Hei...

205 46 2
                                        

Saat menjawab pertanyaan Siro kemarin, do'a terkonyol yang pernah Sulis ucapkan adalah meminta Tuhan memberinya uang 5 triliun di rekening. Dan kalau itu terlalu merepotkan, dia meminta agar Tuhan tiba-tiba menaruh sekomper saja uang di samping tempat tidurnya sebelum dia bangun. Katanya kalau tiba-tiba di rekeningnya ada uang 5 triliun, dia dan Tuhan akan kerepotan  mengurus orang-orang yang curiga pada kemustahilan itu. Akan terjadi keributan. Maka dari itu dia memberi solusi lagi pada Tuhan agar uangnya dikoperkan saja di samping tempat tidurnya.

Gila. Namanya saja do'a terkonyol.

Do'a terkonyol Bundski itu tidak lebih konyol dari apa yang aku lihat sekarang. Bukan masalah uang, tapi angka-angka yang rasanya mustahil tertulis di dokumen yang aku baca saat ini.

Aku mengingat-ingat lagi masa awal bekerja dulu, masa menjadi marketing lapangan. Seingatku dalam waktu sebulan itu aku menjual lebih dari empat ribu botol minuman. Itu belum termasuk penjualan yang berhasil aku lakukan pada pelanggan tetap yang baru, toko kelontong misalnya. Sedang di dokumen yang aku baca ini hanya terdapat angka penjualan yang di lakukan di supermarket dan beberapa dropshipper yang bekerja sama dengan perusahaan. Angka penjualan yang di lakukan anak marketing lapangan tidak di cantumkan.

Aku tertegun sesaat, membaca ke halaman lain, mungkin tertera di halaman lain itu.

"Hai, Siro mana?"

Aku mendongak dan menemukan Kamal menjulang dengan wajah serius. Kutengok meja Siro. Kosong.

"Mungkin keluar atau di ruangan lain."

"Kalau gitu kamu saja yang ikut saya sekarang, saya perlu orang buat ketemu investor penting." Kata Kamal dengan nada gusar yang cukup kentara di telingaku.

Kepalaku mengeluarkan bantahan tapi, sayangnya tertahan oleh gerakan tangan pria itu agar aku segera bergerak.

"Jangan bawa yang tidak penting," pesannya kemudian. Mataku langsung melotot protes, dia tidak lihat. Aku tetap membawa dokumen yang tadi aku baca dan segera bergerak mengikutinya.

Dalam hati aku terus memdumel ini bukan jobdescku. Namun mendengar kata 'investor penting' membuatku merasa ikut bertanggung jawab. Dari Susan aku mendengar bahwa ada kendala tentang proses peluncuran produk baru. Kepalaku mengaitkan ada hubungannya dengan orang yang akan Kamal temui.

"Kayaknya perlu saya beritahu Pak Siro dulu. Nanti dia nyari saya."

"Enggak, dia bukan atasan kamu." Responnya dengan nada yang sudah kembali tenang di belakang setir.

Ya memang, pimpinan tertinggi sekarang adalah Bu Dena. Tapi tetap saja Siro adalah rekanku. Malah bisa dikatakan senior meski dia anak baru. Dalam bidang arsip dia tergolong ahli, telah resmi menjadi mentorku.

Aku mengirim pesan dan Siro membalas oke. Barulah aku bisa tenang dalam perjalanan ini.

***

Ertiga Kamal berhenti di sebuah tempat makan tengah kota. Restoran yang tidak akan pernah kumasuki meski ada uang. Bukan apa-apa, harga satu menu saja bisa untuk makan sepuluh orang, bahkan lebih kalau makannya soto Umi.

Aku mengikuti Kamal, dua langkah di belakangnya. Ini rasanya asing. Seumur-umur bekerja, baru kali ini aku akan bertemu orang berpengaruh. Ini juga kenapa malah aku yang dilibatkan? Apa Kamal tidak punya rekan lain yang bisa dia ajak?

Di mobil tadi aku sangat ingin bertanya. Entahlah, selama menyetir Kamal semakin resah dan aku takut menambah keresahannya dengan pertanyaan sebelum masalah investor selesai.

"Selamat siang, Pak Faisal."

Kamal menyapa seorang pria berumur di sebuah meja untuk empat orang.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang