Rekan Baru

190 36 2
                                    

Risiko dari datang lebih awal---sangat awal dan bisa dibilang orang pertama yang menginjak kantor--- ya menunggu.

"Makasih, Pak. Bapak lanjut aja." Ucapku pada seorang pegawai kebersihan yang kutanyai masalah kunci pintu ruang arsip.

Dan katanya kuncin ruangan hanya satu dan di pegang rekan baruku yang dimana belum kutemui. Sendirian seperti ini sudah biasa bagiku.

Aku hening tanpa pikiran apa pun.

Tertunduk, aku melihat gerak kaki yang keluar dari sepatu. Harusnya aku mendengar saran Adam agar ke kantor memakai sendal saja. Sekarang kakiku tidak nyaman di dalam sepatu dengan perban elastis yang melilit. Sekalipun flat shoes, tetap saja tidak enak.

Getar di saku membuatku menarik kepala. Notif dari grup internalku di kantor. Berisi orang-orang tertentu yang sesekte denganku dan Sulis.

Bundski: gimana ruangan baru lo, Nona Datu?

Salim: lunch di ruangan baru Datu 12 sharp, no debate.

Susan: biasa ye, gue bawa desert.

Tanpa menulis satu kalimat, aku mengirim capture kakiku yang di perban.

Bundski: itu kenape Munaroh?

Susan: ya, gwencana? Kakinya kenapa, Eouni?

Salim: gue pesenin nasi rawon ye, Tu. Gue bawain puding juga, emak gue bikin.

Lesni: heh kepala sampi, makan melulu ko bahas, tidak lihat ko kaki Datu?

Salim: liat kok komandan, tapi lu masuk kan, Tu? Di liat dari laintainya, itu lantai kantor kita? Serius lo udah di markas?

Datu: gue masuk kok, cuma gerakan aja yang terbatas. 12 sharp di ruangan baru yang belum gue liat bentukannya.

Bundski: rekan lo anak baru, Neng. Kayaknya orangnya asik, dan lagi ruangan lo itu kayak ruangan pribadi. Lo cuma berdua sama si anak baru.

Lord Ati: ape nih? Ape nih? Ruangan baru apa? Siapa yang pindah?

***

Tidak biasanya gue jalan cepat kayak gini karena takut ke-gep membawa kresek di salah satu tangan. Tampilan eksekutif, tapi bawa kantong. Jatuhnya gue kayak anak kos baru dapat kerja. Sambil celingukan pula ke setiap ruangan berharap gue menemukan wanita itu.

Sampai gue tiba di depan pintu ruangan, gue ga menemukan dia. Kresek itu gue taruh di pojokan meja dan gue menelpon Dena.

"Saya sudah di kantor, cepat datang, dan carikan saya pegawai atas nama Datu!"

Gue menutup panggilan dan melakukan apa yang harus gue kerjakan. Beberapa dokumen yang membingungkan gue seminggu ini. Berlembar-lembar kertas yang harus gue pelajari lagi sebelum tenggat waktu. Gue harus menemukan akar masalah bagaimana perusahaan ini akan bangkrut saat produknya bahkan menguasai pasar.

***
Lord Ati adalah staff keuangan, satu-satunya pegawai kelas atas di grup dan yang paling sepuh diantara kami. Beliau menolak di panggil "Bu atau Ibu" dalam pergaulan. Dan aku mengusulkan julukan Lord yang langsung dia setujui.

Penampilannya nyentrik, mengikuti zaman, rambut pendek dan berwarna. Lord Ati paling anti kalau ada uban yang tumbuh sampai kelihatan dari jauh.

Kami disatukan oleh sebuah hobi beliau. Arisan. Beliau bandar arisan di kantor.

Saat itu Ati mencari anggota tambahan dan mengumumkannya ke setiap ruangan, menawarkan siapa yang berminat bergabung. Tanpa ada rencana dan janji sebelumnya, di hari yang sama ruangan berbeda, aku dan Sulis berminat gabung dan masuk anggota ke sembilan dan sepuluh.

Setiap waktu membuka arisan tiba kami kumpul di kantin. Dan kala itu juga kami semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat hingga Ati akrab dengan divisi pemasaran. Grup chat inipun adalah bentukan beliau.

Yang asyik berteman dengan Ati adalah saat gajian atau ada bonus, dia akan menginformasikan paling awal pada kami di chatroom.

"Hai!" Aku terkesiap. "Yang baru pindah ke arsip, ya?"

Pria muda dengan wajah segar menjulang di depan.

Dia menjulurkan tangan hingga aku refleks berdiri, tapi...

"Awww!" Kakiku rasanya di cubit, tersengat sakit aku duduk lagi.

"Kenapa? Sakit ya?"

"Sori."

Dia ikut duduk. Melihat kakiku yang di perban.

"Kalau berdirinya hati-hati sebenarnya ga sakit lagi kok."

"Ga apa-apa, duduk aja Mba. Perkenalkan saya Siro. Sirojudin Abbas, staff arsip, rekan kerja Mba....."

"Datu. Saya Datu Mayura."

Kami bersalaman. Gila sih, tangannya selembut itu untuk ukuran laki-laki. Dari penampilan bisa kutebak tingkatan metroseksual anak ini. Rutin skincare, rajin nyalon, anak gym, ga doyan kegiatan outdoor.

"Lama ya nunggunya?"

Dia bergerak ke pintu, menyusup anak kunci, dan pintu terbuka.

"Lumayan, tapi saya yang kepagian sih."

"Mba..."
"Panggil Datu saja, jangan pakai embel-embel."
"Oh, oke. Bisa masuk sendiri?"
"Bisa."

Aku berjalan pelan, sedikit pincang, menyusul Siro yang sudah lebih dulu ke dalam.

"Semoga nyaman ya Datu. Saya baru seminggu di sini dan awal masuk kemarin lembur mati-matian buat rapiin ruangan ini. Lebih berantakan dar ini kemarin. Sama Dena saya minta rekan..."

Siro sedang sibuk sendiri di mejanya saat aku terkesiap tidak percaya betapa dia dengan enteng menyebut nama pimpinan kantor ini. Entah Siro menyadari wajah awasku atau tidak, dia terus saja bicara.

"Jadi Datu yang terpilih. Tadinya saya minta biar sama-sama anak baru saja padahal."

Aku mencerna kata-kata Siro pelan-pelan namun, masih gagal.

Di ruangan itu hanya ada dua meja. Siro sudah menempati mejanya, artinya meja yang kosong adalah mejaku.

Apa tadi katanya? Dia yang meminta rekan? Jadi dia akar dari masalahku dan yang akan di racun Lesni?

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang