Nyesek Epribadih

211 44 5
                                    

Salim melirik kiri-kanan dengan hanya kepala tersisa di pintu, memastikan tidak diikuti atau ada yang melihatnya masuk ruang arsip--base camp mereka --siang hari itu saat jam istirahat dimulai. Setelah merasa aman, Salim menutup pintu dan mengeluarkan napas lega. Di depannya sudah duduk dua wanita tolol yang sama kagetnya dengan dia mendengar berita pagi tadi.

"Assu, bingsit! Ini apaaa, Bestiiiiii? Kepala gue rasanya di tindih beton, ya Tuhan, serius Kamal adalah Bos yang sebenarnya? Kamal yang nraktir kita ke ke'efsi, yang gue bilang cicilannya banyak, yang gue caci maki ga modal?" Teriaknya pada Susan dan Lesni sambil merenggut rambut klimisnya yang kini berantakan. "Mati lah gue."

Patut saja Salim merasa terancam. Beberapa kali di situasi saat mereka berkumpul, Salim menyinggung Kamal masalah penampilan, kendaraan, cicilan. Padahal mungkin gaji Kamal tiap bulannya tidak terpakai atau langsung di setor ke kotak amal. Pagi hari tadi mereka baru mengetahui bahwa Kamal sebenarnya adalah milik dari perusahaan tempat mereka bernaung, bahwa tadi pagi Kamal dan tim telah melakukan akuisisi hingga hari ini Kamal resmi menjadi direktur, CEO, dirjen, komjen, deterjen atau entah apa sebutannya nanti.

Berita tersebar hitungan detik. Salim, Lesni, dan Susan termasuk orang pertama yang tahu hal itu setelah Sulis mengabari di grup WA secara diam-diam, di sela-sela tugasnya mendapingi atasan dalam rapat akuisisi.

"Jadi, selama ini kita bestian sama bos gitu? Terus Siro..." Susan melihat meja Siro yang kosong, "apanya Bos?"

"Nah, bener. Apa kita di bodoh-bodohin? Mereka sebenarnya komplotan yang cuman iseng jadi pegawai mata-matain kacung kayak kita, terus ngedata mulut kita yang suka ngomong di belakang gini. Bututnya kita di espe atau di drop out. Gila sih mereka kerjanya apik banget. Mesti download job street gue buat nyari loker. Kalian juga kayaknya mesti siap kalau-kalau Kamal ngerombak pegawai dan bikin gebrakan, secara dia udah ada data." Spekulasi Salim makin liar.

"Masa sih sampai kayak gitu? Tampang Kamal ga semafia itu deh kayaknya." Bela Susan.

"Justru itu, tampang sholeh, aslinya sholehun kan kita ga tahu. Mana tahu kita kalau dia sebenarnya Bos psikopat, bermuka alim tapi sesat."

Lesni melipat tangan, mengukir wajah tidak percaya yang tidak di sembunyikan. Dia Batak punya, pantang takut, pantang mundur dalam bahaya apa pun. Tapi kalau apa yang dipikirkan Salim benar, dia bisa takut juga. Masalahnya dia tulang punggung utama keluarga, ada adik yang kuliah dan orang tua renta jadi tanggungan.

"Nggak sape lah kek gitu, Wak. Yakin aku Kamal baek orangnya." Ucap Lesni setengah hati menghibur diri.

Posisinya sebenarnya aman, sekalipun suka bicara keras dia tidak pernah menyinggung Kamal. Bercanda juga hanya sesekali.

Pintu di buka cepat membuat tiga pegawai itu terperanjat kecil di kursi masing-masing. Sulis muncul. Wajahnya panik melihat seisi ruangan.

"Mana yang punya meja?" Matanya melihat meja Datu yang kosong. Lainnya mengikuti arah pandang Sulis dan baru sadar, empunya ruangan tidak ada di tempat.

"Lah iya, Datu mana?" Tanya Salim. "Eh, tapi tapi tapi temen kita itu ceweknya Bos, bisa lah Datu bantu kita stay di sini. Posisi aman dong, gais." Salim tepuk tangan sendiri. Tidak ada yang peduli karena Susan dan Lesni lebih memikirkan wajah Sulis yang pucat.

"Mbak, kenapa toh?" Tangan Susan mengulur air untuk Sulis, "minum dulu."

"Gue bingung cerita dari mana..."

"Duduk dulu, Wak. Kasih tahu kami ada apa sebenarnya. Pelan-pelan."

"Intinya tadi gue dan Datu ada di ruang rapat, terus gue sama dia sebenarnya sama-sama kaget lihat Kamal duduk di kursi pimpinan, Datu gue minta ganti posisi gue sebentar karena gue perlu banget ke toilet, beres dari toilet gue masuk ruang rapat dong jalanin jobdesk gue. Terus...." Sulis menjeda untuk minum.

HETEROCHROMIA (Koplonya Hidup)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang