Baik ke Semua, Teman di Pilih

183 34 1
                                    

Seorang bijak pernah berkata, tidak semua orang di kantor itu adalah teman. Aku menyadarinya setelah Bundski menceramahiku dulu, saat-saat good girl syndrome hampir menjerumuskanku. Aku pernah berpikir polos, semua orang baik. Semua orang di kantor pasti sama baiknya dengan teman nongkrongku di warung Umi. Ketika aku mengatakan isi pikiranku yang lugu itu Bundski menoyor kepalaku karena gemas.

Dia kemudian berpesan; kamu boleh baik ke semua orang, tapi teman yang akan kamu biarkan tinggal di sekelilingmu harus di pilih. Satu tempat kerja bukan berarti teman. Kerja, ambil gaji, terus pulang.

Sebelumnya, saat hidup merayap di jalanan aku tidak memilih untuk berteman. Jangankan teman, mereka yang bersamaku di jalanan kuanggap keluarga. Kadang kehidupan jalanan sangat lebih jujur. Ketika mereka melihatmu lapar, mereka akan membagi makanan yang mereka punya. Ketika mereka tahu kau tidak punya tempat tidur, mereka akan mengajakmu berbaring nyaman di pinggiran toko beralaskan kardus bekas. Ketika mereka mendapat hasil lebih, mereka akan merangkul bahumu sambil berkata "ayo kita makan enak."

Aku menemui orang-orang seperti itu di jalanan dan di tempat kerja perlakuan seperti itu ternyata memiliki maksud yang mengerikan. Jika di jalanan hidup apa adanya, di kantor akan menjadi ada apanya. Saat orang kantor menyebut kata keluarga, saat itu pula terjadi penindasan terselubung. Mereka yang merasa lebih atas akan memberimu beban yang harusnya mereka pikul sambil berkata "kita kan keluarga" kemudian merangkulmu, menepuk pundak sedikit dan pergi.

Tinggal dirimu dan beban mereka.

Dan sekarang aku bertanya-tanya apa pria yang membawa kotak bekalku ini termasuk bagian dari gurita kantor yang bersembunyi di balik kata 'keluarga'?

Maksudku, kenapa dia mau merepotkan diri mengambil alih bekalku dari Adam? Saat aku protes Adam kenapa tidak dia saja yang mengantar bekalku, Adam mengatakan bahwa  teman kantorku itu mengenalku dan mengaku yang mengantarku ke klinik.

Sebagian... ah bukan sebagian, semua yang ada di ruangan ini mendadak diam sesaat setelah kemunculan Kamal di pintu. Aku melihat semua perubahan wajah mereka dan langsung merasa bersalah karena menjadi penyebabnya. Bagaimanapun pria itu datang untuk membawa kepentinganku.

"Eh," Lord Ati berseru, "Kamal kok bisa ke sini?"

Kamal melihatnya skeptis, "saya kan kerja di sini." Jawab Kamal.

Aku langsung sakit kepala mengingat sikap Kamal yang berkebalikan dengan Siro. Ati langsung asem di jawab seperti itu.

Berdiri hati-hati aku menerima bungkusan yang dia berikan dan mengucapkan terima kasih.

Kamal kemudian mengedarkan pandangannya.

"Kalian kenapa kumpul di sini?"

Wajah yang tadinya masih santai sekarang gelagapan. Salim dan Susan melihatku. Dari wajah mereka ada permintaan agar aku bersuara.

"Gini, Pak," Siro lebih dulu menjawab, "ini teman-teman Datu dari bagian market, mereka di sini untuk merayakan kepindahan Datu?"

"Oh, merayakan ya? Kenapa ga ajak saya?" Nada Kamal menyebalkan telingaku.

Lu siape Maliiiiih? Batinku.

"Atau lo nya mau gabung sama kita?" Tanya Siro yang membuat semuanya tegang. Aku melempar wajah tidak setuju pada Siro yang tidak dia tangkap sama sekali.

***

Yasss, tepat. Kamal bergabung bersama kami. Siro menjamunya sebagai tuan ruangan yang baik tanpa terganggu wajah tidak setujuku. Dia bahkan bersedia mengambil kursi di ruangan lain untuk Kamal dan telah memesan makanan lebih.

Dan sekarang bertambah satu pegawai elit di sini.

Dari keterangan Ati, Kamal satu divisi dengannya. Finance alias keuangan.

"Selain ikut kumpul di sini lo mau ikut arisan juga ga, Mal?"

Mulut kurang ajarku langsung menyembur air yang belum ku telan. Ati, bandar arisan tetap bandar arisan.

"Sori." Lirihku.

"Lord, tolonglah, dia bukan target kali." Respon Salim.

"Bisa aja, nanti gue pikirin."

Aku tersentak lagi. Astaga.

"Bro," Salim menepuk bahu kamal, "berarti lo bukan kaum gogle, lo orang krom?"

Kamal memalingkan wajah dari tangan Salim yang masih di bahunya. Aku bisa melihat dia tidak paham dengan istilah yang di sebutkan Salim.

"Gogle alias golongan orang single, krom alias kumpulan orang menikah." Jelas Salim.

Salimlah yang membuat istilah itu di waktu-waktu gabut kami. Susan, Ati, dan Bundski termasuk krom. Aku, Salim, dan Lesni tim gogle.

"Dia gogle, gue juga." Siro bersuara.

"Lah, terus arisannya buat siapa?"

Siro dan Salim terus membahas kewajaran seorang laki-laki yang memiliki sisi feminis, keabsahan jika laki-laki juga melakukan apa yang wanita lakukan tanpa meninggalkan kodratnya sebagai pria jantan.

".... kan sekarang salon buat cowok juga udah...."

Penggalan-penggalan obrolan mereka tersangkut sedikit-sedikit di kepalaku. Bukan itu. Bukan tentang Kamal yang mau ikut arisan yang menjadi fokusku, tapi kenapa bisa Siro mengetahui status Kamal?

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang