Gelap

251 40 8
                                    

Datu tahu sudah ada kuasa akan kokohnya langit, bergantungnya awan tanpa jatuh, kemana mendung boleh menurunkan hujan, gerak angin, atau dimana matahari boleh berkuasa. Dia kira yang mengatur semua itu sudah memberikan sakit yang paling sakit dengan hidup sebatangkara di tengah hutan dunia. Ternyata sakit yang lebih parah datang dari mana dia berasal.

Pak Juanda adalah seorang pengacara yang sekarang menjalankan tugas dari 'bekas' keluarganya. Kata 'bekas' Datu sematkan sendiri setelah mendengar cerita Pak Juanda akan asal usulnya. Siapa sangka, Datu ternyata memiliki keluarga, bahkan bisa dibilang old money alias orang kaya, bangsawan. Nama 'Datu' sendiri adalah sebuah gelar yang tidak sembarang orang menerimanya. Tapi sekarang persetan dengan itu semua. Saking sakitnya, Datu ingin ganti nama saja.

Masalah lain yang jadi beban pikirannya, Kamal ikut mendengar sejarah kelam asal muasalnya. Tadinya Pak Juanda meminta mereka bicara berdua. Dengan pedenya Datu menolak dan ingin ditemani Kamal karena pertimbangan akan keterangan Pak Juanda bahwa dia harus menandatangani beberapa berkas. Dalam hal ini Datu takut salah langkah dan mempercayai keahlian Kamal.

Langkahnya sudah tepat untuk ditemani Kamal, yang tidak tepat adalah pemaksaannya pada Pak Juanda untuk mengatakan kebenaran akan cerita awal kehidupannya. Berbading terbalik dengan kulitnya yang keriput, ingatan Pak Juanda sangat rapi. Dia membeberkan semua fakta yang Datu minta dan dari semua fakta itu tidak ada yang bisa Datu banggakan bahkan dari gelar kebangsawanannya.

Apa yang bisa dia banggakan dari seorang ibu yang ternyata melacurkan diri pada ayahnya? Walau kejadian itu adalah kecelakaan, bahwasanya ibunya dijebak oleh seorang teman, tetap saja sang ibu mendapat gelar "pelac*ur" dari Tuan Besar dan menjadi alasan pernikahan ibunya dengan Datu Jagad---sang ayah---tidak di restui.

Hingga pagi ini, kenyataan itu tidak bisa membuatnya bernapas dengan benar.

Semalam dia meminta ruang pada Kamal untuk berpikir, mencerna segala hal yang sangat tidak pernah terpikir olehnya. Setelah pintu kamar tertutup, segala perasaannya tertumpah. Hanya seorang diri di kamar dengan segunung kenyataan pahit.

Sekqrang sudah tengah hari, tapi Datu sedikit pun tidak bergerak dari tempat tidur.

***

Kamalpun terkejut. Tapi demi segala hal yang dia punya, Kamal tidak mempermasalahkan sedikit pun akan asal usul Datu.

Selama pembicaraan Datu tampak tenang, hingga Kamal melihat remasan tangan, emosi Datu terbaca olehnya dari gerakan itu.

Andai dia tidak harus mengerjakan beberapa hal, Kamal pasti akan menginap memaksa Datu memberi izin tinggal, mengajak Adam pula menemani Datu melewati malam itu. Seolah Datu bisa membaca pikirannya, Datu mengatakan dia baik-baik saja saat mereka berpisah.

Dari dua orang yang dia tugaskan berjaga-jaga di depan kontrakan, Kamal mendapat laporan yang sama. Tidak ada pergerakan sedikit pun yang terjadi. Bukannya tenang, laporan itu malah membuat Kamal kalang kabut di kantor dan memutuskan ngebut ke kontrakan.

Tidak dia duga pintu depan tidak di kunci. Begitu tiba, Kamal bisa masuk tanpa mengetuk.

Sunyi sekali.

Dan kini di depan pintu kamar Mbak Pacar, Kamal di serang ragu sekaligus takut. Satu ketukannya tidak mendapat balasan.

"Aku buka pintunya, ya?!" Izin Kamal. Sekali lagi dia terkejut karena Datu tidak mengunci pintu.

Tidak jauh beda dengan di luar, ruang kamar pun sunyi dan gelap. Datu di tempat tidur. Meringkuk di bawah lindungan selimut tipis kain pantai. Kamal membuka jendela dan tirai demi mendapatkan kepastian sebenarnya Datu sudah bangun atau belum. Atau sengaja tidur-tiduran?

Ada sedikit gerakan yang membuat Kamal lega, ketika Datu semakin menenggelamkan wajah ke bantal guling. Kamal duduk di lantai demi menyamakan posisi, juga agar bisa melihat wajah Datu. Yang di lihat konsisten sembunyi sampai Kamal harus menarik paksa guling itu agar Datu membuka diri. Dia tahu Datu sudah sadar sepenuhnya.

Guling berhasil tersingkir, Datu malah kembali menutup wajah dengan tangan dan saat itu juga suara tangisnya keluar. Tanpa mau melihat Kamal. Datu sepenuhnya malu. Malu pada segala hal yang dia punya. Kamal mendekapnya erat dan hangat.

"Nggak apa-apa. Nggak ada yang berubah." Bisiknya merdu.

***

Butuh empat puluh menit hingga Datu berhenti menangis dan mau membuka diri.

Mata wanita itu bengkak. Tampak aneh karena warna matanya yang berbeda, hidung merah dan meler, serta wajah kemerahan. Tapi Kamal tetap suka dong.

Kamal masih terduduk di lantai dengan setengah badannya di atas tempat tidur. Datu sudah stabil. Sesekali air matanya masih keluar. Sepertinya juga dia tidak tidur semalaman. Tangan mereka tetap terpaut.

"Kalau seandainya kita terus lanjut, apa kamu nggak kesulitan? Apa kamu nggak akan dapat banyak masalah?" Mata Datu menerawang jauh saat menanyakan itu. "Gimana Eyang, Bunda kamu kalau tau masalah ini?"

Kamal menghapus satu tetesan lagi yang jatuh dari sudut mata Datu.

Bagi Kamal masalah ini tidak ada. Tidak ada apa-apanya. Tentu tidak bagi Datu.

"Kalau pun ada masalah yang lebih nyebelin, lebih buruk lagi dari ini, nggak akan bikin semua keluarga aku nggak restuin kita. Buat kamu pasti berat, aku bisa ngerti tapi mungkin nggak bisa ikut merasakan beratnya seperti yang kamu rasain. Aku mungkin nggak bisa nentuin berapa lama waktu yang kamu butuhkan buat nerima, berdamai dengan masalah ini. Mau berapa lama pun itu, aku cuma minta satu, jangan pergi. Itu aja. Kasih aku izin limpahkan semua perasaanku ke kamu. Ya?"

Lagi dan lagi air mata Datu keluar. Semakin banyak dan beruntun. Hanya saja sekarang dia berani manatap Kamal setelah tadi bicara tanpa menatapnya. Kebaikan apa yang sudah dilakukan leluhurnya hingga mendapat Kamal di masa ini?

Sebagian jalan hidupnya mungkin buruk dan Kamal mungkin versi baiknya. Apa Kamal adalah alasan dia menyanggupi untuk pertanyaan dahulu, semasa di alam rahim? Kalau iya, ini menjadi satu kebanggaan bahwa keputusannya tepat.

Dan sekarang Datu penasaran akan seperti apa sisa dari jalan hidup yang akan dia hadapi.

"Udah baikan?"
"Belum." Datu sesenggukan kecil. Berusaha berhenti menangis.
"Mau jalan-jalan?"
"Mau."
"Kapan?"
"Nanti aja."
"Kapan?"
"Nggak tau."
"Besok, mau?"
"Nggak tau."

Kamal mengelus kepalanya. Datu seperti di guyur air gunung.

"Sekarang mau apa?"
"Makan."

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang