Sudah jam dua pagi, sedikit saja mataku tidak merasakan kantuk. Pikiran terus menolak untuk melupakan kejadian tadi. Terlebih aku harus menjawab sendiri pertanyaan yang terbentuk secara otomatis.
Siapa?
Kenapa?
Apa?
Aku merevisi lagi keseharian yang sudah lalu, tidak hanya bebebrapa hari bahkan bertahun-tahun sebelumnya dan nihil. Rasanya aku tidak punya musuh yang akan tega melempar bom molotof sederhana demi membakarku.
Tindakan yang paling jahat menurutku adalah tidak membalas pesan meski sudah kubaca. Kalau pun di balas, itu setelah berjam-jam si pesan masuk. Apa tindakan yang begitu membuat sebuah rumah harus di lempar batu?
Jika tujuannya agar aku celaka, kenapa tidak langsung saja menusukku saat ada kesempatan. Tidak perlu repot dengan teror seperti ini. Apalagi harus membuat orang lain juga terluka. Andai aku tahu pelakunya, aku akan memintanya menyelesaikan masalah kami sesuai keinginannya. Toh aku pernah terlintas untuk bergabung dengan 27 club.
"Sori buat kain lu, Bund. Kayaknya ga bisa ketolong."
Bundski meletakkan dua cangkir teh di meja. Setelah menyelesaikan laporan di kantor polisi, aku meminta Kamal membawaku ke rumah Sulis. Tadinya mau ke rumah Umi, tapi takut Umi terkejut dan darah tingginya kumat. Seperti ibu-ibu lain yang punya telepati tentang kejadian buruk yang di alami anakny, Umi juga begitu padaku meski kami tidak ada ikatan darah.
Sebenarnya pun aku tidak berniat membuat laporan ke pihak berwajib. Nyatanya kerja Pak RT terlampau gesit. Selebihnya aku sangat yakin laporanku akan menjadi tumpukan dokumen tanpa kelanjutan tanpa bukti dan tersangka kuat yang kami punya.
"Masih mikirin kain." Nada Sulis sinis. "Anda bisa selamat utuh begini lebih penting. Untung juga ada Kamal."
Sulis bersandar dengan napas jengah di sebelahku. Sama tidak mengertinya dengan yang kuceritakan padanya. Setiap mataku tertutup bayangan batu besar yang menembus kaca jendela ruang tamu terlintas. Kalau Kamal tidak ada...
"Lo bilang suara motornya bising, apa salah satu anak motor yang lo kenal?"
"Knalpot anak motor emang bising, tapi ga ada yang secempreng itu. Dan ga mungkin juga mereka berani kayak gitu ke gue meski kalah balap. Lu tahu sendiri gimana respect-nya mereka ke Adam, sedang Adam udah jadi abang gue."
Sulis manggut-manggut setuju, bersamaan dengan ponsel gue yang berdering.
Adam
"DATU MAYURA, LU GA APA-APA? GIMANA DIMANA SEKARANG? LU ADA YANG LUKA? KENAPA GA NGABARIN GUE?"
Aku menjauhkan ponsel demi menyelamatkan telinga.
"Sama Bundski, gue gapapa."
Adam membuang napas jengah persis yang baru Sulis lakukan, hanya lebih keras dan terselip kelegaan. Setelah itu Adam memulai ceramah padatnya, peringatan, dan segala hal yang perlu dia jelaskan. Persis bapak-bapak yang baru tahu anaknya berani bolos sekolah. Adam yang seperti ini sudah cukup lama hilang. Terakhir dia mengomeliku habis-habisan saat mengetahui aku di ludahi kakak kelas yang aku suka di bangku SMA, saat aku menyatakan perasaan. Iya, aku pernah jatuh cinta dan langsung kapok detik itu juga. Aku masih ingat si dia menjulukiku penyihir wanita.
Setelah puas berceramah barulah dia menanyakan kronologi. Dan aku menceritakan dengan detil, memotong lebih banyak peran Kamal agar tidak... entahlah, aku masih bingung dengan kehadiran pria ini.
"Lo ada butuh apa-apa ga sekarang, biar gue anterin? Apa gue susul ke sana ikutan nginep?"
Aku tahu Adam bermaksud menjagaku, tapi lebih baik tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
De TodoUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...