15 - Janggal

312 53 22
                                    

RENJANA BY SISKAKRML

Instagram : @siska_krml dan @hf.creations

****

"Vin," pangilku ketika makanan kami hampir habis.

Dia menoleh sebagai tanggapan.

"Apa alasan lo selalu datang ke restoran paling awal terus pulang paling akhir?"

Tak langsung menjawab, pria itu justru mengaduk-aduk minumannya selama beberapa detik. Mungkin dia tak punya jawaban atas hal itu, mungkin juga dia tidak ingin menjawab apa alasannya.

"Dulu nyokap gue selalu bilang, untuk jadi orang yang ingin menasehati orang lain tanpa bicara itu perlu adanya contoh."

Meski masih tak puas dengan jawabannya, aku tetap mengangguk. Getaran ponsel Malvin yang tergeletak di atas meja membuatku reflek menatap layar ponselnya, menangkap sebuah nama. Viona.

Aku menguping sekilas pembicaraannya, penasaran dengan pembicaraan mereka. Raut wajah Malvin juga berubah, dia seperti sangat serius dengan pembicaraan itu. Kurasa Viona sakit dan Malvin mengkhawatirkannya.

Malvin menutup panggilan itu, memasukkan ponsel ke saku celananya. "Gue buru-buru, lo udah selesai?"

"Udah. Pergi aja, gue bisa naik ojek atau taksi."

"Bareng aja," ucapnya seraya mengisyaratkan aku untuk bergegas sementara dia membayar makanan.

"Gue nggak percaya lo sama Viona tanpa rasa," tanyaku ketika Malvin baru saja masuk mobil.

"Itu opini lo, jadi nggak perlu dijawab, kan?"

Aku mendengus. "Susah ngomong sama triplek."

"Ngomong apa lo?"

Aku hanya menyunggingkan senyum tanpa dosa, entah sejak kapan dia tak lagi menyeramkan.

"Habisnya, lo keliatan care gitu sama Viona."

"Memang gue gak care sama lo?" tanya Malvin membuat senyumku tiba-tiba hilang. Mungkin maksud Malvin dia memang seorang yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi pada orang lain, tetapi aku mengartikannya berlebihan.

"Ada yang salah?"

"Nggak," jawabku cepat, menutupi rasa gugupku yang tiba-tiba hadir.

"Lo sadar gak, Ta?" tanyanya ketika mobil berhenti dibelakang mobil lainnya yang sedang menunggu rambu lalu lintas berubah merah.

"Apa?"

Malvin menatapku, seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun belum sempat mengatakan apa-apa, bunyi klakson mobil berasaut-sautan dari belakang, Malvin menoleh sejenak sebelum kembali menatapku. "Lupain."

Dan tidak semudah itu, pertanyaannya terus singgah di dalam kepala membuat jawaban-jawaban yang tak pernah pasti benar atau tidak. Memahami Malvin sama saja seperti memahami manusia dengan desain otak berbeda diantara yang lainnya. Aku coba lupakan, dengan harap esok atau lusa Malvin akan kembali menjelaskan lebih rinci hingga aku bisa memahami secara benar.

***

Malam itu berlalu, sudah dua hari ojek yang biasa kutumpangi tak bisa dihubungi, lagi-lagi aku harus menunggu di halte. Kali ini tidak ada Malvin, aku benar-benar naik bus umum berdesakan dengan anak-anak sekolah. Ponselku berdering, Jio menghubungiku.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya mendahuluiku.

"Heh! Aku yang bilang gitu, kan kamu yang duluan telepon aku."

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang