Cacat Hidup

190 38 3
                                    

"Terus lu ngelantur apa lagi?"

Datu menarik napas panjang sebelum menjawab Bundski. Seketika matanya menutup rapat mengingat betapa memalukannya kejadian kemarin. Kalau saja Adam tidak cepat datang membawa makanan wajib yang harus dia makan setelah PMSnya reda, mungkin Datu akan mengumbar semua aibnya secara cuma-cuma di depan Kamal.

"Ya itu... tau dah. Mau muntah gue inget kelakuan sendiri." Bahunya bergindik, kepala menggeleng cepat agar ingatan kemarin segera bubar.

Posisinya kemarin Kamal di belakang Datu saat dia bergelinding keluar kamar. Kebiasaan yang terjadi tiap bulan adalah Adam yang mendengar segala omong kosongnya saat nyeri haid. Mana tahu ada Kamal di sana. Bahkan Datu baru sadar Kamal juga di sana setelah siuman.

Begitu sadar ada yang lain selain Adam, Datu kabur ke kamar mandi. Mendekam di sana sekitar satu jam sambil menyumpahi diri sendiri. Setelahnya dia keluar dan menemukan Adam ngobrol santai dengan Kamal.  Tanpa menyapa Kamal sedikit pun Datu mengambil semua makanan yang Adam belikan dan beberapa makanan lain yang di bawa teman-temannya di kulkas. Menyantap semuanya di kamar. Datu tidak keluar-keluar lagi sampai pagi. Menyerahkan urusan Kamal pada Adam. Besoknya dia sudah menemukan kontrakan rapi kembali karena sebelumnya berantakan oleh ulahnya sendiri. Sarapan pun di siapkan Adam di dapur.

"Tapi kenapa Adam bisa ada di rumah gue juga? Ngapain kalian bawa dia?"

"Enggak kita bawa kali, dianya aja yang mau ikut. Terus katanya ada orang yang harus dia temui dan udah janjian di dekat rumah lu dan ga enak mau rubah lokasi lagi ke kantor waktu kita ngajak dia cabut. Kita bawa mobilnya, tau ga? Katanya urusan dia balik gampanglah. Begitu. Tapi... kenapa lu mesti malu Kamal lihat tingkah ajaib lu? Lu mau hijrah? Mau rubah pendirian lu yang single seumur hidup itu, bestih?" Cecar Bundski.

Datu terdiam sejenak.

"Taek lu. Mana ada gue begitu." Kilahnya.

"Ck... ini nih yang gue ga demen dari lu. Sadar lu sadar! Istighfar lu banyak-banyak. Berapa kali gue mesti ngasih tau, lu ga bisa... ga mungkin sendiri terus seumur hidup. Lu tuh masih muda, usia udah pas buat merasakan cinta, kasih, dan sayang lawan jenis. Pacaran, nikah, punya anak, tua, mati. Lu harus merasakan setiap fase yang harus manusia rasakan dalam hidup, Datu."

"Ya gue bakal rasain semuanya kali, kecuali pacaran sama nikah. Ribet amat."

"No! Ck. Dengerin gue! Sebagai sahabat gue pengin juga lu merasakan apa yang pernah gue rasakan sama mantan. Cinta, gairah, bahagia, senang, tawa, kehangatan, kasih sayang. Lu harus bisa merasakan semua itu sebelum lu mati. Ga semua orang tua kayak emaknya Canggih dan ga semua pernikahan berakhir cerai kayak gue. Buka pikiran lu! Hidup dan nikmati kalau ada cowok yang menawarkan semua itu, bestih!"

"Berat banget omongan lu."

"Gue ngomong gini karena gue sayang sama lu."

"Gue kasih solusi yang lebih sederhana, lu adopsi gue jadi kakaknya Laila, tapi kalo lu ga mau biar nanti Adam aja yang adopsi gue setelah dia nikah sama Inggid. Selesai. Gue ga sendiri lagi jadi lu ga usah khawatir."

Bundski meremas rambut, setres oleh tingkah teman sendiri.

"Manusia sakit lu emang!"

Datu terbahak meski sebelumnya Bundski menoyor kepalanya lumayan keras. Sekian detik kemudian Datu terdiam, melihat wajah Sulis yang masih serius. Sepi mengambil alih dan yang terdengar hanya desahan napas mereka.

"Lu udah gue anggap adik. Bisa aja gue masukin lu ke kartu keluarga. Tapi yang gue ga bisa adalah bantuin lu nantinya kalau lu menyesal dengan keputusan lu ini. Ga semua orang tua mengerikan. Lu penuh potensi, menantu idaman. Kerja bisa, mandiri iya, bisa masak, beberes rumah, jahit baju, mural, marketing, bikin berbagai kerajian, naik motor oke, naik kuda, sikat. Lu punya banyak hal buat di kagumi untuk seorang wanita idaman. Kalau mereka sudah kenal lu dan tahu kelebihan lu pasti orang tua cowok idaman lu akan nerima lu Datu Mayura."

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang