Sepandai-pandainya manusia beradaptasi, pasti akan merasakan culture shock saat berada dalam satu situasi baru, menjalin hubungan dengan orang baru, bahkan saat berada di tempat kerja baru.
Terkhusus di tempat kerja, culture shock ga main-main dan wajib si anak baru beradaptasi dengan cepat. Karena biasanya teori yang di terima di bangku sekolah berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Yes, anak baru yang kemarin cari masalah dengan seniornya itu, yang kemarin kami keroyok adalah lulusan segar dari sebuah universitas ternama. Dan bisa kutebak dia murid teladan selama kuliah. Tidak sepertiku yang menjadi marketing lapangan dulu sebelum mendapat meja kerja, si anak baru langsung di tempatkan di belakang meja.
Tidak naif, latarbelakang pendidikan sudah pasti menentukan. Dia pasti sudah membuktikan bahwa dia pantas menerima jabatannya sekarang.
Aku akui dia bagus. Persentasenya beberapa menit lalu sangat menarik. Aku sempat mleyot dalam arti menciut secara mental. Apalagi saat kulihat pimpinan kami terkesan.
Sekarang kepala bagian pemasaran mengadakan rapat ulang setelah mendapat pengaduan alias busa kotor dari si anak baru tentang hasil rapat tim kami kemarin.
Kasarnya, pimpinan sedang membandingkan rencana pemasaran timku dengan anak baru. WTF.
"Produk yang sebelumnya itu gimana, Tu? Penjualan kita waktu itu bagus sekali kalau tidak salah." Pimpinan merubah arah pandang padaku sambil bersandar santai di kursinya.
Pak Pri orang bijak. Aku yakin beliau mengetahui dengan baik kinerja kami.
Sebagai ujung tombak lapis 2 setelah Lesni, aku mengambil ancang-ancang. Si anak baru harus tahu sejarah bagaimana strategi penjualan kami yang hasilnya sangat tinggi melewati target. Tidak lepas dari kerjasama tim yang solid.
"Benar, Pak. Tahun lalu strategi kita terjun ke lapangan. Tempat nongkrong anak muda, taman, acara pensi sekolah , car free day, dan acara atau tempat yang biasanya ramai pengunjung," jawabku memulai cerita.
Tentu saja saat itu adalah masa yang tidak akan aku lupakan. Jalan terjal yang harus aku lewati untuk mendapat sesuatu yang orang sebut karier.
Kami membagi kelompok. Dimana ada keramaian di sana kami berbaur se-natural mungkin sambil membawa produk. Bukan untuk di bagikan secara gratis, kami sendiri yang konsumsi.
Setelah salah satu dari kami membuka botol dan minum minuman tersebut, dengan sengaja yang lain bertanya "lo minum apa? Boleh coba ga? Kok enak" dengan suara keras hingga bisa di dengar kelompok yang kami sasar.
Kami juga menyiapkan stand penjualan. Jadi pada saat tim kami atau kelompok sasaran ada yang bertanya "beli dimana" kami menunjuk standnya.
"Butuh tiga minggu sampai produk kita booming di tempat nongkrong." Aku mengakhiri cerita sejarah.
"Sekedar mengingatkan, Datu juga yang mengenalkan produk kita di arena balap liar, Pak." Lesni menyelaku dan mengatakan bagian yang tidak mau kuungkapkan.
Aku menunduk sebentar dan senyum kikuk sebelum lanjut. Kutarik naoas dalam sebelum tempur yang sebenarnya.
"Setelah itu baru kita ke jalur influencer. Fondasi kita sudah kuat duluan di kalangan anak muda atau target pasar, begitu kita pakai inflencer, selebgram, iklan digital, jadi makin garang dan penjualan makin naik."
Berkat strategi itu perusahaan tidak perlu memasang iklan televisi yang budgetnya lebih mahal untuk menaikkan penjualan. Berminggu-minggu perusahaan menerima pesanan dari berbagai kota hingga dapat menembus penjualan nasional. Jangan tanya omset dan keuntungan.
Bukan maen.
"Sedangkan produk kita yang sekarang benar-benar baru. Produk lama kita, kan, kopi kombinasi buah, target pasarnya itu hampir semua kalangan. Sedang produk kita yang sekarang kopi dari biji kurma," aku menjeda karena membuka slide produk di layar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
RastgeleUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...