Obrolan Berkualitas

245 32 2
                                    

"Omong kosong!" Seru Bundski pada kami yang mengelilinginya.

Aku sebenarnya hanya mendengar curhatan Lesni dan Susan  yang entah bagaimana awalnya sekarang membahas masalah berat badan. Padahal tadi kami sedang dalam diskusi masalah usulan Pak Pri tentang dropship produk baru, apa mau ke retail besar dulu atau langsung juga ke pasar-pasar. Malah berujung berat badan. Nikungnya tajam amat.

"Olahraga, pola makan, itu bukan diet buat nurunin bebe  secara kilat," kata Bundski berapi-api, "ada yang lebih kilat, lebih tokcer, lebih manjur."

"Iiiiih, serius Buns? Apaan?" Tanya Susan antusias karena ingin cepat kurus setelah sebulan melahirkan.

"Nih resep jangankan lu gerak, lu diem ga ngapa-ngapain berat lu pasti turun. Seminggu bisa tiga empat kilo."

Susan makin antusias menggoyang-goyangkan lengan Sulis agar segera diberitahu.

Aku sendiri sebenarnya tahu betul jawaban yang akan Bundski berikan. Hanya saja isi kepalaku lebih banyak mendiskusikan deretan pekerjaan lainku akhir minggu ini. Ribut di luar lebih ribut di dalam.

"Simak baik-baik," Sulis bicara bak ahli dengan nada serius, "penurun berat paling tokcer itu kecelakaan mental berujung luka batin. Tuh, kurang tokcer apa? Gue buktinya."

Susan langsung cemberut, aku dan Lesni tertawa.

Dan ternyata Bundski belum selesai.

"Nih, gua kasih tau tutorialnya. Pertama cari perkara sama orang yang paling dekat sama lo, yang paling lo sayang deh."

"Ngomong apa ko ini?"

"Gini lho, Les, orang-orang terdekat kita itu yang dalam arti orang yang kita sayang, entah keluarga, teman, sahabat itu tikamannya selalu tepat sasaran. Kenapa? Karena mereka menusuk kita dari jarak dekat. Semakin kita di peluk, tusukannya makin dalam."

Diskusi kami di luar jam kantor hingga kami bebas bicara dengan tema random.

"SULISTYOWATI, AH, GIMANA SIH?!" Susan kesal sendiri.

"Batin kalau sudah berantakan itu paling manjuuur. Gue tipe orang yang lebih cepat sembuh kalau terluka oleh perbuatan ketimbang lidah alias kata-kata. Luka batin yang gue alami karena lidah seseorang bikin gue uyus begini."

Ini persamaanku dengan Bunsdski. Kami adalah korban kekerasan verbal.

Tahu alasan aku di terima bekerja sampai bersahabat dengan dia? Saat wawancara dia bertanya alasan dan motivasiku melamar kerja dan aku menjawab ada mulut yang harus saya beli. Sejak saat itu kami mulai menjalin pertemanan.

Bundski orang HRD, by the way.

"Ogah gue mah." Tentu Susan akan sulit menerima saran itu. Dia tergolong beruntung dalam segala aspek hidup.

"Lah, dibilangin ga percaya. Gua sama Datu udah master dalam hal perlukaan batin. Gua pisah sama suami juga bukan karena KDRT, harta, jabatan... BUKAN, luka batin say karena omongan mertues."

Aku menabok bahu Bundski dengan bundelan data. Lesni dan Susan tidak menanggapi lagi karena sudah tahu sedikit ceritaku. Ini yang aku suka dari lingkar temanku di kantor. Mereka bisa diandalkan masalah jaga perasaan.

"Tapi tapi tapi, udah pada berasa belum sih masalah pimpinan baru?" Tanya Susan mendadak ganti topik lagi. "Ada perubahan apa gitu, ada ga?"

Aku dan Sulis saling pandang karena kami belum tahu wajah asli orang yang dimaksud Susan. Akibat bolos waktu perkenalan.

"Perempuan dia itu, yakinlah aku tidak jauh rumpinya dari kita." Tanggap Lesni.

"Tampilannya sih kalem, rapi, cantik. Outfit ga wah banget. Mudahan disiplinnya tidak garis keras." Kata Susan yang cenderung detail masalah tatabusana.

Aku tidak bisa berkomentar banyak. Belum ada perubahan signifikan masalah aturan kantor. Lagi sudah kukatakan sejak awal, siapapun pimpinan tertinggi aku akan begini-begini saja. Bekerja sebaik yang aku bisa dan tidak serakah masalah jabatan. Sadar diri akan latar pendidikanku.

Pernah terlintas untuk mengenyam bangku kuliah agar karierku naik. Tapi sangat berat mengingat banyaknya kegiatan yang aku lakukan di luar kantor. Bekerja sambil kuliah bukan jalan ninja yang aku suka.

"Menurut ko gimana, Tu?"

"Jangan tanya dia Les, daripada sakit hati." Saran Bundski pada Lesni.

Bertepatan dengan pertanyaan Lesni, makanan kami datang.

Penempatan waktu yang tepat.

***

Kekuatan apa yan dimiliki anak umur 2 tahun?

Di angka itu kekuatan yang aku miliki hanya ingatan.

Malam-malam lain yang selalu berlalu dengan kengerian, tanpa ada tanda di satu malam itu kengeriannya memuncak.

Seorang laki-laki dan wanita, yang mungkin pernah kupanggil mereka dengan sebutan ayah ibu, memamerkan mereka dengan gelar "orangtuaku" melemparku ke sebuah neraka kecil.

Jika setiap malam ada cekcok sepele yang aku dengar, malam itu menjadi malam badai besar yang sumbernya mereka.

Aku tidak paham akan setiap kata yang keluar dengan volume besar dari mulut mereka. Aku tidak paham akan alasan mereka saling melempar barang dan memukul.

Apa yang bisa dilakukan anak 2 tahun dalam situasi itu?

Tangisan kencangku bahkan tidak bisa menyelamatkanku. Dipaksa terus berdiri dan menonton pertunjukan. Setelah pertunjukan mereka pergi begitu saja. Tidak bertanya, tidak menyapa bahkan melihatku.

Langkah kecil yang kupaksa hanya mampu mengantarku hingga luar kamar indekos di gang sempit. Arah mereka yang berbeda semakin membuat nyaliku ciut mengejar.

Mereka pergi, tidak mendengar tangis dari seorang kancil. Dan saat itu sebuah wajah menyelamatkanku. Siapa? Entahlah.

Aku terlalu muda untuk bertanya identitas. Dia memberiku makan pertamaku di hari itu, mengganti popokku, dan menidurkanku. Aku tidak punya bekal namanya, tapi wajahnya.

Sudah kupinta pada takdir untuk mempertemukan kami. Dan aku menunggu saat itu.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang