8 - Bagian Terbaik

357 72 23
                                    

RENJANA BY SISKAKRML

Instagram : @siska_krml dan @hf.creations

****

Lima belas menit kemudian aku telah berada di depan sebuah rumah dengan segala kemewahannya, tanaman-tanaman hias berjajar indah mengelilingi halaman rumah. Seorang perempuan menyambutku hangat, memelukku tepat di ambang pintu masuk.

"Kemana aja calon mantu Tante ini? Lama banget nggak nengokin calon mertuanya."

Aku tersenyum. "Akhir-akhir ini Grita sibuk Tante, sibuk kangen sama Tante tapi kerjaan numpuk."

Tante Jihan mengajakku duduk. "Ini semua salah Jio, kalau dia nggak telat lulus kuliah pasti kamu udah satu rumah sama Tante dan gak usah kerja."

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Dari arah dapur, seorang pria berjalan ke arahku seraya membawa gelas berisi minuman. Tante Jihan mengambil alih dua gelas minuman yang Jio bawa, menaruhnya di atas meja. "Jio temani Grita disini, Mama mau ke atas telepon Papamu barangkali bisa pulang sekarang supaya lengkap meja makan kita."

"Ma, gak usah ya? Bertiga aja gimana?" sanggah Jio.

Tante Jihan menghela napas berat. "Ji, dia kan Papamu."

"Ma—"

"Sebentar kok, kalau Papamu nggak bisa juga Mama nggak maksa," ucap Tante Jihan kemudian berlalu meninggalkan ruang utama.

Jio mendesah kesal, raut wajahnya sedang tak menyenangkan. Sejak tadi, dia samasekali tidak menyapaku, bahkan untuk sekadar menyambutku dengan senyumpun tidak. Apa dia marah karena aku datang kemari tanpa izin padanya? Pasalnya Jio selalu melarangku datang tanpa seizinnya, mengingat jika aku datang maka harus ada Jio dirumah dan Jio tidak bisa mengabaikan permintaan Ibunya. Oleh sebab itu, Jio tak ingin ada hal yang ia tinggalkan hanya karena memenuhi keinginan Ibunya untuk pulang dengan alasan aku datang bertamu.

"Aku mau ngomong, tapi nggak disini," ucap Jio. Sementara aku masih duduk terpaku mengira-ngira apa yang akan ia katakan, Jio telah berlalu meninggalkanku. Pada akhirnya, aku hanya mengekor Jio yang ternyata memilih tempat di teras.

"Ada apa?" tanyaku.

Jio berjalan mendekat, menatapku lekat. "Ngapain sih kesini segala? Lupa sama pesan gue?"

Benar saja, bahkan Jio telah menggunakan 'gue' ketika menyebut dirinya, sebuah tanda bahwa emosinya nyata.

"Ji, Tante Jihan yang minta aku kesini," jawabku pelan.

"Ya kan bisa bilang sibuk kek, kerja kek, lagi di jalan kek, ada urusan kek," ujarnya dipenuhi kekesalan. Tatapannya juga menusuk, seolah menghakimi.

"Aku gak enak nolak lagi, udah lama gak kesini," jawabku mencoba tenang, meski sebenarnya aku kesal mengingat dia tidak benar-benar sibuk, dia hanya sedang duduk makan bersama Misel.

"Gimana supaya lo ngerti?"

"Aku ngerti, Ji, aku ngerti kamu gak bisa nolak permintaan Mama kamu."

"Ya terus kenapa masih ngeyel? Lo tau gak sih gue ninggalin kerjaan gue? Gak bisa ya ngertiin gue?"

Aku mengalihkan tatapan sejenak, tak bisa menahan amarahku yang sejak tadi tersimpan di ujung kerongkongan. "Kerjaan yang mana? Yang duduk di restoran sama cewek, gandeng-gandeng cewek? Itu kerjaan kamu?"

Dia memukul keras tembok di belakangku, membuatku memejamkan mata ketakutan. Jio tidak pernah semarah ini, terutama denganku. Kubuka mataku pelan, nafas Jio menderu, ia benar-benar kesal padaku.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang