Good Partner

200 36 1
                                    

Pernah dengar good girl syndrome?

Memaksakan diri menyenangkan orang lain, tidak enak menolak, takut membuat orang lain kecewa, tidak peduli akan kebahagiaan sendiri, hak sendiri, bahkan sampai menyiksa diri. Itulah good girl syndrome.

Dulu, awal-awal aku resmi bekerja di belakang meja, aku hampir terjerumus dalam pusara penyakit itu. Berdalih kata "senior" beberapa rekan kerja memanfaatkanku di balik sikap ramah dan janji mereka untuk mengajarkanku jika kesulitan. Karena masih terbawa keinginan "membeli mulut" seseorang, ingin mempunyai karier yang manusiawi, aku iya iya saja saat teman sedivisi membebaniku dengan sisa pekerjaan mereka.

Seminggu berjalan seperti itu hingga akhirnya Sulis tahu apa yang terjadi dan memanggil pegawai yang jahil padaku. Tidak hanya mereka, aku juga di panggil. Bundski memarahiku karena menerima pekerjaan di luar job descku, menatarku agar tidak lagi bersikap polos dan tulul bin bahlul.

"Mana yang Pak Pri kasih ke meja kamu, pekerjaanmu ya yang itu saja. Selain dari Pak Pri, kamu jangan mau di kasih kerjaan lain, sampe jadi kurir beliin mereka cemilan, sakit kamu." Potongan omelan Bundski waktu itu.

Dan yah, aku memakai sifat asli setelahnya. Sifat dan sikap yang aku tujukan saat bergaul dengan Adam dan yang lain. Tegas, keras, dan cuek. Dan Lesni, Salim, Susan tentu bukan bagian dari "senior" jahanam itu.

Kejutannya

Rekan baruku yang sekarang tidak blagu seperti rekan pertamaku di marketing. Siro menjadi rekan yang asyik. Aku jujur padanya bahwa buta masalah kearsipan. Bukannya meremehkan, marah, atau kesal Siro malah welcome pada ketidaktahuanku.

Di hari pertama dia mengarahkanku, memberi pekerjaan paling dasar di arsip. Mencocokkan tanggal beberapa lembar dokumen di map pertama dan mencocokkan angka-angka yang belum kubaca di map ke dua.

Gampang?

Tadinya kukira begitu.

Ternyata bukan hanya satu tanggal di satu dokumen yang harus kuteliti yang kemudian harus dicocokkan dengan file di komputerku. Entah aku yang lelet atau waktu yang terlalu cepat berjalan, jam istirahat tiba-tiba datang saat aku bahkan belum sampai setengah dari tumpukan dokumen.

"Mau makan apa, Datu?" Siro mengutak-atik ponsel. "Gue mau deliver, niti ga?"

Aku menoleh, teringat pesan Adam yang mengatakan bahwa bekalku yang ketinggalan sudah dia titipkan pada seorang rekan. Rekan yang mana? Kenapa belum ada yang datang mengantarnya padaku?

"Saya bawa bekal, Siro."

"Oh, oke."

Perutku masih oke untuk tidak di isi dulu, lagipula....

"Assalamu'alaikum." Salam Sulis.
"Annyonghaseo." Diikuti Susan.
"Yuhuuuuu, spidiwwwiwiwi." Ini Salim.

Mereka datang berturut bak kereta api.

"Horas, Uni Datu! Aman ko di sini?" Pasti sudah tahu yang ini.

"Onde mande ruangan ko, nyaman namanya ini." Lesni mengitari ruangan dengan mata elangnya.

"Iiiih, udah kek ruangan pribadi," beo Susan. "Kalian cuma... omo, omo, lo sopo?"

Lesni melihat arah yang di tunjuk Susan. Begitu pun yang lain yang sepertinya baru menyadari keberadaan Siro.

"Annyong, saya Siro rekannya Datu, suka BlackPink tapi bukan Blink garis keras juga." Siro membungkuk pada Susan. Susan mengikuti dan tampak binar terang di matanya.

"Blinkkk, pasti tahu... boombayah!"

Tidak tahu bagaimana mereka membuat arus, Siro dan Susan rusuh bergerak.

"Tet tereret teretet tereret yayaya boombaya...iya iya... boom boom ba..boom boom ba... oppa!"

"Tarik sis!" Teriak Bundski. Sang ratu koplo garis keras.

Salim menyahut.

"SEMONGKO!"

"Andai rasa di hati, tak sedalam ini, dari dahulu engkau tlah kutinggalkan..."

"Hoa hoa... seh!"

"Koplo never die!" Lord Ati lantang berteriak.

Ketiganyanya bergoyang hingga Sulis menyelesaikan sebaris lirik dalam suara gendang buatan Salim.

Aku melihat mereka tidak percaya sekaligus tidak berdaya dari kursi.

"Bangun lo Datu!"

Kulempar Sulis dengan tas, Salim dan Ati tertawa. Susan dan Siro diam mengalah kalem.

Kompetisi macam apa ini? Benar adanya, umur bukan tolok ukur kedewasaan.

Musik itu universal, tidak bisa dipaksakan, boleh dinikmati siapa saja, dan jangan dikompetisikan. Semua lagu menang di hati pendengarnya.

Tapi aku sadar satu hal, kata Bundski kemarin yang rekan lo orangnya asyik. Siro memang seasyik itu. Hitungan detik dia berbaur harmonis dengan lingkar temanku.

"Ini rekan divisi Datu sebelumnya, ya?" Siro bertanya setelah kami duduk tenang di kursi masing-masing.

"Cuma dia, dia, dia," Ati menunjuk Salim, Lesni, dan Susan. "Saya di keunganan, dia di HRD."

"Oh." Siro manggut-manggut.

"Dan... siapa tadi nama anda?"

"Siro immida."

"Panggil gue Lord Ati."

"De..."

"Apaan lu ngomong da de da de?"

"Iya, Lord Ati."

"Nah, itu baru gue paham."

Hidangan yang mereka bawa terbuka di atas mejaku dan meja Siro yang di satukan.

Kegelisahan tampak di wajah Siro, dia mengambil ponsel lagi.

"Makanan gue udah smpe mana, ya?"

Jujur saja aku juga gelisah. Mereka yang datang tidak ada yang membawa kotak bekalku. Walau semua makanan itu sepertinya cukup untuk menghandle makan siang kami, tetap saja aku...

"Nah, itu kayaknya datang!" Siro melesat ke pintu, "lho? Kok?"

Aku mengambil harapan Siro dalam hati dari kekagetannya. Kalau bukan makanannya, berarti itu makananku yang datang.

Perlahan Siro membuka pintu lebih lebar, suara derap kaki menarik perhatian yang lain. Dan saat dia muncul---tidak hanya aku---Lord Ati, Bundski, Susan, dan Salim membeku di tempat mereka.

Dia menyorotku tanpa peduli tatapan aneh yang lain.

"Ada yang bilang anda di marketing, tapi kata orang marketing anda di pindah ke sini." Kalimat sapaan Kamal padaku. Tangannya terangkat dan menggoyangkan kantong plastik yang sangat kukenal.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang