"Apa ko liat-liat, mata ko itu mau ku cungkil pakai tusuk gigi, mau ko? Jangan betingkah ko pegawai baru."
Aku melihat dengan perasaan campur aduk adegan dua meter di depanku. Membiarkan Lesni mengeluarkan kemarahannya pada seorang rekan baru kami di tempat kerja.
Kami semua heran, terutama aku sendiri, dengan tipikal orang seperti ini. Ketika rapat, aku dan teman-teman ribet diskusi empat jam lebih---hapus-tulis, hapus-tulis di whiteboard---berbagai strategi promosi yang akan kami lakukan pada sebuah produk baru perusahaan.
Diantara kami terbentuk tiga golongan; yang aktif memberi masukan, yang menyempurnakan ide, dan satu orang yang cuma terima-terima saja.
Disini brengseknya si satu orang ini.
Beberapa hari setelah rapat kami mendapat omongan, bisik-bisik usil antar divisi. Jadi, ternyata oh ternyata, si orang terima-terima saja ini menyebarkan omongan bahwa diskusi kami yang empat jam itu ngalor-ngidul tidak jelas, tak tentu arah. Hasil diskusi kami pun menurut dia bukan cara terbaik memperkenalkan produk terbaru ini.
Pada atasan dia membeberkan cara terbaik yang katanya ampuh dan idenya itu tidak dia keluarkan di rapat.
"Mo ngomong apa ko?" Damprat Lesni lagi, "ku sobek juga mulut ko, sini!"
Lesni hampir maju, dua orang rekan memegang dua sisi bahunya.
Satu lawan empat, ini mungkin aksi pengeroyokan dan kami bisa saja di tindak pidana. Namun, kami rasanya sudah tidak peduli akan resiko itu, saking jengkelnya kami pada orang ini.
Dari kabar yang beredar pula kami mengetahui bahwa dia ingin mengetes sejauh mana kemampuan kami. Kalau ada kesalahan, bukan salah dia, bukan si pengusul ide. Menjadi tukang terima-terima adalah pembelaannya. Wajar Lesni belingsatan, aku pun. Semampuku kutahan iblis dalam diriku tidak keluar. Lesni, yang dari bahasanya saja kalian sudah tahu asalnya darimana. Cukup dia yang maju dan memberi si pegawai baru pelajaran mental.
Aku tidak tahu berapa level munafiknya orang ini. Setiap kumpul bareng entah dalam selipan acara ghibah berjamaah atau saat makan bersama dia selalu bicara tentang profesionalisme.
Kesimpulanku, profesionalisme menurut rekan bedebah ini adalah dengan diam saja saat rapat saat solusi yang dia punya itu sangat dibutuhkan. Dia menjatuhkan rekan dengan cara sampah. Melepas tanggung jawab jika hasil rapat melenceng dari target dan mengatakan pada semua orang bahwa kami tidak becus bekerja secara tidak langsung.
Bukan mau sombong, aku, Lesni dan beberapa rekan yang satu sekte denganku termasuk angkatan pertama di perusahaan yang memproduksi minuman dengan bahan baku daun teh ini.
"Lain kali ko betingkah, kita tempur di sini, babak belur ko di sini." Kata Lesni makin berapi-api.
Kulihat keringatnya menembus kain kemeja dan artinya Lesni di ambang batas amarahnya.
"Tu!" Lesni memyebut namaku keras, "besok dia betingkah lagi enaknya kita apakan orang macam ni?"
Aku menyilangkan tangan di dada dan tersenyum. Si rekan bedebah melihatku dengan lirikan tidak suka yang sangat kentara. Telinganya memerah.
"Ku ajak ngopi, Les, ku belikan makanan kesukaan dia."
Lesni tertawa mendengar jawabanku. Dia tahu maksudku.
Aku maju mendekat. Mengikis jarak dengan si rekan bedebah. Tanganku tetap menyilang. Aku pernah membaca, di negara barat jika kita bicara dengan tangan di silang di dada, artinya kita tidak suka dengan lawan bicara kita.
Dia balik menatapku tanpa gentar. Benar-benar bedebah bermuka tebal.
"Siapa elu? Pemilik kantor? Anak direktur?" Kataku memulai bicara sarkas, "kalau lo ga siap di dunia kerja, mending balik ke sekolah, di sana lo masih bisa ngetes orang, main salah-salahan, dan mengulang lagi sampai benar. Di dunia kerja, cara lo bakal jadi perangkap buat lo sendiri. Lo sengaja diam pas rapat dan saat ada kekeliruan seenaknya lo bilang "lah kan itu bukan ide gue, itu ide kalian" wah, omongan lo tentang prifesionalisme pengin gue bikin jadi prasasti."
Si bedebah mendengkus dan membuatku jengah.
"Asal lo tahu, ini dunia kerja yang sebenarnya, lo mesti siap di jatuhkan di depan pimpinan. Dunia kerja ga seindah dunia keluarga cemara."
"Lantas mau ngejar apa lo di sini? Jabatan? Haus jabatan juga lo ternyata, sini gue kasih nasehat, mau setinggi apa pun jabatan lo di sini, lo itu karyawan, goblok! Selagi lo ga punya kekuatan orang dalam, anak pemilik perusahaan atau menantu pemilik perusahaan kalau cara lo begini, minggu depan lo bisa ga kerja lagi, paham?"
"Ih, takut... tolongin aku." Kata si bedebah membalas peringatanku. Nadanya mengolok membuat Lesni ingin maju lagi dengan brutal. Aku menahannya dengan satu tangan terangkat.
Kudekatkan tubuhku lagi, menyondongkan tubuhku sedikit dan berbisik di telinganya.
"Lo pernah dengar istilah "membunuh tanpa menyentuh?""
Aku menarik diri, ingin melihat reaksinya setelah kuucapkan kalimat itu. Dia masih tenang, meremehkanku.
Aku bergerak, mengambil sesuatu yang menutup retinaku. Aku menatapnya dengan kelopak penuh tanpa berkedip.
Dia berjingkat mundur saat tatapan kami bertemu, si bedebah menutup mulut dan menggeleng samar tidak percaya.
"Kebetulan gue jago masalah itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)
De TodoUdah pernah ngerasain di turunin jabatan padahal pegawai andal? Pernah ngerasain di benci semua anggota keluarga? Pernah ngerasain tidak punya status sosial di mata masyarakat? Pernah ngerasain diludahin sama crush? Kalau belum, cobain deh. Rasanya...