I remember date and time September twenty seventh Sunday twenty five...
Enggak lah. Kejadiannya bukan di bulan September seperti lirik lagu M2M itu. Bulan kejadiannya setelah September, aku lupa tanggalnya berapa.
Seorang wanita pascabelia berusia pertengahan, 50 mungkin, mendatangiku di warung soto Umi. Saat itu aku sedang istirahat makan siang setelah membantu Umi mencuci mangkuk soto. Sebelumnya juga aku melakukan pekerjaan lain di tengah pasar.
Warung soto Umi letaknya di luar, di dekat pintu gerbang pasar. Dan yang aku kerjakan di tengah pasar adalah mengupas batok kelapa di dagangan Pak Jum, suami Umi yang kuanggap bapakku.
Setengah dari masa hidupku, aku dibesarkan mereka. Umi dan Pak Jum. Kata Adam mereka orang tua angkatku. Padahal aku menganggap mereka orang tua kandung malah.
Dan yah, wanita anggun itu datang mengganggu istirahatku. Badan yang sudah kelelahan, ajaran sopan santun pada orang tua yang Umi ajarkan membuatku tidak mampu membalas setiap kata-katanya. Dia mengatakan hal-hal yang sudah aku pahami, yang memang ada pada diriku, yang aku tahu betul aku memang begitu.
Wanita aneh, cacat, tidak jelas asal usul, tidak punya keluarga, wanita jalanan, tidak tahu tata krama, udik, kampungan...
Aku mengerti akan kedatangannya, untuk menyelamatkan masa depan anak yang dia cintai. Anak laki-lakinya yang sudah tidak kanak-kanak lagi yang menyatakan cintanya padaku. Baru kemarin malam, pun belum kuterima cintanya.
Tapi aku ingat kata Umi, bagi orang tua anak adalah anak. Mau dia berusia berapa, mereka tetap anak-anak bagi orang tua. Wajar dia menyelamatkan anaknya dariku. Poin yang membuatku marah karena dia mengingatkanku akan segala minus yang aku punya. Tidak perlu dia terikkan lagi hingga seisi dunia tahu aku bukan wanita yang pantas untuk anaknya.
Aku tahu asalku tidak jelas, di buang keluarga, tidak punya masa depan. Tidak perlu dia ingatkan. Dia cukup mengatakan 'jauhi anak saya', maka aku akan pergi.
Ibu dari pria yang menyukaiku datang dengan penuh kemarahan yang tidak bisa dia bendung. Setelah menatapku, semua dia tumpahkan. Penampakannya yang ningrat membuat orang sekelilingku yang notabene biasa-biasa saja merasa segan. Layaknya rakyat jelata yang sungkan pada penguasa. Hasilnya, saat makian, hinaan, caciannya menyiramku aku basah kuyup karena dia leluasa mengeluarkan segala air kemarahan di kepala. Tidak ada yang menghalangi.
Belakangan aku tahu umi menangis di dalam warung saat aku di hina dan Pak Jum di halangi teman pasar yang lain saat akan menghampiri dengan kapak yang biasa kami pakai mengupas batok kelapa.
Ini alasan do'a konyolku yang Siro tanyakan tadi. Aku masih berharap do'aku yang itu terkabul. Berjodoh dengan anak tunggal, yatim piatu. Tidak akan ada mertua yang akan mengkritikku dan tidak akan ada ipar yang mencibirku di masa depan. Satu lagi, ini juga jawaban atas pertanyaan Bundski saat interview, aku ingin membeli mulut si ibu ini. Dia adalah trauma, tambahan daftar orang yang tidak aku suka.
Daftar teratas di isi semua anggota keluargaku yang tidak kukenal. Lucu.
Sayang, setiap melihat cermin rasanya do'aku akan sulit di gapai. Jangankan jodoh, lawan jenis di luaran sana akan lari melihat penampakan asliku.
Yang paling masuk akal saat ini hanya berteman dengan mereka. Termasuk dengan cowok yang sekarang menghampiriku begitu keluar dari lift.
"Weish, gue bawain ini."
Adam mendorong skateboard dari jarak setengah meter dan aku berhasil menahannya dengan kaki kiri.
"Pinter." Pujiku sekenanya. Tidak mungkin dia menggendongku sampai mobil saat masih ada orang hilir mudik di kantor.
Aku mengayuh sedikit dengan kaki yang tidak sakit. Adam mengatasi sisanya. Dia menuntunku sampai lobi. Seketika aku menarik napas karena kaget.
"Demi apa? Serius?!" Pekikku histeris.
Dona melambai dari dalam sebuah mobil yang aku amati cukup cepat.
Itu mobil impiannya.
Anak itu berhasil mengumpulkan receh untuk sebuah Brio bekas. Penampakannya masih cukup baru
"Well done, Brosis, well done." Kataku sambil tepuk tangan dan melompat kecil. Seketika aku merasakan gigitan sakit, tapi masih bisa kuatasi.
Dona keluar dari mobil dan memelukku, Adam juga mendekap kami. Sekali ini kami yang biasa di jalan ingin menampakkan rasa tidak tahu malu. Terserah tanggapan orang yang melihat.
"So proud of you." Ungkapku.
"Lo juga sering bantuin gue, sekarang gue mau selametan." Kata Dona sambil mengurai pelukan, "ke warung Umi, gimana?" Lanjutnya.
"Dengan senang hati." Sambutku.
Kami memasuki Brio. Adam membantuku dan kami meluncur dengan mulus.
***
"Lo ga lupa, kan, kalau tadi dia bilang dia tim gogle?" Tanya gue ke Siro.
"Temennya kali." Jawab Siro.
"Tadi pagi dia di gendong cowok yang pakai kaus masuk kantor."
"Serius? Kalau gitu mungkin backstreet atau lagi pendekatan. Belum resmi," katanya menguatkan pendapat.
Aku lebih yakin kalau mereka pacaran. Tapi kenapa kami malah bengong dan melihat dia seperti ini, sih?
Mau pacaran atau enggak, terserah dong.
Gue menyenggol Siro dan segera berbelok ke basement.
"Mal!" Teriak Siro. "Gue kayaknya perlu waktu lagi."
"Hm. Take your time." Kataku menanggapi masalah yang dia maksud. Dan gue enyah dari hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
AcakUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...