headline beritanya kayak gitu. Coba periksa, yang bagian mana yang sakit?"

"Jadi aku buka baju di sini, nih?" Padahal tadi udah senang-senang dapat perhatian.

"Bukan gitu, ih, kamu tuh!" Satu tinju Datu merespon kalimat Kamal. Bersamaan dengan lift yang terbuka, mereka  segera keluar menuju ruangan Kamal.

"Mana ada di gebug gitu doang sampe cedera."
"Beneran sakit. Liat nanti deh, pasti biru-biru."
"Hoax!"

Hingga Datu sadar, rasa canggung tak terelakkan begitu teringat ini kedua kali Datu menginjakkan kaki di lantai tempat para ruangan petinggi kantor berada. Lantai keramat. Lantai yang mustahil akan dia tempati sebagai ruang kerja. Dan sekarang... jreng mak jreng, sihir sepertinya terjadi.

Saking rendah jabatannya, petinggi perusahaan yang Datu kenal hanya Pak Priyono. Itupun jabatan yang sudah Datu kejar mati-matian. Kendala sudah pasti masalah pendidikan. Lulus SMP, SMA kejar paket C, tanpa kuliah hanya berbekal ilmu dari Balai Latihan Kerja. Mau dapat jabatan apa di perusahaan?

Kembali ke lantai tempatnya berada sekarang.

Tadinya ruangan Lord Ati juga di sini dan Datu pernah mampir ke lantai ini mencari Ati. Itu kali pertama. Setelah Ati pindah ruangan ke satu lantai di bawah lantai ini, Datu tidak pernah lagi  ke lantai ini. Kalau pun dia hendak ke rooftoop, dia dan Bundski selalu memakai tangga yang aksesnya langsung ke pintu atap gedung. Tidak jalan-jalan lagi melewati ruangan lain.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang