Di balik perusahaan yang sukses ada kacung kampret yang haus akan cuan.
Begitu adanya budak korporat, tampilannya yang stylish dan dinamis menyembunyikan sejuta beban hidup yang bertumpukan uang. Cicilan, biaya hidup, biaya gaya, hingga biaya masa depan yang tidak jelas kejelasannya.
Tidak munafik, aku juga termasuk di dalamnya. Bedanya, selain faktor uang, aku menjadi budak dari egoku sendiri demi sebuah pembuktian. Rela bertahun-tahun bangun pagi, jam kerja tetap dan terikat, melakukan pekerjaan yang memang sudah di tentukan, pulang sesuai jadwal. Perlu usaha ekstra agar aku bisa beradaptasi dengan hal yang tidak terlalu aku minati ini. Terima kasih untuk orang-orang kantor yang bisa membuatku betah dan bertahan. Kurang lebih tiga bulan lagi aku bebas dari sekat tembok gedung ini.
Narasinya sudah bagus kah?
Masuk ke intinya
Seumur-umur bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan minuman, baru hari ini aku merasakan ketakutan datang ke kantor. Harusnya tidak seperti ini.
Kemarin, setengah dari hariku berjalan baik. Ada Kamal yang membantuku menyelesaikan pesanan Mba Key. Pesanan selesai tepat waktu sampai Cacung, pegawai Mba Key, datang mengambil pesanan ke kontrakan.
Semuanya baik-baik saja, hingga pada akhirnya...
"Iiiiiih, astaga!!! Kok bisa?"
Wajah kuraup dengan tangan karena frustrasi sendiri. Mendengar reaksi Bundski bukannya membuatku tenang malah makin setres.
"Jadi, Kamal balik lagi ke rumah lo karena ketinggalan sesuatu terus.... dia... lihat...." Sulis menghembus napas berat, "lagian kenapa lu bukanya cepet?"
"Ya kan gue mau mandi, ya kali gue mandi pakai softlens... ya bisa aja sih, tapi kan biasanya gue lepas karena sendirian... akh... lu bukannya ngasih solusi malah nambahin beban." Aku meremas surai dengan dua tangan.
"Apanya yang mau disolusiin? Sans aja lah, cuma Kamal doang. Kita ga ada special case juga, kan, sama dia."
"Iya, tapi dia bukan orang yang gue mau kasih lihat kecacatan gue ini."
Bundski menjambak rambutku dan melepasnya sedikit kasar sambil berkata, "heterochromia lu bukan cacat, ya, deal with that!"
Agak menjijikkan, sih. Ketika Kamal melihat mataku kemarin rasanya aku telanjang bulat di depannya. Aku punya banyak kejadian memalukan, tapi baru kali ini aku merasakan malu sesungguhnya.
Kamal menatapku cukup lama dan aku belum sadar kalau sudah membuka softlense dengan handuk melingkar di leher. Setelah sadar aku kelabakan sendiri, salah tingkah, gugup, grogi, dan memalingkan wajah kesana-kemari agar kami tidak saling lihat hingga barangnya yang ketinggalan ketemu. Aku bahkan lupa apanya yang ketinggalan padahal dia sudah bilang saking sibuknya aku dengan diriku sendiri.
"Ya Allah, gini amat hidup gue." Keluhku.
Turun jabatan, masa depan ga jelas, nikah ga minat, tepatnya ga mungkin ada emak-emak yang mau gue jadi mantunya.
"Denger ya, jangan terlalu lu pikirin, act like always aja, biasa gitu kayak ga ada pa-pa. Sama si seTania itu aja lu liatin kok, udah ga pa-pa."
Terus terang kalimat Bundski tidak terlalu membantu. Aku masih gelisah.
"Gue..." kalimatku terhenti karena bunyi ponsel, nomor baru tanpa nama. Aku melihat Bundski sebelum ku angkat.
"Hallo! Siapa?"
"Siapa?" Tanya Bundski tanpa suara.
"Ga tahu."
***
Tidak ada yang bisa menangkal yang namanya konspirasi alam.
Kata seorang ahli, otak tidak bisa mengolah kata 'jangan.' Coba saja bilang, "jangan pikirkan kucing!" pasti visual di otak kita menunjukkan hewan itu. Konspirasi takdir sepertinya juga seperti itu. Kalau bisa hari ini jangan ketemu Kamal. Kamal orang yang paling tidak ingin aku temui hari ini dah yah, takdir malah membuat perkara sampai kami harus berhadapan seperti sekarang.
"Lho? Pak Faisal dan Bakti mana?"
Di telepon Kamal mengatakan bahwa hari ini Pak Faisal akan tanda tangan kontrak. Berhubung Bakti juga ikut, Pak Faisal memintaku ikut hadir menemuinya. Sight job apalagi ini, gue jadi babysitter.
"Yang tadi nomor saya, di simpan! Ke dua, saya ga bilang Pak Faisal dan Bakti di sini, ke tiga; ngapain di rooftop pas jam kerja?"
Woah, berlagak owner dia. Bu Dena saja yang belum kutahu rupa dan wujudnya tidak pernah protes aku karauke di atas setelah jam pulang.
"Tapi ga pa-pa," aku belum melakukan pembelaan, lho, dia sudah nyerobot, "ikut saya sekarang ke tempat Pak Faisal nunggu kita."
"Kalau saya ga mau, gimana?" Membangkang sekali coba.
Apa perasaanku saja? Kamal terus melihatku sejak tadi tanpa mengalihkan pandangan. Kami kerja di luar lagi tidak akan bagus untukku. Sisa kejadian kemari... haduh, gimana ya?
"Kalau kita dapat tanda tangan Pak Faisal sekarang, kantor akan menyediakan ruangan karaoke untuk karyawan."
Heh, dia ngomong apa tadi?
Ucapan terima kasih untuk sodaraku yang selalu komen dan bikin semangat Dewi 10... (maaf lupa akunnya).
Dan biar ga penasaran ini adalah Datu
Ini real heterochromia yah, bukan softlense. Jadi bisa dibayangin kan gimana paniknya Datu waktu Kamal lihat matanya yang beda sebelah itu.
Buat kalian yg sudah sabar nunggu next chapter makasih banyak. Sehat selalu kalian. Hugh n love, Lia.
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
SonstigesUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...