The Winner

188 44 3
                                    

Jangan senyum
.
.
.
Nanti tegang
.
.
Syelamat membaca, syemoga terhibur



Datu membuat waktu untuk Kamal menunggunya menjadi sangat singkat. Segalanya di percepat, dari memakai baju sampai sepatu dan berdiri di depan Kamal sekarang dengan wajah seadanya. Dia memeriksa segala penjuru rumah Sulis, memastikannya aman begitu ditinggalkan.

"Ayo!"

Hanya kata itu dulu yang ingin dia ucapkan, di tengah banyaknya hal yang ingin dia katakan pada Kamal. Dia sudah siap dengan satu misi membuat Kamal berhenti melakukan hal-hal gila yang dia sebut pendekatan. Ini akan menjadi yang terakhir Kamal datang menjemputnya.

Kamal sendiri mengikuti arah gerakan Datu. Datu cepat-cepat, dia juga ikutan cepat hingga mereka berada di mobil sekarang, dan telah keluar dari komplek perumahan Sulis. Berbaur dengan kendaraan lain.

Sudah lama menyiapkan diri, Datu terhalang suara ponsel yang berdering.

Ibu kontrakan. Dia menerima panggilan.

"Halo/ iya, Bu, maaf belum sempat ngabari,saya masih syok semalam/ ga pa-pa, nggak ada yang luka/ sudah, sudah kita lapor ke polisi dan sedang di proses/ iya, kaca jendela aja yang rusak/ oh, ga perlu Bu, biaya perbaikan biar saya yang tanggung/ iya, ada kok/ mungkin lusa atau dua hari lagi, rumah masih di pasang garis polisi/ iya/ iya/ mmm di rumah temen, Bu/ iya, Bu, makasih."

Beres dengan Ibu pemilik kontrakan, Datu memasang konsentrasi lagi pada tujuannya.

"Saya sudah mikirin ini semalaman, masalah aturan kantor ga perlu saya jelasin kamu pasti sudah tahu, maka dari itu juga saya minta kamu berhenti."

Sesuai misi dan atas inisiatif sendiri demi kebaikan mereka, Datu lebih dulu membuka pembicaraan. Kamal yang di ajak bicara menanggapi dengan tenang sembari terus perhatian pada jalanan. Wajahnya sedatar kartu ATM.

"Saya nggak mau ada pendekatan apa pun."

"Kenapa?" Masih dengan suara datar.

Ini dia. Saatnya presentase. Kamal sudah tahu beberapa aibnya, jadi kalau harus membuka aib yang lain Datu merasa tidak keberatan. Sekali lagi, demi kedamaian dua belah pihak.

"Mendekati saya sama halnya kamu mendekati masalah. Mau di lihat dari segala sisi ke-manusia-an saya bermasalah. Mulai dari yang paling dasar saja, asal usul. Saya tidak tahu orang tua saya siapa, dimana, bahkan sekadar nama. Di kartu keluarga hanya ada saya."

Sedang Datu pernah bertemu ibu Kamal tempo hari. Modelan ibunya sebelas-dua belas dengan Nyonya Parwati. Mengingatnya nyali untuk menolak Kamal makin besar. Jangan sampai dia alami drama pelabrakan jilid dua.

"Saya lebih dari yakin tipikal orang seperti kamu, keluarga kamu tidak akan mengabaikan asal usul orang yang akan dekat dengan anak mereka. Kalau anak perempuan milik ayahnya sampai dia menikah, anak lelaki milik ibunya selamanya, bukan begitu?"

Yang biasa tidak setuju dalam sebuah hubungan adalah ibu, karena memiliki sifat teliti dan pemilih. Sudah kodratnya begitu.

"Darimana kamu tahu ibu saya akan menolak?"

Berusaha tenang, adrenalin Datu malah melonjak. Jantungnya menambah laju debaran atas reaksi Kamal, sedangkan dia tidak siap. Tidak menyangka Kamal akan bertanya begitu. Iya. Darimana dia tahu bahwa dia tidak di terima? Nada itu. Seperti Kamal yakin bahwa dia salah.

"Saya tidak punya alasan untuk diterima sebagai pasangan. Saya menyenangkan sebagai teman. Hanya teman. Untuk menjadi pasangan, sepertinya tidak. Sekali jalan kamu akan langsung sadar kalau saya orangnya insecure, mudah marah, minderan, introvert, susah memberi kepercayaan, posesif, cuek, keras kepala. Banyak yang jelek hanya sekarang sama kamu ga kelihatan. Mungkin akan lebih baik menjadi teman saja. Sebagai teman saya asyik di ajak nongkrong, tertawa, selalu ramah. Kalau sama teman saya susah marah."

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang