Aman. Datu merasa tidak ada yang menatapnya berlebihan. Tidak ada yang berbisik-bisik sambil menatapnya begitu mendaratkan kaki di kantor, artinya belum ada yang tahu dia dan Kamal memiliki hubungan. Yakin. Beberapa pegawai hanya menampakkan wajah kaget, mungkin karena warna rambutnya. Belum sempat dia cat hitam lagi. Datu sadar sekarang atau nanti hubungannya pasti tersebar, tapi dia berharap itu terjadi setelah dia hengkang dari sana.
Dari sekian hal yang dia tidak suka, salah satunya adalah menjadi pusat perhatian. Jauh-jauh hari dia sudah membayangkan orang-orang bicara tidak benar sambil melihatnya dengan tatapan jijik. Butuh persiapan mental untuk menghadapi hari itu.
Tidak ada hambatan apa pun, bahkan setelah dia tiba di ruangan.
"Haduh, akhirnya!" Siro menyambutnya.
"Maaf, senior."
"Ente kadang-kadang..."
Datu mengambil tisu untuk membersihkan meja.
"Ga perlu kali, tiap hari dibersihin sama Abang." Kata Siro mulai menggoda.
"Masa? Job desk dia kurang sebagai pimpinan?"
"Idiiiiih, mentang-mentang jadi pacar Bos, tadi pasti pamer mesra dari gerbang sampai sini."
"Gue menolak habis-habisan di jemput dan jalan bareng, dan lagi gue geli kalo begitu-gituan di tempat umum."
Siro menutup mulut tak percaya.
"Demi apa lu bisa menolak kemauan Kamal?"
"Kenapa?"
"Dia laki-laki paling otoriter yang gue tahu."
"Enggak juga, dia banyak ngalah kok."
Wajah Siro makin melambangkan rasa tidak percaya.
"Si Banteng bisa jinak juga." Desis Siro, masih bisa di dengar Datu.
Sebagai orang lama di hidup Kamal, Siro sangat tahu bagaimana karakteristik seorang Kamal Abeerham Siddis.
"Ada beberapa hal yang mau saya tanyakan kalau Senior tidak keberatan."
"Boleh. Tapi sebelumnya," Siro mengambil sebual lembaran, "ini tugas kamu hari ini."
Datu mengambil lembaran itu dan semakin merasa pekerjaannya hanya main-main semata.
"Tadi apa yang mau ditanyakan?"
Gejolak di dada Datu kini menggumpal cepat. Apa yang dia dengar dari kakek Kamal di lift, tentang kasus penggelapan uang kantor, penjualan produk secara ilegal, kasus yang sudah di mejahijaukan, pelaku, dan semua hal yang dia lakukan selama ini sedari awal ketika menjadi pegawai training yang menjual produk di arena balap liar sampai menjadi sasaran teror bom molotof, gas beracun, rasanya mengguncang dada dan pikiran. Dia ingin membahas masalah ini dengan Kamal, namun selalu ada rasa yang mengganjal. Karena Kamal juga menjadi sasaran omelan kakeknya yang ternyata dipercaya menyelesaikan kasus ini. Datu belum terlalu paham bagaimana awal Kamal masuk perusahaan, yang dia pahami dia juga terlibat sebagai pelaku, tepatnya pegawai yang dimanfaatkan. Bagaimana jika pelaku atau otak dari kejahatan itu menyebut namanya nanti entah di kantor polisi atau pengadilan.
"Berapa lama lagi kamu, saya... kita ada di ruangan ini? Siapa sebenarnya pelaku yang kalian cari? Apa pelaku korupsi adalah orang yang juga mencelakai saya?"
Siro tampak tenang tanpa ekspresi berlebih mendengar cecaran Datu, malah Datu yang rasanya ingin meledak.
"Eh, saty-satu dong. Berapa lama? Maksudnya gimana?"
Datu yakin Siro hanya pura-pura bodoh.
"Bukannya setelah kasus selesai, kamu bisa keluar dari perusahaan dan saya punya dua pilihan, mengundurkan diri atau di pindah lagi ke divisi lain sementara kontrak saya selesai?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
RastgeleUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...