Lama ya Kamu

214 45 11
                                    

Di kepung rasa yang di sangkal habis-habisan sudah pasti tidak nyaman, tidak enak, dan meresahkan.

Sudah sejam yang lalu Adam datang membawakan baju ganti, namun Datu masih enggan menanggalkan kemeja Kamal dari badan. Bahkan Adam sudah memberi info khusus bahwa baju itu baru di beli di toko karena rumah Datu masih di segel kuning, tidak mungkin untuk Adam mengambil baju di kontrakan. Datu hanya menjawab 'iya, nanti' ketika Adam bertanya mau ganti baju kapan.

Sekarang hari hampir berganti dimana hati dan pikiran Datu lebih banyak bertanya Kamal dimana atau sedang apa. Lelaki itu tidak ada kabarnya, padahal dia yang membawa Datu ke klinik ini.

"Nih!" Tiba-tiba saja Adam melempar sesuatu ke pangkuannya, "daripada lu liatin terus." Dumelnya sambil mendekatkan bangku ke tempat tidur.

Datu menerima jas Kamal yang tadi tergeletak di punggung sofa dengan mulut mencebik. Usahanya menyembunyikan perasaan sedari tadi nyatanya gagal. Dia kentut tanpa suara saja Adam bisa tahu, apalagi perasaannya saat ini.

"Ini ga bagus, sih, kalau gue bilang." Mulai Datu sembari menyilang tangan dengan jas Kamal di dada.

Adam merotasi mata.

"Saking biasanya kita hadepin bahaya, gue singkirin dulu keinginan dengar cerita versi lu masalah kejadian ini. Kayaknya yang lebih penting di bahas sekarang masalah jidat lu yang ada tulisan jelas banget bilang 'gue butuh kasih sayang ayang Kamal.'" Adam jeda membuang napas, "Dari yang gue baca, dia orangnya baik."

Datu tidak menyangkal. Kamal memang idaman dari segi tampang. Attitude, selama ini juga tidak banyak tingkah, tidak aneh, atau menyimpang. Kalau Adam sudah membuat pernyataan begitu, Datu tidak akan ragu.

"Dan gue tetap takut. Mau semulia apa pun dia di mata kita, kalau keluarganya..."

"Selalu ya lu," potong Adam dengan nada kecewa.

"Dokter yang tangani gue sepupunya Kamal, gue bisa lihat dia kaget waktu natap gue tanpa softlense. Tapi dia tetap ramah, mungkin biasa maklum ketemu pasien aneh. Yang muda aja kaget, gimana sesepuh di keluarganya yang mungkin punya pemikiran lebih kolot, yang melihat nilai seseorang dari aura, fisik, nasab, turunan, dan entah apa lagi."

Melawan restu mungkin akan tampak keren. Membangun sebuah hubungan dengan mengabaikan hubungan yang lain dimana yang Datu maksud adalah restu keluarga amat sangat penting. Dia yang sebatang kara, ingin di terima keluarga orang yang dia kasihi. Kalau memang tidak, dia tidak akan maju selangkah pun.

"Lu belum apa-apa sudah gentar duluan. Kebiasaan!" Cibir Adam yang sudah khatam watak Datu. "Paling enggak lu nerima dia aja dulu, mau jadi pacar dia apa enggak."

"Lu pikir gue mau apa pakai baju cowok yang gue ga suka?!" Balas Datu tegas, nada naik seoktaf.

Adam langsung tertawa, terbahak bersama tepuk tangan sedikit keras. Datu kali ini baginya sungguh kocak. Tanggal sudah Datu yang anti ayang-ayangan.

"Dia beberapa kali ada di waktu yang tepat. Waktu gue kejatuhan staples, waktu gue ngelempar cowok kasar pakai botol, di lempar bom, terus sekarang pas gue sekarat karena asap beracun. Belum lagi tindakan-tindakan kecil dia, terutama yang rela ga pakai AC di mobil kalau kami mesti kerja di luar."

Iya. Diam-diam Datu memperhatikan segala tindakan manis Kamal padanya. Walau setiap hal itu terjadi wajah Kamal selalu datar, minim ekspresi. Datu memang bukan pakar membaca wajah, tapi dia bisa merasakan ketulusan Kamal. Indah sekali cara kerja dunia membangun chemistry mereka.

"Tapi tetep aja gue ga berani bergerak kalau membayangkan keluarga dia bakal nolak gue. Gimana reaksi ibunya kalau tahu anaknya punya hubungan dengan anak perempuan sebatangkara yang nggak tahu asal usulnya sendiri. Jadi gue stuck di kesimpulan, mending mundur daripada harus berdarah-darah di depan. Mending gue gini aja terus sampai akhir. Minimal gue ga ngerasain batin dan bikin gue kurus kerempeng karena kepikiran. Mending tetep fokus jadi anak adopsi lu nanti."

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang