Lanjutannya

177 33 2
                                    

"Dikira dirinya siapa," aku benar-benar memaksa Canggih keluar dari kontrakan, kemudian mulai menyibukkan diri dengan bahan-bahan kueku sekarang, "ini bahkan belum jam sepuluh terus dia bikin gue ngomongin masalah yang bikin snewen kayak gini, mana mesti bikin delapan loyang lagi, di ambil jam sebelas, bisa ga sih dia nurut saja sama ibunya, ga bakal gue iyain. Kata Mba Sekar Bapak dulu ga direstui sama Akung, kawin lari, dikiranya aku mau ngulang sejarah? amit-amit, deh, punya mert..."

"Ada yang bisa saya bantu?"

Aku terjingkat, "astaga!"

Kamal sudah berdiri di belakangku. Baru ingat ada satu buaya lagi di sini.

"K-kenapa masih di sini? Aduh, sori aku sampe lupa kamu masih di luar, gimana masalah itu?" Tadi aku sempat ingat ada tamu, otak ngelag sedikit langsung lupa.

"Sudah. Dokumennya sudah saya foto dan kirim ke Siro." Katanya sambil menyilangkan tangan di dada.

"Oh." Aku berbalik lagi dan mengeluarkan gula halus. "Enggak ada sih, kalau emang udah, kamu kalau mau pulang ya silakan." Tidak peduli nadaku sudah sopan atau tidak.

"Kamu mau ngapain memang?" Bikin apa?"

"Kue."

Kalo yang ini gimana ngusirnya ya? Tanya otakku. Pria jarang tertarik masalah perkuean, sebentar lagi dia pasti pamit.

Sugesti pada diri sendiri.

"Saya bisa bantu, kebetulan lagi ga ada kegiatan?"

"Ya?" Heh, dia ngomong apa tadi?! "Ga perlu juga sih, tapi..."

"Bikin kue apa? Berapa banyak sampai telur satu trei begini?"

Aku menghembuskan napas samar. Oke, Kamal sudah tidak bisa di tolong. Dia sudah di dekatku sekarang.

"Kamu yakin mau bantu?" Dia mengangguk sambil mengangkat bungkusan tepung. "Ya sudah, bawa bahan-bahan ini keluar!"

***

Sekadar satu-dua loyang aku betah membuatnya di dapur. Tapi kalau sudah di atas lima loyang, aku biasa ngemper di ruang tengah mengadon bahan dalam jumlah banyak.

Kebetulan ada Kamal, mari diberdayakan.

Untuk kesekian kali aku menarik napas melihat Kamal duduk bersila memecah telur ke baskom berukuran tanggung. Sudah kuancam, tidak boleh kulit telurnya ikut.

"Semuanya, ya?"
"Enggak, setengahnya dulu."

Tidak kusangka juga rodanya akan berputar secepat ini. Kemarin aku yang menjadi asistennya, sekarang...

Aku melihat jam, perutku berontak. Sisa serabi ada di dapur dan aku ke sana untuk kumakan.

"Habis telur ap..." Kamal di pintu dapur, "oh, lagi makan," Kamal melihatku hendak melahap serabi dengan mulut menganga.

Canggih benar-benar membuat ketenangan hari ini berantakan. Dia tergolong tangguh. Sudah tiga tahun semenjak dia mengutarakan perasaan dan dia masih saja berharap walau sudah kutolak sejak awal.

Dia tergolong pria yang susah di skip. Tentu saja aku pernah hampir luluh. Sayangnya sikap ibunya saat itu juga susah dihilangkan dari ingatan. Aku memaafkan. Lupa? Tentu tidak.

Serabi yang rencananya untuk sarapanku jam 7 sampai jam 8 begini baru di makan. Nikmat makan pas masih hangatnya sudah hilang.

Demi perut aku tidak peduli, tanpa menjaga imej aku menghabiskan sisa serabi. Dia diam, matanya mengelilingi dapur.

"Dapurnya sempit gini cukup sekali lihat, ga usah muter-muter gitu kepalanya." Sewot kan gue gegara serabi dingin.

Kalau diibaratkan bentuk bangun, dapurku persegi panjang ukuran 1.5 kali setengah meter. Tidak ada lemari kabinet atau pajangan apa pun. Hanya wastafel kecil yang menyambung dengan meja beton untuk manampung piring basah. Sebelah kanan wastafel terhubung dengan pintu kamar mandi. Jadi kalau masuk dapurku, cukup putar leher 90 derajat maka semuanya terlihat. Yang dilakukan Kamal malah membuatku merasa di ledek.

"Oh ya," kataku teringat sesuatu, "sori buat tingkah Miko kemarin," Miko sebenarnya hanya mengajak ngobrol Kamal, isi obrolannya yang sesekali nyerepet masalah pribadi membuat aku yang mendengarnya saja geregetan. Tahulah mulut lambe.

"Ga apa-apa, orang studio seru semua."

Hah, namanya saja orang baru, Kamal belum tahu boroknya orang sana jadi komentarnya masih pisitif. Aku angguk-angguk saja. Kamal terlalu suci, tidak lagi kubawa dia sampai studio.

Kembalinya kami ke ruang tengah, memulaiku mengerjakan si kue Mba Kenya ini. Aku memberi takaran tepung dan gula halus, membiarkan Kamal mencampur. Di dapur aku mengangkat margarin yang sudah leleh, kemudian mengeluarkan kompor minyak berukuran besar dan memanaskan dandang. Kembali lagi ke ruang tengah dengan dua sisir pisang raja untuk di lumatkan dan di campur dengan adonan.

"Masih pakai kompor minyak?"
"Kenapa?"
"Ga ada sih."
"Kompor gas di dapur apinya kecil untuk dandang susun sebesar itu. Biar cepet aja." Jelasku sambil membuka pisang tanpa melihatnya. Kami berhadapan.

"Itu ada motor matic, kayaknya masih baru, kenapa ga di pake ke kantor?"

Sekarang aku baru tertarik melihat wajah Kamal karena pertanyaannya. Entah bagaimana reaksi wajahku diingatkan masih ada Canggih di sini. Meski itu sekadar motor pemberiannya.

"Bukan punya saya dan jangan di tanya lagi."

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang