Lo emang goblok, Kamal! Goblok!
Jawaban macam apa itu? Lama di hutan kayaknya bikin otak lo ringsek, bukannya segar. Healing bukannya sembuh, mulut lo jadi sakit.
Kepala gue langsung membuly diri gue sendiri sesaat setelah gue menjawab pertanyaan Datu. Ga tahu deh kenapa gue ga bisa mengeluarkan jawaban yang lebih santun atau menyenangkan. Entah apa yang dipikirkan Datu atas jawaban gue. Tapi dari air wajahnya gue ga melihat emosi dia naik berlebihan. Malah setenang danau.
Setelah berpikir gue memutuskan keluar menyusul dia dan merevisi jawaban gue, atau minta maaf bila perlu. Gue kenapa, sih? Apa gara-gara kejadian bangsat itu? Apa trauma gue belum hilang? Demi Tuhan gue dulu ga pernah menyakiti hati wanita. Kata Bunda gue anak manis.
Huweek!
Najis lo, Mal.
Dan saat gue menangkap gerakannya begitu gue keluar mobil, Datu mendekati seseorang. Tidak ke gerai setor tunai. Kayaknya pedagang minuman keliling kalau gue lihat dari penampilan dan sepeda yang dia pakai. Apa dia haus? Tidak. Datu dan wanita penjual minuman itu berpelukan setelah si penjual turun dari sepeda, pasti keluarga.
Tanpa sadar gue terus asyik jadi penonton. Hingga orang yang bicara dengan Datu itu pergi, gue masih berdiri seperti orang nonton konser.
Datu berjalan ke arah gue dan demi apa, kenapa gue malah ngerasa grogi? Gue menyiapkan segala sesuatu di kepala kalau-kalau dia nanya keanehan yang gue lakukan.
Aneh ya nunggu teman kantor ngomong sama keluarganya?
Jangankan dia, gue aja merasa aneh sama kelakuan sendiri. Padahal gue bisa saja pergi ninggalin dia di sini.
"Kalau masih ada keperluan, saya bisa jalan kaki ke kantor."
Wah! Perkiraan gue melenceng. Tadinya gue mengira dia bakal nanya "ngapain kamu masih di sini?" ala-ala cerita roman anak SMA gitu. Atau mungkin bersikap badass dengan kalimat "ga usah sok jadi pahlawan, pakai nungguin saya segala" mengingat gue tadi kayaknya menyinggung perasaan dia.
"Saya ga ada keperluan lain." Gue menyanggah.
"Terus?"
"Kamu ga jadi ke setor tunai?"
"Enggak."
Whatever. Gue cuma ga enak aja lihat cewek balik sendiri, padahal tadi orang kantor melihat kami keluar bersama. Iya. Pasti itu yang menjadi alasan gue menunggu cewek ini.
"Tadi kita keluar samaan, kalau saya balik sendiri kamu balik sendiri bisa jadi omongan orang kantor."
Good, Kamal. Jawaban lo agak mendingan, tapi ga bagus-bagus amat. Apa perlu gue les kepribadian dulu sebelum kembali bersosialisasi dengan khalayak umum setelah jarang bicara karena kelamaan di alam liar?
Perlu kayaknya.
"Buruan!" Sahut gue sembari buka pintu.
Fix, gue masih sakit.
***
Sepanjang sisa perjalanan kembali, Datu tidak bicara. Parahnya gue juga jadi bodoh tidak mencari topik mengisi keheningan. Sebenarnya gue lebih suka kalau dia yang inisiatif basa-basi atau menegur jawaban gue atau protes, terserah. Melihat dia yang sibuk berpikir gue malah mati gaya. Sampai gue menerima sebuah panggilan, gue segera menepi.
Satu tarikan napas untuk menghilangkan keraguan gue mengangkat panggilan ini. Bukan jenis panggilan yang gue tunggu, tapi harus gue angkat dan semoga bukan kabar buruk.
***
"Kenapa malah putar balik?"
Kamal cuma berkata 'halo' pada panggilannya. Dia kemudian diam mendengarkan beberapa detik dan setelahnya kembali menjalankan mobil. Bukannya melanjutkan ke arah kantor yang tinggal beberapa meter, Kamal memutar haluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
De TodoUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...