Mau?

195 37 2
                                    

Merasa tersisihkan, mungkin iya. Kamal hanya bisa berdiri di belakang Datu selama wanita itu melayani setiap orang yang datang. Semua posisi sudah di isi tim Datu dan Kamal hampir tidak berguna di sana selain mengatakan 'silakan, lanjut!' saat beberapa orang menawarkannya ikut makan. Kasihan melihatnya sendiri berdiri tersisih.

"Eee, kenapa kakak punya teman dianggurin, sana kak kasih makan juga."

Kamal mendapati anak penjual salak KDRT tempo hari mengatakan itu pada Datu. Jawaban Datu; nanti. Membuat Kamal semakin nelangsa karena dia sebenarnya juga lapar.

Berjam-jam menahan protes perut toh tidak membuat pria itu menyerah pulang. Bisa-bisanya dia anteng menunggu hingga semua orang yang datang sudah kebagian makanan. Tentu saja Datu sudah menyuruh pulang, tapi di tolak Kamal dengan alasan 'saya pengin lihat kamu mau apakan makanan-makanan ini.' Jadilah Kamal menetap di sana menolak desakan tubuhnya beristirahat di kamar tamu nyaman Siro.

"Ini." Kaget, Kamal mendapati Datu memberinya bungkusan. "Makan dulu, ini aman, bukan makanan sisa pesta."

Kamal segera menyimpan ponsel dan merasakan secuil rasa tidak enak saat Datu mengucapkan kalimatnya. Mereka kemudian duduk di titik yang sama, di pinggiran sebuah toko aksesoris yang sudah tutup. Tempat yang menjadi lokasi tetap Datu dan krunya membagikan makanan sisa hajatan.

"Saya juga aman meskipun harus makan makanan yang sama dengan mereka." Kamal menyuarakan rasa tidak keberatan.

Sejenak terjadi keterdiaman antara mereka. Baik Datu atau Kamal melihat pada orang-orang yang menikmati makanan yang mereka bawa. Kamal merekam beberapa ekspresi bahagia, rasa lega, dan tenang setelah perut terisi penuh. Sedangkan Datu membayangkan lagi kenangan pahitnya dulu saat berada di posisi mereka. Mengencangkan perut yang senantiasa keroncongan, menahan rasa penasaran pada makanan lain selain nasi yang tidak mungkin dia mampu beli. Keadaan menempanya sangat keras.

"Hari ini ramai, makanannya juga banyak dan habis. Jadi Adam ke kampung belakang beli nasi warung." Datu memecah hening.

Tidak terlalu memperhatikan, Kamal masih fokus pada orang-orang yang menyantap makanan yang Datu bagikan sebelum dia benar-benar membuka nasi bungkusnya. Sebagai manusia mampu, dia terenyuh pertama kali melihat orang-orang ini menikmati spageti, sate, ayam kremes, udang---seperti menikmati sajian mewah harga jutaan buatan chef ternama.

Makanan yang dia anggap membosankan, yang tidak akan dia ambil jika mendapati makanan itu tersaji di sebuah acara yang dia datangi ternyata menjadi makanan dambaan untuk orang lain.

"Kegiatan ini rutin tiap minggu atau?"

"Tergantung. Enggak setiap minggu. Tergantu EO tempat Dona kerja ada jobnya kapan."

"Dona yang di studio?"

Datu menggangguk, "Itu Inggid, Indra udah tahu, kan? terus Adam, Fahri, Jaya." Datu menyebut nama temannya sambil menunjuk, jarak mereka cukup jauh karena sedang beberes.

"Masih ada yang lain, cuma enggak ikutan."

Tanpa terasa makanan mereka tinggal beberapa suap. Obrolan terus mengalir hingga semua beres dan para tamu telah sepi. Bungkus nasi sudah di kepal dan diamankan Kamal di sebuah kantong plastik.

"Ayo!" Datu bergerak berdiri.

Mereka kemudian berdiri bersamaan untuk menyelesaikan malam ini.

"Sebentar!" Seru Kamal yang sedikit mengejutkan Datu. Pria itu kemudian menangkup wajahnya dan membuat Datu semakin terkejut akan sikap mereka. Mata bertemu mata di bawah lampu yang redup itu membuat darah Datu berdesir tak tentu arah. Tatapan intens Kamal seperti...

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang